Tanda Merah

1271 Words
Sebuah kain yang sama, yang kini tengah ia pakai. Lalu bagaimana mungkin bisa sama seperti ini? Karena seingat Hellen, suaminya itu hanya mengatakan ‘satu’. Dan … Apa ini? Bau yang tercium pada kain tersebut sangat berbeda jauh dengan bau parfum miliknya. Bau parfum seorang wanita yang sudah bercampur dengan bau parfum milik suaminya. “Sedang apa, Sayang?” Hellen buru-buru menyembunyikan kain tersebut di balik punggungnya, Wanita yang rambutnya masih tergerai sebatas punggung itu tersenyum tipis. “Enggak, ini … tadi aku tepokin nyamuk, Mas. Habis digigit, gatel banget rasanya.” Hellen menggaruk belakang lehernya dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya masih ia sembunyikan di belakang punggung. Dalam hati, wanita itu berdoa semoga suaminya tak curiga akan sikapnya. “Oh,” Mico menganggukkan kepala dan dengan kasar, ia menjatuhkan dirinya-berbaring-di atas kasur yang empuk ukuran king size itu. “Mas, nggak mandi dulu?” “Nanti.” “Nggak lengket?” tanya Hellen lagi. “Nggak. Jugaan bolak balik mandi, capek!” Mico menjawab sembari memejamkan matanya. “Ca-capek? Memang Mas mandi berapa kali seharian ini?” Rasa penasaran yang semula meredup kini bangkit kembali setelah Hellen merasa bahwa ucapan suaminya itu terasa janggal. “Mas?” Panggilan Hellen ternyata tak mendapat respon apapun dari suaminya. Tak lama, wanita itu melihat d**a Mico naik turun secara teratur-menandakan bahwa suaminya itu telah terbuai di alam mimpi. Hellen menghela napas. Ia kemudian menarik tangan yang tadi disembunyikannya di belakang punggung. Hidungnya kembali membaui kain yang masih dipegangnya itu. Ia benar-benar yakin bahwa yang tertempel di kain itu jelas bukan bau parfumnya. Lalu apa maksudnya jika bau parfum sang suami pun melekat di sana? Bolehkah kini Hellen menaruh curiga pada sang suami yang kerap menggaungkan kata cinta kepadanya? *** “Hellen?” Wanita yang tengah memerika omset penjualan di butiknya bulan ini pun menoleh ke arah sumber suara yang memanggilnya. Netranya dapat menangkap sosok wanita yang familiar tengah melambaikan tangan ke arahnya sembari tersenyum. Wanita yang selalu memakai anting di hidungnya itu selalu tampil mempesona. Bahkan sekalipun wanita itu memakai baju yang jelek, tetap akan terlihat cantik. “Eh, kak Sally.” Hellen segera bangkit dari kursi putarnya dan menghampiri wanita yang merupakan kakak tirinya itu. Ibu Hellen menikah dengan ayah dari Sally sekitar dua tahun yang lalu pasca meninggalnya sang ayah sepuluh tahun lamanya karena penyakit diabetes yang diderita. Ayah Sally merupakan mantan pacar dari ibunya. Mungkin itu yang dinamakan jodoh, tapi, sejujurnya, meskipun Hellen sendiri sudah menikah, ia masih belum yakin jika Mico merupakan jodohnya, toh ketika pada akhirnya sang suami lebih dulu dipanggil oleh Sang Pemilik, tidak menutup kemungkinan ia menikah lagi, seperti halnya sang ibu. Hellen memeluk kakak tirinya itu dengan pelukan hangat. Meskipun mereka bukan saudara kandung, namun, sikap Sally dari awal perjumpaan mereka begitu friendly terhadap Hellen juga tidak sombong. Kesombongan yang tidak melekat pada diri Sally adalah hal utama yang membuat Hellen menyayangi kaka tirinya itu. Maklum, Sally adalah seorang model catwalk juga model beberapa iklan yang sering tampil di layar televisi dan yang paling penting, ayah tirinya adalah pemilik perusahaan manufaktur di ibu kota. “Kakak lagi nggak sibuk nih?” tanya Hellen setelah melepas pelukan mereka. “Mana ada kalau sibuk bisa berkunjung ke sini,” sahut Sally sembari menoyor pelan kepala Hellen. Hal lumrah yang sering wanita itu lakukan pada adik tirinya. Hellen tersenyum lebar. “Angin apa yang membuat kakak mau datang ke sini?” “Dih, curigaan. Kalau kakak cuman mau menengok adik kecil yang lucu ini gimana?” Sally mencubit gemas dagu Hellen. “Adik kecil apanya? Lah wong Hellen udah nikah. Kakak aja nih yang setia menjomblo,” sahut Hellen sembari menyindir sang kakak tiri. “Belum ada yang cocok. Kenalin dong sama temennya.” Sally tertawa lalu ia duduk di sofa yang berada di dalam ruang kerja Hellen tanpa dipersilahkan terlebih dahulu dengan sang pemilik butik. Hellen memandang sewot ke arah Sally sembari mencibir, “Perasaan udah beberapa kali Hellen kenalin deh, kakak aja nih yang belum bisa move on dari sang mantan.” Hellen memang pernah mendengar cerita dari ayah tirinya bahwa kakak tirinya itu tak pernah sekalipun ingin menjalin hubungan dengan pria manapun setelah kandasnya hubungan asmaranya karena lost kontak semanjak pacar Sally berpindah ke luar kota sejak kuliah semester lima, mengikuti jejak orangtuanya. Ya, dulu Sally memang berpacaran sejak berada di bangku putih abu-abu berlanjut hingga kuliah, pun mreka mengambil jurusan yang sama. Jurusan akuntansi. Sayangnya, sang pacar yang merupakan anak seorang dokter, harus mengikuti jejak orangtuanya tatkala orangtuanya harus pindah tugas. Sebulan dua bulan mereka masih berhubungan, namun menginjak bulan ketiga, sang pacar tak lagi bisa dihubungi. Bahkan, sosial media nya pun hilang tanpa jejak. “Cinta pertama itu paling berkesan, Hell!” “Ish, Kak Selly, udah dibilangin jangan panggil aku dengan sebutan ‘Hell’ juga. Hell itu kan artinya neraka kak.” Hellen mengerucutkan bibirnya-tak terima. “Astaga. Maaf-maaf. Kakak lupa. Oke deh Ellen.” “Nah gitu. Kan ngambekku gak jadi.” “Lah katanya udah nikah, kok malah kayak anak kecil pake acara ngambekkan?” Sally tertawa lebih lebar sekarang, tapi tawa Sally sejelek apapun, selalu tak pernah membuat ilfell yang melihatnya. Sesempurna itu makhluk cantik yang kini duduk sembari menyilangkan kakinya itu di salah satu sofa ruang kerja Hellen ini. “Kak Sally beneran nggak bisa move on?” Sally menatap Hellen dengan lamat, tatapan yang sebelumnya tidak pernah perempuan itu berikan pada sang adik tiri. Selang beberapa detik, ia menghela napas lalu tersenyum. “Bagaimana bisa aku move on? Nyatanya pria itu masih sang mencintaiku.” Hellen justru mengernyit. “Maksudnya? Dari mana kakak tahu kalau sang mantan masih mencintai Kak Sally?” “Dia belum jadi mantan Hellen. Belum.” Seperti ada penekanan dalam kata ‘belum’ itu. “Pria itu masih pacarku.” “Tapi Hellen dengar, Kakak sudah lost kontak dengannya.” “Kata siapa?” “Hah? Gimana?” “Kami sudah bertemu kembali, kok.” “Oh, iya kah?” jawab Hellen dengan sorot mata yang berbinar. Sungguh meksipun ia hanya sebatas adik tiri, ia ikut merasa senang mendengar berita bahagia dari kakak tirinya itu. “Hellen seneng banget dengernya.” Wanita yang memakai dress warna cream itu langsung memeluk kembali kakak tirinya. Namun, kali ini, indera penciumannya menangkap bau yang baginya terasa tak asing. “Makasih,” sahut Sally sembari membalas pelukan Hellen. Hellen lalu melepaskan pelukannya dan berucap, “Udah makan siang?” “Belum.” “Oke. Aku pesenin makanan dulu.” “Nggak usah.” “Kok?” “Aku udah ada janji mau ketemu pacarku dan makan siang bersama.” “Ciyee … buruan minta dihalalkan pacarnya kak,” sahut Hellen. “Kamu setuju?” “Hah? Ya jelas setuju dong. Aku seneng kalau kakak juga bakal menikah.” “Makasih adik tersayang,” timpal Sally. “Aku izin ke kamar mandi bentar ya?” ucap Sally lagi. “Duh, kayak izin sama sapa aja. Sok atuh kak. Tau kan kamar mandinya di mana?” Sally hanya menganggukkan kepala lalu melepas cardigan warna merah hati yang ia pakai. Menyisakan pakaian model tang top yang membalut tubuh seksi miliknya. Perbuatan Sally yang melepas cardigannya itu tak lepas dari perhatian Hellen. Kebiasaan yang memang sering dilakukan oleh Hellen. Pemerhati kakak tirinya itu. Namun, satu hal yang kini berhasil membuat Hellen seketika terkejut, saat melihat tanda merah kebiruan yang tercetak jelas di sisi kanan ketiak kakak tirinya. Hellen bukanlah wanita polos yang tidak bisa memaknai tanda itu. Sally kini sudah menghilang dari hadapannya. Namun, tanda tanya masih bersarang di hati Hellen. “Tanda merah itu … letaknya kenapa begitu mirip dengan tanda yang suamiku berikan setiap kali kami bercinta?” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD