8- CANGGUNG

1743 Words
“Gue kasih tahu, ya! Gue nggak tertarik sama Pak Birzy! Apalagi sampai godain dia! Amit-amit!” Tring! Pintu lift terbuka. Seorang lelaki berdiri di depan lift dengan sorot dingin. “Selamat pagi, Pak!” Tiga karyawan di dalam lift menyapa Birzy. Mereka buru-buru keluar tanpa melihat sekarang posisi lift sedang berada di lantai berapa. Bevi terdiam di posisinya, melihat Birzy yang berdiri dengan kedua tangan yang dimasukkan ke saku. Dia mundur beberapa langkah hingga punggungnya membentur pinggiran lift. Birzy berjalan masuk dengan sorot tajam. Dia memperhatikan Bevi yang membuang muka dengan wajah panik itu. “Kenapa?” tanyanya sambil berbalik menghadap pintu. “Huh....” Bevi mengembuskan napas. Dia menatap punggung lebar Birzy sambil menebak-nebak. Apakah lelaki itu mendengar ucapannya? Bevi menggeleng tegas. Dia yakin tadi berbicara sebelum pintu lift terbuka. “Saya tanya, kamu kenapa?” Birzy melirik ke belakang. “Kenapa mereka ketakutan? Kamu ancam mereka?” Bevi berdiri tegak. Dia merasa Birzy tidak mendengar ucapannya tadi. “Saya nggak tahu kenapa mereka ketakutan,” jawabnya. “Dan saya nggak ngancam mereka. Justru mereka yang menganggap saya rendah.” Sontak Birzy berbalik. Satu alisnya tertarik ke atas melihat Bevi yang sedang mengatur napas itu. “Mereka ngapain kamu?” “Ah, Bapak nggak akan ngerti!” Bevi berdiri bersandar. Sedetik kemudian dia ingat ucapan karyawan tadi. “Pak, kalau boleh tahu kenapa saya diminta bantu Pak Risyad?” “Kerjaan dia banyak.” “Hanya itu?” Birzy mengurut pelipis. Dia berputar hingga menghadap Bevi. Kedua tangannya terlipat di depan d**a. “Memang kamu berharap apa?” Bevi menggeleng tegas. “Syukurlah kalau itu.” “Saya orangnya objektif. Saya lihat kinerja kamu.” Birzy kembali menghadap pintu. Bertepatan dengan itu, pintu lift terbuka. Dia melangkah keluar, kemudian berhenti. “Kenapa kamu telat?” “Ini!” Bevi mengangkat kantong makanan. “Bapak minta sarapan, kan?” Birzy menoleh sekilas. “Kamu bisa pesan biar mereka yang antar! Jangan cari alasan!” Setelah mengucapkan itu dia melanjutkan langkah. Bevi keluar dari pintu lift dengan wajah sebal. Kenapa lelaki itu tidak dari tadi memberi tahunya? Risyad juga tidak memberi tahu hal itu. Ah, pagi-pagi sudah ada yang membuat Bevi marah. Gadis itu mempercepat langkah, lalu meletakkan kantong makanan di atas meja Risyad. “Lo nggak bilang kalau gue tinggal pesen dan mereka yang anter.” Risyad mengangkat wajah. Dia melihat pelipis Bevi basah oleh keringat. “Jadi, lo daritadi nungguin?” tebaknya. “Salah sendiri tadi langsung dimatiin padahal pengen gue kasih tahu.” “Tapi, kan, lo bisa chat gue dan ngasih tahu!” Bevi menyugar rambutnya ke belakang. “Daripada marah-marah, mending lo kasih sarapan itu buat Pak Birzy! Setelah itu giliran kita yang sarapan.” Bevi mengangguk patuh. Dia membawa satu kantong makanan itu ke ruangan Birzy. “Eh, tunggu!” Risyad berseru. “Mending lo rapiin dulu rambut lo yang berantakan itu. Sambil hapus keringat di pelipis lo!” Tangan kanan Bevi yang sebelumnya memegang gagang pintu langsung menyentuh pelipisnya yang basah. Dia menatap Risyad yang menahan tawa itu. “Kenapa nggak ngomong dari tadi!” Bevi berlari ke Risyad. “Lo kasih ke Pak Birzy. Gue ke kamar mandi!” Gadis itu kemudian berlari ke kamar mandi. Risyad geleng-geleng melihat tingkah Bevi. Jarang-jarang di lantai delapan ada yang membuat heboh. Biasanya hanya Raka, itupun Risyad tidak bisa ikut bercanda. Dia berharap Bevi tetap bekerja bersamanya agar tidak jenuh dengan pekerjaan.   ***   Birzy mengangkat wajah, mendapati Bevi duduk di sofa single sedang menata beberapa draft. Pikiran Birzy seketika berkelana ke kejadian tadi pagi. Dia tidak bodoh. Dia melihat tiga karyawan tadi sangat ketakutan saat melihatnya. “Tadi mereka ngomongin saya?” Bevi yang sedang memasukkan berkas ke ordner itu tergagap hingga jari telunjuknya mengenai ujung besi. “Ah!” Refleks dia menarik tangannya lalu mengibaskannya beberapa kali. “Bodoh!” Birzy geleng-geleng melihat tingkah Bevi. Dia berdiri, mendekati karyawan magang itu. “Nggak berdarah?” “Enggak.” Bevi mengusap jari telunjuk ke rok panjangnya. Setelah itu dia mengangkat wajah. “Bapak tadi tanya apa?” Birzy duduk di sofa panjang. “Di lemari kecil.” “Apa?” Bevi menggaruk belakang kepala. Dia menatap Birzy, lelaki itu menggerakkan dagu ke lemari kecil dekat rak buku. Bevi seketika berdiri mendekati lemari itu. “Ini?” “Hmm....” Bevi menunduk membuka lemari itu dan mendapati kotak obat. Dia menoleh ke Birzy, lelaki itu menatap ke arah lain. “Apa susahnya sih to the point?” Dia mengangkat kotak obat itu. Dia mengambil aroma terapi dan membawanya. “Tangan saya nggak apa-apa. Cuma saya agak pusing.” Dia mengoleskan aroma terapi itu ke pelipis dan belakang kepala. “Tadi mereka ngomongin saya?” Birzy kembali membahas topik sebelumnya. Bevi kembali ke posisinya. Dia memejamkan mata karena sensasi sejuk dari aroma terapi yang dia oles. “Kenapa merem-merem gitu?” Birzy mengernyit melihat tingkah aneh Bevi. Bahkan dia refleks bergerak menjauh, takut gadis itu berbuat aneh-aneh. Satu mata Bevi terbuka. “Saya pakai aroma terapi di pelipis.” “Bodoh!” Birzy geleng-geleng. “Kamu belum jawab pertanyaan saya!” Dia kembali menjadi Birzy yang dingin. Bevi mengembuskan napas. Dia tetap memejamkan mata sambil mengingat ucapan karyawan tadi. “Mereka mempertanyakan kenapa saya membantu Pak Risyad.” “Karena itu kamu tadi tanya saya?” tebak Birzy tepat sasaran. “Iya,” jawab Bevi. “Mereka cuma tanya itu kok, nggak ada pembicaraan lain.” Birzy memperhatikan Bevi. Bibir gadis itu tertarik ke bawah tampak menahan sesuatu. “Jangan tutup-tutupi apapun. Saya berhak tahu apa yang terjadi di antara karyawan.” Bevi menarik napas panjang. Dia memaksakan diri membuka mata, lalu duduk menyerong menghadap Birzy. “Mereka hanya penasaran mengapa saya membantu Pak Risyad,” ujarnya. “Selama ini tidak ada yang membantu Pak Risyad?” “Untuk sekelas karyawan magang tidak pernah.” Birzy membuang napas. “Mereka nggak bicara aneh-aneh ke kamu?” Kedua tangan Bevi saling menggenggam. Dia ingin mengutarakan langsung, tapi jelas itu tidak etis. “Tidak.” “Bagus!” Birzy berdiri dan kembali ke posisinya. “Meski saya terkesan cuek, saya tahu apa yang sering dibicarakan karyawan.” Tubuh Bevi menegang. Apa lelaki itu memiliki mata-mata? Sepertinya lelaki itu harus diwaspadai. “Yah, memang seharusnya bos ngerti apa yang terjadi dengan karyawannya.” “Saya nggak seburuk seperti apa yang kamu kira.” Birzy menunduk, melanjutkan pekerjaannya. Diam-diam Bevi memperhatikan Birzy. Dia melihat jelas saat wajah Birzy terlihat lelah. Gadis itu penasaran bagaimana sosok Birzy sebenarnya. Lelaki itu memasang tampang dingin dan seolah berbuat semaunya. Namun, Birzy juga terlihat pekerja keras dan mengetahui karyawannya seperti apa. Birzy mengangkat wajah saat hendak mengambil pulpen. Dia mengernyit mendapati Bevi yang menatapnya sambil setengah melamun. “Kerjaan karyawan magang bukan melamun.” “Apa?” Bevi seketika tergagap. Dia menunduk sambil menahan malu. Birzy geleng-geleng, bukan pertama kalinya dia mendapati Bevi diam-diam memperhatikannya.   ***   Jam istirahat, Bevi dan Risyad makan di ruang kerja mereka. Sesekali Risyad mengecek pekerjaannya, sama sekali tidak bisa menikmati jam makan siang. Sedangkan Bevi, berkali-kali teringat ekspresi Birzy dan ucapan karyawan tadi. “Ehm. Pak Risyad.” Risyad mengangkat wajah. Dia menyuap makanannya lalu kembali memeriksa berkas. “Mau tanya apa?” Bevi melirik ke kiri dan ke kanan. “Pak Birzy sebenarnya perhatian ke karyawannya?” “Uhuk....” Risyad tersedak. Dia mengambil air mineral dan menegaknya. Barulah dia menatap Bevi dengan raut bingung. “Kenapa lo tanya gitu?” “Penasaran aja.” Bevi memajukan tubuh. “Dia bilang selalu tahu apa yang terjadi dengan karyawannya. Padahal, dia terlihat dingin dan nggak peduli kayak gitu.” “Wajar, kan, dia peduli? Dia bos.” Risyad menjawab dengan senyum segaris. “Habisin makananmu.” Bevi kembali menyantap nasi padang di hadapannya. Jawaban Risyad tidak membuat hatinya puas. “Atau dia berkepribadian ganda?” “Uhuk....” Risyad kembali tersedak. Dia menyentuh leher sambil menatap Bevi. “Lo kalau ngomong jangan aneh-aneh, deh. Kalau Pak Birzy denger gimana?” “Dia lagi meeting dan belum balik.” “Saya dengar!” Suara lain terdengar. Risyad dan Bevi sontak menoleh ke sumber suara. Mereka melihat Birzy berdiri dengan satu tangan berada di saku celana. Pandangan lelaki itu begitu tajam, menatap Risyad dan Bevi bergantian. “Kenapa diam?” Birzy tersenyum sinis. Dia melanjutkan langkah kemudian berhenti di samping Bevi. “Kamu tanya apa ke Risyad?” “Bukan salah Bevi, Pak. Maaf.” Risyad seketika berdiri. Dia memberi kode lewat mata agar Bevi melakukan hal yang sama. Bevi seketika berdiri dan menunduk ke Birzy. “Ini salah saya.” “Saya bosan melihat dua orang yang saling salah-salahan,” balas Birzy. Dia menatap Bevi lalu menggerakkan jari telunjuk. “Ikut saya.” “Iya, Pak.” Bevi mengangguk. Dia melirik Risyad yang terlihat panik itu. Tangannya bergerak seolah meminta Risyad agar tidak panik. Bugh. Birzy duduk di sofa panjang. Dia melepas dasi yang terasa mencekik. Setelah itu dia melepas jas dan meletakkan di atas meja. “Jelaskan apa yang terjadi.” Bevi berdiri di hadapan Birzy dengan kepala tertunduk. “Saya hanya penasaran soal tadi. Itu saja. Pak Risyad tidak salah.” “Saya tahu. Risyad tidak pernah bergosip sebelumnya.” Birzy melipat kedua tangannya di depan d**a. “Baru dua hari, kamu bisa mengubah sifat Risyad. Hebat.” “Tidak, Pak.” Bevi menggeleng tegas. Dia menggigit ujung bibir. Kali ini dia mengaku salah karena mengajak Risyad untuk bergosip. Padahal, dia hanya penasaran saja. Birzy mengembuskan napas. “Kenapa kamu nggak bilang ke saya?” “Maksudnya?” Bevi mengangkat wajah. Dia melihat Birzy menyugar rambutnya ke belakang. Wajah lelaki itu tidak lagi terlihat dingin, tapi terlihat lelah. “Soal omongan karyawan itu.” Birzy mengangkat wajah. “Mereka bilang kamu menggoda saya, kan?” Bibir Bevi terbuka, kaget mendengar berita itu. Dia menutup bibirnya rapat-rapat lalu menggeleng tegas. “Saya tidak menganggap itu serius.” “Tapi nama saya disebut. Jelas saya tidak terima.” Birzy berdiri mendekati Bevi. Dia menarik pundak gadis itu hingga menghadapnya. “Kenapa nggak bilang?” Bevi menunduk. “Saya rasa itu tidak penting,” jawabnya. “Bagaimana Bapak bisa tahu?” Birzy menepuk pundak Bevi lalu mundur satu langkah. “Saya punya orang kepercayaan di sini. Jadi, jangan pernah main-main.” “Iya, Pak.” Bevi mengembuskan napas. Dia berharap segera keluar dari ruangan, rasanya begitu canggung. “Saya boleh keluar?” “Tunggu.” Birzy maju selangkah. Tanpa banyak kata dia menarik Bevi ke dalam pelukan. Tubuh Bevi menegang. Apa benar dia sedang dipeluk Birzy. “Kenapa meluk saya?” “Sebentar.” Birzy semakin mengeratkan pelukan. Dia memejamkan mata. Dadanya seolah sesak merasakan sesuatu yang aneh. Setelah itu dia melepas pelukan dan meninggalkan Bevi begitu saja. Tubuh Bevi membeku oleh tindakan tadi. Dia menoleh, melihat Birzy yang sibuk dengan pekerjaannya. Gadis itu menggaruk belakang kepala, bingung apa yang barusan terjadi. Tidak tahu harus berbuat apa, dia langsung berlari keluar sambil menyentuh d**a. “Huh....” Birzy mengembuskan napas. Dia sendiri bingung kenapa tiba-tiba memeluk Bevi. “Sialan!” Dia mengacak rambutnya frustrasi.   ***   Entah sudah berapa kali Bevi melirik ke pintu yang tertutup rapat itu. Waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi Birzy belum juga keluar. Risyad baru saja pulang, sedangkan Bevi beralasan ingin ke kamar mandi lebih dulu. Namun, yang dia lakukan menunggu Birzy. “Ck! Kenapa gue kayak gini, sih?” Bevi berjalan mondar-mandir sambil meremas kedua tangan. Dia menghentikan langkah, menatap pintu itu dengan gamang. Tangannya terulur, ingin membuka pintu di depannya. Ceklek.... Pintu ruangan Birzy tiba-tiba terbuka. Lelaki itu keluar dengan wajah lelah. Kemudian dia tersentak melihat Bevi berdiri di hadapannya. Dia memilih membuang muka, dan menyadari meja Risyad telah kosong. “Kenapa nggak langsung pulang?” Bevi menggigit ujung bibir. “Saya nunggu Bapak.” “Ha?” Birzy menatap Bevi. “Saya nggak minta kamu nunggu saya.” Kalimat itu seolah menampar Bevi. Gadis itu mundur satu langkah dengan wajah malu. “Em, ya sudah.” Setelah mengucapkan itu dia berbalik dan buru-buru pergi. Birzy memperhatikan Bevi yang berjalan menjauh. Dia geleng-geleng lalu melangkah. “Kamu pulang naik apa?” Bevi tidak berani menoleh. Dia terlanjur malu di hadapan Birzy. “Naik bus, Pak.” “Sudah malam,” jawab Birzy. “Saya antar kamu.” Dia berdiri di samping Bevi, melirik gadis yang semakin menundukkan kepala itu. “Nggak perlu, Pak.” “Kenapa? Kamu merasa canggung?” Birzy tersenyum miring. Bevi seketika mengangkat wajah. “Kenapa tadi peluk saya?” Tubuh Birzy langsung menegang. “Kamu anggap itu berarti?” tanyanya dengan pelan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD