Bab. 2 - Salah Pengertian

838 Words
Kata orang, berhati-hatilah dalam mendengar atau pun berucap Karena tidak semua yang kita dengar benar adanya Dan tidak semua yang kita ucap dapat dipahami maknanya dengan benar *** Paginya, sekitar pukul delapan kurang Sena sudah bergelut dengan kepanikan. Ia mendatangi pos jaga untuk mengecek apakah mereka menemuka name tag miliknya, atau ada karyawan lain menitipkan name tag temuan pada para petugas keamanan. Namun, tak satu pun petugas yang menemukan identitas karyawan milik Sena. Gadis itu terpaksa menemui admin bagian personalia untuk minta kartu sementara. Supaya bisa masuk ke kantor. "Sena, dalam sebulan terhitung sudah lima kali kamu minta kartu sementara," kata Widya seraya tersenyum. "Iya, Mbak. Maaf." Widya geleng kepala. "Cantik-cantik kok teledor banget sih kamu nih. Ini saya kasih kartu sementara. Tapi, habis ini kamu langsung ke ruangan Pak Dion ya." "Ada apa memangnya, Mbak?" "Saya juga kurang paham. Barusan bos besar telepon kalau kamu datang minta kartu sementara, langsung suruh ke ruangan Pak Dion." Sena pun berterimakasih setelah mendapatkan apa yang ia perlukan. Gadis itu bergegas menuju lantai dua dan mendatangi ruangan bosnya. "Ada apa kamu manggil aku pagi-pagi begini? Tumben jam segini kamu sudah sampai kantor. Biasanya juga paling banter jam sepuluhan baru dateng. Itu pun jarang. Seringnya jam sebelasan lewat," dumel Sena setengah tak percaya. Melihat Dion duduk santai sambil membaca koran, di jam segini, rasanya seperti ada dalam dunia mimpi saja. Hal yang kurang masuk di akal baginya. Dan yang tak kalah mengherankan di atas meja yang dikelilingi sofa empuk, tertata buah-buahan segar, hidangan roti bakar lengkap dengan isiannya. Juga ditemani teh hangat dalam segelas cangkir putih. Setahunya, Dion tak suka sarapan. Makan saja sering telat-telat tak beraturan. Dan hobinya paling nyamil snack instan. Tanpa menunggu aba-aba, seperti biasa saat sepi dunia persahabatan mereka terbuka lebar. Sena duduk di salah satu sofa. Mencomot seonggok sandwich tanpa permisi. Bukan tidak sopan, tapi memang begitulah prinsip pertemanan mereka. Di depan orang mereka adalah atasan dan karyawan. Di luar itu, mereka sahabat karib yang selayaknya keluarga sendiri. "Sejak kapan kamu doyan makanan sehat kayak gini? Biasanya kalau dikasih tahu ngeyel, katanya lebih enak makan indomi geprek," celoteh Sena di sela kunyahan. Pria di dekatnya masih tenang, menghalangi muka dengan koran. Sena belum tahu siapa yang ada di sana. Gadis itu asik menikmati sandwich. "Oh ya, semalam nenek nanyain tumben kamu nggak nginep di rumah. Biasanya nongol tiba-tiba. Jangan bilang kalau kamu ke klub begadangan lagi? Kapan sih kamu mau berubah. Minimal buat diri sendiri gitu." Masih bicara sambil mengunyah, Sena memandang ke arah pria di dekatnya yang bergeming sama sekali. Sangking sebalnya diabaikan, gadis itu langsung menarik paksa dan merebut koran yang sedang dipegang sang pria. Betapa terkejutnya Sena sampai hampir terjungkal, mendapati sosok di depannya bukanlah Dion yang ia kenal. Melainkan orang asing entah siapa. Ia tak tahu. Gadis itu tersedak dan terbatuk-batuk kaget. Ia menepuk-nepuk dadanya. Pria tersebut bangkit dan menyodorkan minuman pada Sena. Gadia itu terpaksa menerima dan meneguknya kilat. Untung tak begitu panas. "Kamu siapa?!" pekik Sena. "Duduklah. Bicara yang sopan," ujar sang pria dengan gaya berwibawanya. Seketika Sena hanya bisa menurut dan meminta maaf atas kelancangannya barusan. "Maafkan saya. Saya nggak kenal siapa Anda. Kenapa Anda bisa ada di ruangan atasan saya?" Pria itu tersenyum sinis. "Atasan kamu? Jadi, ini ruangan bosmu? Saya pikir kamu punya skandal yang cukup signifikan dengan bosmu ya?" "Hah? Skandal? Saya? Dengan Pak Dion? Nggak mungkin." "Kamu terlihat santai sekali tadi. Tidak ada kata permisi, atau sejenisnya. Apa begini sikap kalian sehari-hari di belakang layar? Menyembunyikan hubungan di kantor?" Sena menggelengkan kepala. Agaknya, ia sadar mulai terjadi kesalahpahaman di sini. "Anda salah paham. Hubungan kami nggak seperti yang Anda maksudkan. Lagipula, sebenarnya Anda ini siapa? Kenapa bisa masuk ke sini?" "Kamu mau tahu siapa saya?" Sena mengangguk pelan. "Hubungi Dion. Suruh dia ke kantor sekarang juga. Kalau belum berhasil, kamu foto saya sekarang, dan kirim ke dia." Walau agak ambigu dengan ide tersebut. Namun, Sena tetap mengikuti instruksinya. Ia sudah berulang kali mencoba menelepon Dion. Nihil. Pria itu akan sangat sulit dibangunkan jam segini. Atau kalau pun sudah bangun, pasti enggan mengangkat telepon pagi-pagi. Seakan paham urusannya tak akan jauh-jauh dari masalah kantor. Alhasil ia pun mengirim foto sesuai yang dikatakan pria di depannya. Ajaibnya. Beberapa detik berselang, panggilan masuk dari Dion pun diterima oleh Sena. "Sena! Kamu di mana sekarang?!" seru suara di seberang panggilan. Terdengar suara kepanikan dari nada bicaranya. "Aku di ruanganmu, Dion! Cepat datang!" "Dengar. Tolong jaga bicaramu. Jangan bicara macam-macam tentangku. Bersikap sopan dan tenanglah." "Apa sih maksud kamu? Aku nggak paham." "Pokoknya kalau dia tanya apa-apa tentangku, jawab aja semua yang baik-baik. Jangan kasih tahu yang jelek-jelek." "Hah? Misalnya?" "Kamu bilang aja aku rajin kerja, rajin ibadah, nggak suka aneh-aneh. Gitu pokoknya yang bagus-bagus." Sena garuk kepala. Ia sudah terlanjur keceplosan sebagian besar keburukan Dion. Mana bisa diralat lagi. Panggilan telepon mendadak ditutup usai pria itu mengatakan akan segera ke kantor sekarang juga. Padahal, baru saja Sena mau bertanya siapa sebenarnya pria yang datang ini. "Maaf sebelumnya, Anda ini sebenarnya siapa?" tanya Sena untuk ke sekian kali. ==& ISB &==
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD