Bab. 1 - Bosku Sahabatku

1626 Words
Masa lalu kadang begitu sulit untuk benar-benar ditutup dan diabaikan Namun, akan lebih sulit membukanya kembali Karena yang telah lalu, tak akan bisa terulang lagi.. *** Wajah gadis itu mulanya cerah merona. Merekah bagai kuntum mawar mekar di pagi hari. Beberapa detik lalu sudah berubah muram durja. Baru kemarin malam ia membuka blokiran nomor Whats*pp dari mantan pacarnya. Agaknya, harapan yang ia bangun terlalu tinggi sampai lupa bagaimana kenyataan bisa memporak-porandakannya dalam sekejap. Ia masih saja terpekur. Sejenak tanpa sadar menatap gambar bahagia di status sang mantan. Seorang pria berkulit sawo matang, dengan binar mata yang memancarkan kebahagiaan mendalam. Lalu di sampingnya tersenyum seorang perempuan dengan jilbab merah muda. Di antara keduanya seorang bocah kecil duduk di tengah-tengah. Gadis itu menarik napas pendek. Ulu hatinya nyeri seketika. Akan tetapi, semua ia tahan semampu dan sebisanya. Jemarinya dengan lemas berusaha mengikuti aliran pikiran ketimbang jeritan perasaannya. Nalarnya memaksa kembali untuk memblokir nomor tersebut. Seperti orang bilang, terkadang untuk membahagiakan dan menghargai diri sendiri, kita perlu mengorbankan sesuatu. Entah itu perasaan yang menyayat batin, atau justru perasaan yang terlalu posesif pada kalbu sendiri. Sena Ayu Almeera, seketika menutup ponsel dan menelungkup wajah. Matanya memanas seakan menahan luapan kesedihan begitu mendalam. Ia berusaha menguatkan diri untuk ke sekian kalinya. Berperang dengan keinginan hati bukanlah hal mudah. Ia berharap terlalu dalam. Menginginkan pria itu kembali dalam hidupnya. Faktanya, takdir sedang tidak berpihak padanya. Sangking sibuknya mengatur gemuruh dalam d**a yang mendadak sesak, ia sampai tak sadar seseorang memghampiri. Pria itu menoleh sebentar ke kanan-kiri, mencaritahu apakah ada makhluk yang akan mengintai dirinya jika mendekati sang sahabat. Setelah dirasa semua aman terkendali, ia langsung mrnepuk punggung Sena dengan agak sedikit keras, untung tidak sakit, hanya mengejutkan saja. Gadis itu terlonjak mengangkat badan. Menoleh kilat ke sisi samping. Mukanya langsung merah menanggung kesal. "Ngapain kamu nangis siang bolong gini?!" ejek pria tersebut setengah mencibir. "Siapa yang nangis?! Cuma ngantuk sampai mata berair ini!" protes Sena tak terima. Harga dirinya terlalu tinggi untuk menunjukkan kesengsaraan dalam jiwanya. Lebih baik memendam dalam dan berusaha tegar, biar saja orang melihat dirinya baiik-baik saja. Daripada harus ia tunjukkan sisi rapuhnya. Bahkan pada sahabatnya sendiri pun ia enggan terlihat lemah. "Aku butuh bantuan kamu, Sen." Pria itu duduk di kursi kosong kubikel samping Sena. Semua karyawan agaknya sedang makan siang. Entah apa yang dilakukan Sena sampai malas ke luar untuk mengisi perut. "Bantuan apalagi, Dion? Kamu terlalu sering minta bantuan. Dan hampir sembilan puluh persen nggak ada yang bener," keluh Sena sebal. Terakhir kali ia ingat, Dion memintanya mengirimkan sebuket bunga mawar hitam berukuran jumbo, beserta surat rahasia. Ujungnya, Sena yang kena tamparan perempuan karena dianggap sebagai perebut kekasih orang. Dion memang sering sekali gonta-ganti pacar. Katanya untuk seleksi masa depan. Dan selalu Sena yang kena imbas masalahnya. Sampai-sampai semua mantan pacar Dion mengira kalau Sena adalah dalang di balik putusnya hubungan mereka. Padahal, Sena tak tahu apa-apa. "Kamu tahu kan saudaraku sebentar lagi balik. Aku nggak bisa main-main lagi kalau ada dia. Kamu harus bantu aku buat jadi pacar beneranku." "Hah? Pacar beneran gimana maksud kamu?! Nggak mau! Jadi pacar bohongan aja aku ribet setengah mati, sekarang kamu suruh aku jadi pacar beneran?! Mimpi kamu!" "Ayolah, please. Kalau nggak gitu, bisa-bisa kakakku kirim mata-mata buat mengawasiku. Aku susah bebas nanti. Cuma kamu yang bisa mengantisipasi kemungkinan itu, Sen." "Tunggu. Kenapa aku? Cewekmu kan banyak, tinggal pilih salah satu!" "Beda, Sena sayang. Kakakku bukan orang yang mudah menerima. Sifat selektifnya lebih mumpuni dibanding aku. Cuma bedanya ya, sangking pilih-pilih banget jadinya dia kelamaan jomblo." Sena berdecak sinis. "Bukan dia yang kelamaan jomblo, tapi kamu yang keseringan main-main, jadinya mantanmu bececeran di mana-mana." "Ya, namanya juga lagi usaha. Siapa tahu nemu yang klop kan. Lagian, nggak pa-pa pacaran bekali-kali yang penting nikahnya cuma sekali seumur hidup." "Ada yang mau sama kamu?" "Banyak." "Oh ya? Bukannya semua cuma mau jadi pacarmu? Mereka juga bakal pikir seribu kali lah untuk punya pasangan sehidup semati kayak kamu." "Nggak masalah, kalau aku nggak nemu salah satu dari mereka, kan masih ada satu di sini." Dion mengedip-ngedipkan mata. Sena merinding sendiri. Bicara dengan Dion berhasil mengusir sakit hatinya untuk sekejap. Tak lama pria itu mendapatkan sebuah panggilan telepon. Kemudian ia buru-buru pergi tanpa berpamitan seperti biasa. Sena menggerutu tak jelas. Kebiasaan Dion tak pernah sirna, datang tak bersuara, pergi tanpa suara pula. Istilahnya selalu tiba-tiba begitu. Beberapa rekan kerja Sena sudah kembali dari istirahat makan siang. Mereka duduk si kubikel masing-masing. Salah satunya duduk tepat di sebelah Sena. "Kamu beneran puasa, Sen?" tanya Hanum. "Iya. Puasa ganti hutang," balas Sena singkat. Rupanya ia tak ikut makan siang karena memang sedang mengganti hutang puasanya. "Oh ya, kamu tahu berita terkini yang lagi santer nggak, Sen?" "Soal apa?" "Itu loh, denger-denger bosa besar mau datang." Sena menautkan alis bingung. Siapa yang dimaksud bos besar? Setahunya bos di perusahaan ini ya Dion, sahabatnya. Apa mungkin yang dimaksud adalah Pak Purnama? Alias ayah tiri Dion? Rasanya tidak mungkin. Sena tahu kurang lebih, sedikit banyak mengenai rumitnya hubungan antara anak dan ayah tiri itu. Dion tak suka berada di bawah kendali ayah tirinya. "Bos besar? Siapa?" "Kakaknya Pak Dion." Hanum menjawab sembari memungut sesuatu di bawah sana. "Sen, name tag mu jatuh lagi nih. Kebiasaan banget kamu," ujarnya seraya menyodorkan kartu karyawan milik Sena. Gadis itu hanya meringis dan berterimakasih. Di sisi lain ia baru mengerti. Maklum saja, ia memang sudah dekat dengan Dion sejak di bangku sekolah menengah atas. Namun, tak sekali pun pernah bertemu dengan keluarganya secara langsung. Dion paling enggan membahas cerita mengenai keluarga karena ia bukan anak kandung. Walau demikian, Dion suka menceritakan tentang kakaknya. Ia mengagumi sosok tersebut, sampai-sampai apapun yang dikatakan sang kakak tak bisa ia tolak. Dion ini tipe pembangkang sekali dan suka melawan ayah ibunya. Tapi, ia takluk di hadapan kakaknya. Itu yang Sena tahu. Sayangnya, ia sudah tak ingat seperti apa wujud asli kakak Dion. Sudah lama sekali terakhir kali pria itu menunjukkan foto sang kakak pada Sena. Hanum menepuk pundak kawannya. "Sena! Kok malah melamun sih?" "Nggak kok." "Pasti penasaran juga ya. Kamu sudah lihat penampakan aslinya belum? Kami kepoin beliau di Instagr*m loh, ganteng banget! Kayak aktor-aktor luar negeri gitu!" seru Hanum semangat. "Oh ya?" Sena kurang tertarik dengan obrolan kali ini. Ia lebih memilih lanjut menyelesaikan pekerjaan. Hanum berusaha menunjukkan foto pada Sena. Namun, Sena hanya mengangguk-angguk saja tanpa benar-benar memandangi gambar tersebut. Hari ini Sena pulang agak malam karena harus lembur menyelesaikan beberapa pekerjaan. Ia merapikan meja dan menyimpan berkas-berkas di laci. Kantor sudah mulai agak sepi, tinggal beberapa orang saja yang juga masih lembur seperti dirinya. Ia menyempatkan diri mengecek ponsel sebelum memasukkannya ke dalam tas. Dari sekian banyak pesan di aplikasi hijau, ia membuka satu pesan dari Dion. Pria itu menyuruhnya datang ke ruangan sekaligus membawa berkas yang ia pinta. Pesan tersebut agaknya sudah dikirim sejak satu jam lalu, tapi Sena belum menyadarinya. Ia pun bergegas menuju ruangan Dion. Sampai di sana, setelah mengetuk pintu dan masuk, seperti biasa saat tak ada orang lain melihat, maka ia akan bersikap layaknya karib biasa yang suka seenaknya bertindak pada temannya. Lihat saja bagaimana Sena memukulkan map di tangan ke punggung seorang pria yang sedang berdiri menghadap meja. "Nih, berkas yang kamu minta. Aku capek banget malam ini, jangan minta yang aneh-aneh dulu ya! Awas saja kalau nanti tengah malem tiba-tiba muncul di rumahku! Aku mau rehat pokoknya. Nggak melayani permintaan apapun. Titik!" omelnya sembari meletakkan map berwarna hijau ke atas meja. Tanpa melihat sosok yang ada di dekatnya. Gadia itu pun segera berlalu pergi tanpa peduli lagi. Tepat ketika pria tersebut membalikkan badan dan mengamatinya baik-baik. Sena tak sadar kalau kartu tanda pengenal karyawannya terjatuh di lantai. Pria berpostur tinggi tegap dengan rahang tegas itu memungutnya dan membaca identitas diri Sena. Ia mengurut kening seketika. Sementara itu di lobi kantor tak sengaja Sena berpapasan dengan Dion. Jelas saja ia terperangah kaget. Seingatnya baru beberapa saat lalu pria itu berada di ruang kerjanya. "Di." Sena meralat ucapannya. "Pak Dion!" panggilnya langsung mendekati pria tersebut. "Kenapa?" Dion bertanya dengan tampang sok bosy. "Bukannya barusan Pak Dion masih ada di ruangan kerja? Saya baru saja antarkan berkas yang Anda pinta." Dion menautkan alis bingung. Pasalnya, ia baru saja selesai makan malam dengan temannya. "Kamu nggak salah lihat?" Sena menggeleng yakin. "Masa ada hantu sih? Nggak mungkin kan?" cibir Sena. Beberapa orang lewat dan menyapa Dion, mereka adalah karyawan lembur yang baru akan pulang. Setelah benar-benar sepi, Sena menghela napas panjang. Mengembuskannya perlahan untuk menetralisir kebingungan. "Kamu salah lihat paling. Aku baru balik makan ini. Lagian, kamu disuruh anter berkas dari sejam lalu, baru diantar sekarang. Keburu kelaperan aku nungguin." "Lhah, terus siapa dong yang ada di ruanganmu?" Dion mengangkat bahu tak tahu. "Biar kucek. Kamu pulang aja sana. Udah malem ini." "Ya memang mau pulang kok ini. Ngapain di kantor terus, sereemmmmm tahu..." Sena berusaha menakut-nakuti. Dion agak merinding tapi pura-pura sok berani. "Nggak takut sama set*n aku." "Iyalah, set*n yang takut sama kamu," ledek Sena. "Kamu minta dicium ya?" "Idih! Ogah! Bibirku terlalu limiter edition buat kamu yang terlalu pasaran, Dion!" "Astaghfirullah... menghina sekali anda ya?" "Itu fakta." Sena menjulurkan lidah, kemudian berjalan pergi meninggalkan Dion begitu saja. "Awas kamu ya! Tunggu aja ntar malem! Kubikin lemes pokoknya!" "Bodo amat! Pintu kukunci rapet!" "Kuterobos jendelamu!" "Kupalang jendelaku pake lemari!" "Minta bukain Nenek lah." Sena menghentikan langkah sebentar. Melotot kesal pada Dion. "Dasar licik!" keluhnya kalah telak. Lalu ia pun ke luar tanpa menggubris tawa kemengangan sahabatnya. Di sisi lain, mereka tak sadar, seorang pria sedang memperhatikan sejak tadi. Dan lagi-lagi pria itu tampak mengurut kening frustrasi. "Mainnya sama karyawan sendiri. Makin nggak bener nih anak," gumamnya. Ia kembali memandangi name tag milik Sena. Seolah memikirkan suatu cara. Niatnya mengembalikan jadi urung karena mendengar percakapan dua orang barusan. Pikirannya jadi melantur ke mana-mana tak karuan. ==& ISB &==
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD