3- MINTA MAAF? GUE NGGAK SALAH!

1824 Words
“Pengen ketemu lo.” Bevi seketika mundur satu langkah. Dia membuang muka sambil menghitung jarak dari posisinya menuju jalan raya. Dia ingin kabur daripada lelaki di depannya berbuat macam-macam. “Ngapain?” tanyanya sambil bersiap diri untuk kabur. Raka melirik ke kaki Bevi yang bergerak bersiap untuk kabur itu. Saat hal itu terjadi, dia langsung mencengkeram tangan Bevi. “Lo mau ke mana? Ada yang pengen gue bicarain.” “Lepas! Gue nggak mau ketemu lo!” “Gue pengen tanya satu hal. Lo tenang dulu.” Raka berusaha membujuk Bevi yang terus bergerak itu. “Gue bisa lakuin apapun kalau lo masih berontak kayak gini.” Kalimat itu membuat Bevi langsung terdiam. Dia menggerakkan tangan berusaha terlepas dari cekalan Raka. Namun, Raka tetap mengeratkan cekalan itu. “Ya udah lo mau ngomong apa?” “Ini soal temen gue,” jawab Raka cepat. Bevi mendengus. Seketika dia ingat dengan lelaki dingin yang membuat dirinya dipecat. “Si Birzy itu, kan? Mau apa lagi dia? Gara-gara dia gue dipecat.” “Oh, ya?” Satu alis Raka tertarik ke atas. “Kayaknya Birzy baru tahu, deh, kalau lo dipecat sama Barry.” “Cih! Omong kosong!” Bevi berusaha menarik tangannya tapi belum juga berhasil. “Mau apa lagi? Gue harus pulang.” Raka menatap Bevi dengan senyum segaris. “Temen gue pengen ketemu lo.” “Buat apa?” Wajah Bevi langsung memerah. Jika ingat dengan Birzy, darahnya langsung mendidih. Dia ingin memaki dan memukul lelaki itu hingga amarahnya menghilang. “Ikut gue!” Raka langsung menarik Bevi ke dalam kelab. Bevi mulai panik. Dia berusaha menahan tangan Raka, tapi tenaga lelaki itu jauh lebih besar. Dia mengedarkan pandang mencari Felis untuk meminta bantuan. Sayangnya, temannya itu sudah tidak ada di kursi yang tadi. “Kita mau ke mana?” Bevi kian panik saat Raka mengajaknya ke lantai atas. “Nanti lo juga tahu,” jawab Raka dengan senyum misterius. Dia membuka pintu ruangan privat dan melihat sahabatnya sedang duduk sendiri dengan kepala tertunduk. “Lo minta maaf ke dia,” bisiknya ke Bevi. Perhatian Bevi tertuju ke lelaki yang duduk di sofa panjang itu. Satu tangannya terkepal, amarahnya kembali mengambil alih. “Ngapain gue minta maaf ke dia? Gue nggak salah!” Birzy mengangkat wajah kala mendengar keributan itu. Dia mengernyit, mendapati gadis yang ada di showroom berdiri di samping Raka. “Kalian bisa pergi dan tinggalin gue.” “Gue yang pergi. Tapi dia enggak!” Raka melepas cengkeramannya lalu mendorong Bevi agar masuk. “Sana ngobrol!” “Ish! Apaan, sih!” Bevi berusaha menghindar, tapi Raka mendorong pundaknya. Dia terdorong ke depan, lalu terdengar suara pintu yang ditutup. Bevi berbalik, enggan satu ruangan dengan lelaki sombong itu. Ceklek... Ceklek.... Bevi tidak bisa membuka pintu. Sepertinya Raka menahannya dari luar. Brak! Dia memukul pintu kaca itu. “Keluarin gue dari sini!” “Jangan berisik!” ujar Birzy terdengar dingin. Dia duduk bersandar sambil menyesap minumannya. “Ngapain di sini?” Bevi memejamkan mata sejenak lalu berbalik. Dia memperhatikan Birzy yang tetap terlihat angkuh itu. “Gue nggak salah!” “Emang ada yang bilang lo salah?” tanya Birzy tanpa menatap lawan bicaranya. “Tapi gara-gara lo gue jadi salah!” Kedua tangan Bevi terkepal erat. Dia maju selangkah, tapi mundur lagi. Dia takut jika memukuli lelaki itu akan mendapat masalah lagi. Tidak, hidupnya saja sudah banyak masalah. Dia tidak ingin semakin menambah masalah dan membuat kepalanya seakan mau pecah. “Ke sini aja kalau pengen,” ujar Birzy yang tahu pergerakan Bevi. Amarah Bevi tidak bisa dibendung lagi. Dia melangkah mendekat lalu menarik pundak Birzy. “Lo cowok b******k, ya! Gue salah apa sama lo? Gue salah apa sampai dipecat?” Birzy tidak banyak beraksi. Dia tetap menatap ke sudut ruangan dengan satu tangan memegang gelas kecil. “Barry yang pecat lo, bukan gue!” “Tapi semuanya gara-gara lo!” teriak Bevi dengan napas naik turun. “Gue nggak tahu kalau lo ternyata ada saham di showroom itu. Gue bahkan nggak sadar maki-maki lo. Tapi cuma gara-gara itu, gue dipecat! Lo pikir, emang cari kerjaan segampang itu?” Perlahan Birzy menyingkirkan tangan yang berada di pundaknya. Dia mendongak menatap wajah Bevi yang memerah. Saat tatapan keduanya bertemu, Birzy langsung membuang muka. “Barry bilang lo terlalu banyak bikin masalah.” Bevi bergeser. Dia duduk di samping Birzy dengan kepala tertunduk. “Kesalahan yang mana? Gue yang maki-maki pelanggan? Gimana gue nggak maki-maki ada yang mau cium gue!” Birzy mengernyit, Barry tidak pernah menceritakan itu. “Lo pasti cuma alasan, kan?” “Cih!” Bevi mendengus. Dia menatap Birzy sambil menghapus air mata. “Lo nggak bakal tahu rasanya. Karena lo cowok sombong yang cuma andalin kekuasaan!” Setelah mengucapakan itu Bevi berjalan menuju pintu. Brak! Bevi memukul pintu yang belum bisa dibuka itu. Dia berbalik, menatap Birzy yang sedang menegak minuman dengan kasar. “Gue pengen keluar dari sini.” “Raka pasti yang ngunci.” “Ya lo telepon Raka bilang kalau gue pengen keluar!” perintah Bevi. Birzy meletakkan gelas ke atas meja lalu mengangkat wajah. “Lo bilang gue cowok yang cuma andalin kekuasaan. Sekarang gue nggak mau gunain kekuasaan itu. Tunggu aja Raka sampai balik.” Napas Bevi tercekat. Lelaki itu benar-benar pintar memutarbalikkan keadaan. Tubuh Bevi seketika meluruh. Kenapa dia selalu berhadapan dengan orang-orang seperti Birzy? Dia memeluk kedua kakinya lalu membenamkan wajahnya di sana. Bahunya mulai bergetar, lalu isakan itu keluar. “Nangis?” Birzy memperhatikan Bevi yang duduk bersandar di pintu. “Bentar lagi Raka dateng. Jangan anggap masalah ini terlalu berat.” “Diem lo!” sentak Bevi membuat Birzy kaget. Birzy geleng-geleng. Selama ini tidak ada perempuan yang berani membentaknya. Justru mereka berusaha menarik perhatiannya, meski dia selalu bersikap dingin kepada mereka. Bevi sepertinya berbeda. “Gue nggak nyuruh Barry buat pecat lo.” Bevi mengangkat kepala. Dia kembali menunduk saat melihat tatapan yang begitu dingin itu. “Terus kenapa gue dipecat? Dan kenapa juga lo nawar gue? Gue bukan cewek kayak gitu!” Satu tangan Birzy terkepal. Dia duduk bersandar lalu menatap ke arah lain. Selang beberapa menit, Bevi mengangkat kepala. Dia ingin mendengar jawaban dari Birzy, tapi lelaki itu seperti sibuk dengan lamunannya sendiri. “Kejadian seminggu lalu mungkin kejadian yang nggak bakal gue lupain seumur hidup. Gue dipecat gara-gara orang sok berkuasa kayak lo, dan gue dianggap serendah itu sama orang sombong kayak lo.” “Huh....” Birzy mengembuskan napas dengan pelan. “Hidup lo enak, tinggal nyuruh terus semuanya terwujud. Nggak kayak hidup gue yang harus kerja keras dulu, itupun nggak semua yang gue pengen terwujud,” ujar Bevi sambil berlinang air mata. “Sesekali lo harus mikirin orang-orang yang nggak punya kekuasaan buat bertahan hidup.” Birzy menoleh. “Jangan ajarin gue soal kehidupan.” “Gue nggak ngajarin lo!” Bevi membuang muka. “Gue kasihan aja sama lo.” “Kasihan?” Bevi menghapus air matanya. Dia berdiri tegak lalu dagunya terangkat. “Lo kelihatan banget nggak bahagia. Kasihan!” Birzy seketika berdiri. Kedua tangannya terkepal mendengar kalimat Bevi. “Lo sama sekali nggak tahu kehidupan gue.” “Emang!” jawab Bevi santai. Ceklek.... Pintu terbuka. Bevi menoleh ke arah pintu, lalu menatap Birzy sekali lagi. “Selama seminggu gue berdoa, biar nggak ketemu cowok kayak lo lagi!” Setelah mengucapkan itu dia keluar dari ruangan. Birzy menatap kepergian Bevi dengan senyum sinis. Dia kembali duduk lalu menegak minuman langsung dari botol.   ***   Kenapa gue ketemu cowok aneh kayak dia? Dasar cowok dingin! Cowok beku! Cowok nggak punya hati. “Aaahhh!” Bevi berteriak sambil mencoret buku diary-nya. Napasnya naik turun karena lagi-lagi ingat kejadian beberapa jam yang lalu. Dia sudah mengeluarkan unek-uneknya di depan Birzy, tapi lelaki itu tidak banyak memberi respons dan tetap merasa tidak bersalah. “Ish!” Kedua tangan Bevi menggaruk kepalanya yang terasa gatal. Dia lupa, harusnya tadi mencekik Birzy sekalian agar lelaki itu tahu dia tidak terima diinjak-injak. Sayangnya, Bevi tidak bisa melakukan itu. Berada terlalu dekat dengan Birzy membuatnya merinding. Aura lelaki itu seperti mengintimidasinya. Bevi menepuk pipinya beberapa kali. Dia mulai menyadarkan diri bahwa tindakannya tadi cukup berani. Setidaknya dia bisa memaki Birzy meski dia terlalu emosional dengan menangis di depan lelaki itu. “Malam ini harus diakhiri!” Bevi berdiri lalu berbaring di ranjangnya yang terasa dingin. Dia menarik selimut lalu memejamkan mata. Sayangnya, bayangan wajah Birzy yang tanpa ekspresi langsung memenuhi pikirannya. Bevi menyibak selimut lalu memukul sisi kepalanya berkali-kali. Setelah cukup tenang, Bevi kembali bersiap tidur. Bibirnya mulai menggumam. “Cowok kayak gitu nggak penting masuk pikiran lo, Bev. Nggak penting.”   ***   Drtt.... Bevi merogoh tas slempangnya lalu mengambil ponsel. Dia melihat panggilan masuk dari nomor baru. Biasanya dia jarang mengangkat panggilan, tapi kali ini dia memilih mengangkatnya. Dia yakin pasti dari salah satu kantor yang telah dia lamar. “Halo, dengan siapa?” tanya Bevi sambil melanjutkan langkah. “Dengan Ibu Bevi? Bisa datang ke kantor untuk seleksi wawancara?” Langkah Bevi seketika terhenti. Dia menatap ponselnya lalu menempelkan di telinga. “Kalau boleh tahu ini dari siapa, ya?” “Saya Irana dari Harsono Grup.” Mata Bevi seketika melebar dan bibirnya tertarik ke atas. “Selamat pagi Bu Irana. Bisa, Bu. Kapan saya harus ke kantor?” “Setelah makan siang, ya. Saya tunggu.” Kabar baik itu membuat Bevi langsung bersemangat. Dia memasukkan ponsel ke tas lalu berbalik arah. Dia harus mempersiapkan diri untuk wawancara nanti. Dia menganggap ini kesempatan satu-satunya, dan dia harus memberikan yang terbaik. Saat jam makan siang, Bevi telah duduk di sofa tunggu. Dia mengedarkan pandang melihat beberapa karyawan yang mulai berjalan keluar. Bibirnya tersenyum, membayangkan dia menjadi bagian dari karyawan itu. Bevi menoleh ke belakang, melihat sebuah lukisan pemandangan alam yang terlihat begitu indah. Lalu dia memperhatikan interior lobi yang didominasi warna silver. Hingga perhatiannya tertuju ke seorang lelaki yang berjalan dari arah lift. “Nggak mungkin!” Bevi langsung berdiri dan memperhatikan lelaki itu. Dia mengerjab beberapa kali tapi tidak ada yang salah dengan pengelihatannya. Dia tetap melihat si dingin yang semalam dia temui. “Apa ini kantor dia?” Jantung Bevi langsung berdegup kencang. “Nunggu wawancara?” Bevi menelan ludah saat Birzy menyadari kehadirannya dan tahu tujuannya ke mari. Dia mengangguk pelan lalu menggigit ujung bibir. “Lo... lo karyawan sini?” Sedetik kemudian dia merasa ragu. Tidak mungkin Birzy karyawan biasa. Apalagi lelaki itu juga ada andil di showroom milik Barry. “Ayo, masuk!” Birzy berbelok ke arah kiri dan membuka ruangan di sana. “Bener, ini pasti kantor dia! Gue harus gimana?” Bevi menutup mulut. Kakinya bergerak gelisah. Dia maju selangkah, kemudian kembali ke posisi semula. Dia ingin keluar tapi Birzy terlanjur melihatnya. Di satu sisi dia juga malu karena semalam memaki-maki Birzy, sedangkan sekarang dia ada interview di kantor lelaki itu. “Pengen kerja, kan? Kenapa masih diem di situ?” Bevi tersentak kaget. Dia mengangguk ke Birzy yang berdiri di dekat pintu. “Iya, Pak,” jawabnya susah payah. Dia menarik napas panjang lalu berjalan mendekat. Semuanya sudah terlanjur. Bevi tidak bisa mundur, hanya bisa menghadapi secara langsung.   ***   “Jadi, Bevi ngelamar kerjaan di sini dan lo terima?” Birzy mengangguk pelan. Dia melonggarkan dasinya lalu menegak minuman yang tersedia di ruangan Raka. “Setelah dipecat besoknya dia ngelamar di sini. Itupun gue baru tahu tadi waktu Irana kasih berkas calon pegawai baru. Masih magang juga.” Raka geleng-geleng, merasa dunia sangat sempit. “Dan lo manfaatin kesempatan itu?” Satu alis Birzy tertarik ke atas. Dia memperhatikan Raka yang tersenyum kecil itu. “Gue nggak cari kesempatan.” “Terus?” Birzy duduk bersandar. Dia ingat kalimat Bevi semalam. Gadis itu seolah menyindirnya yang memiliki kekuasaan. Sekarang, dia ingin membuktikan bahwa kekuasaannya juga berarti. Entah, Bevi akan terima dengan itu atau tidak. “Gue pengen tes aja seberapa kuat dia di sini.” “Wait!” Raka bergeser mendekat. Dia mendapati senyum sinis Birzy, senyuman yang jarang dia lihat. “Lo ada rencana buat ngerjain dia? Bentar, lo sebenarnya tertarik sama dia atau gimana, sih?” “Siapa bilang gue tertarik sama dia?” tanya Birzy dengan bosan. “Gue pikir lo tertarik sama dia. Mata dia pasti....” “... jangan bahas mata dia.” Birzy langsung memotong ucapan Raka. “Udahlah, lo nggak perlu tahu apa rencana gue!” Birzy berdiri lalu keluar dari ruangan Raka. Dia berjalan menuju ruangannya dengan rahang mengeras. Sudah lama Birzy tidak bermain-main dengan seseorang dan sekarang dia menemukan seseorang itu. “Pak Birzy. Tadi ada karyawan baru yang ingin bertemu dengan Bapak.” “Suruh dia ke sini!” jawab Birzy dengan senyum sinis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD