Bab. 3 - Bos Besar

1311 Words
Seorang sahabat tidak akan bisa mendengar celaan bagi sahabatnya sendiri Entah ia akan balik memaki Atau dengan tenang membela sepenuh hati *** "Maaf sebelumnya, Anda ini sebenarnya siapa?" tanya Sena untuk ke sekian kali. Seseorang mengetuk pintu dan permisi masuk. Setelah dipersilahkan, Hanum pun masuk dan menyerahkan beberapa berkas pada sang pria. "Ini dokumen dari bagian admin yang Pak Kelvin pinta disiapkan." "Letakkan di meja sana saja. Nanti saya cek." "Baik, Pak. Saya permisi." Mendengar nama Kelvin disebut oleh temannya, barulah memori Sena bergejolak lebih cepat. Nama itu tak asing ia dengar. "Kelvin Benedicte Asmaradhana," gumam Sena mengingat-ingat. Bola matanya spontan membelalak begitu sadar siapa yang ada di hadapannya sekarang. "Sudah tahu siapa saya? Nggak perlu saya jelaskan lagi kan?" timpal Kelvin dengan tenang. "Maaf, Pak Kelvin. Saya benar-benar nggak tahu," tukas Sena menahan gugup bercampur merinding di sekujur badannya. "Sejauh mana hubungan kamu dengan adik saya?" "Saya dan Pak Dion hanya berteman dekat. Nggak lebih, Pak." "Teman dekat? Hanya? Bukan teman tidur maksud kamu?" Perkataan Kelvin berhasil menusuk sanubari Sena. Gadis itu mulanya takut-takut, sekarang malah jadi kesal bukan main. Mimik wajahnya mengeras tak terima atas tuduhan yang baru saja dilontarkan oleh Kelvin. "Maksud Anda? Apa saya terlihat seperti perempuan murahan di mata Anda?!" cecae Sena tak bisa menahaan hinaan macam begini. "Kita bahkan nggak saling mengenal, tapi dengan entengnya Anda bertanya seakan ucapan Anda adalah benar. Saya rasa Anda lebih nggak sopan ketimbang saya yang mengambil makanan tanpa permisi!" lanjutnya emosionil. "Kenapa musti marah kalau memang nggak benar? Kamu tinggal membantah tanpa perlu panjang lebar berkilah." Sena semakin geram. "Terdengar sekali Anda sangat menghina saya." "Saya mendengar semua obrolan kalian semalam. Dan sikap kamu juga menunjukkan demikian." "Maksud Anda, sikap saya menunjukkan kalau saya bukan perempuan baik-baik, gitu kah?!" "Kurang lebih begitu. Di sini tempatnya bekerja. Semua orang harusnya mencari penghasilan dengan caranya yang benar. Ada peraturan juga di kantor kan? Nggak boleh ada skandal di antara karyawan satu dengan yang lainnya. Terutama atasan dan bawahan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari citra buruk yang bisa saja mengganggu perusahaan. Kamu mengerti maksud saya, bukan?" Sena mengehela napas dalam-dalam. "Anda benar-benar salah pengertian, Pak Kelvin. Jangan samakan candaan duan orang sahabat dengan pemikiran Anda yang terlalu kritis dan berlebihan. Hubungan saya dengan Pak Dion nggak seperti yang Anda sangkakan." Kelvin mengurut kening sesaat. Ia mengetik pesan balasan sebentar, sebelum kembali pada topik serius pagi ini. "Katakan, sudah berapa lama kalian berhubungan?" "Sejak sekolah menengah atas." Kelvin mendelik kaget. "Apa?! Kalian melakukannya sejak masih duduk di bangku sekolah?!" Walau pertanyaan itu agak kurang jelas, akan tetapi Sena hanya bisa mengangguk. Ia kira maksudnya adalah sejak kapan Sena dan Dion bersahabat baik. Namun agaknya, Kelvin berpikir lain yang lebih ekstream. Lihat saja ekspresi pria itu. Wajahnya langsung pucat pasi. "Keluar. Saya butuh waktu untuk menjernihkan pikiran sebelum membahas terlalu jauh." Sena langsung berdiri acuh tak acuh. Kesal dengan sikap seenaknya Kelvin. Dilihat begitu tenang berwibawa. Padahal sekali bicara menyebalkan bukan main. Pantas saja Dion kalang kabut begitu tahu kakaknya sudah tiba diam-diam di sini. Sementara itu, Sena mendudukkan diri di kursi kerjanya. Menyalakan komputer dan bersiap dengan pekerjaan. "Ada masalah apa, Sen? Kok pagi-pagi kamu sudah berurusan sama Pak Kelvin sih?" "Nggak tahulah, nggak jelas." "Lhah, gimana kamu ini." "Kapan beliau datang, Han?" "Sudah dari pagi banget, aku datang jam tujuh, beliau sudah keliling duluan malah tadi. Terus, pas kusapa, dia tanya aku bagian apa, habis itu aku disuruh siapin beberapa dokumen buat dicek." "Kira-kira berapa lama beliau di sini ya?" Sena mulai penasaran. Ia mengkhawatirkan nasib sahabatnya. "Entahlah. Bisa sebulan dua bulan, atau setahun dua tahun. Tergantung niatnya apa dulu. Kan kita belum tahu. Kedatangannya juga lebih cepat dari prediksi yang santer dibicarakan tahu." "Oh ya?" Hanum mengangguk. "Katanya, harusnya Pak Kelvin datang awal bulan depan." "Terus, kok bisa secepat ini?" "Nah itu kurang tahu juga aku, Sen." Obrolan tak dilanjutkan. Mereka berkutat dengan kesibukan masing-masing. Di sisi lain setengah jam berlalu, Dion tiba di kantor. Ia masuk ruangan dengan muka harap-harap cemas. Sepanjang perjalanan ia berpikir apa saja yang harus ia katakan untuk alasan atas keterlambatannya. Berharap kakaknya tidak tahu ia sering masuk siang. Suasana ruangan makin terasa mencekam, Dion mendapati kakaknya sibuk memeriksa dokumen di meja kerja. Ia duduk di kursi depan meja. "Kak, udah dateng kok nggak kabar-kabar?" sapa Dion berusaha setenang mungkin. "Lo tahu kenapa gue ke sini?" "Buat cek dan ricek cabang?" terka Dion sekenanya. Di luar dugaan, Kelvin mengeluarkan sesuatu dari amplop cokelat besar. Kemudian menyuruh adiknya untuk melihat gambar-gambar yang ada di kertas terbut. Betapa shock Dion, melihat foto-foto dirinya yang kurang pantas untuk dipertontonkan. "Dapat darimana ini lo, Kak?!" "Bukan itu yang harusnya lo tanya ke gue. Harusnya gue yang tanya ke lo, Dion. Ngapain aja lo bertahun-tahun di sini?! Kalau cuma buat seneng-seneng doan, clubbing, maen perempuan, dan sejenisnya, di Jakarta juga bisa. Alasan mama kasih izin lo tinggal sama almarhum nenek dulu di sini, itu supaya lo bisa instropeksi diri. Bukan malah makin menjadi-jadi kayak gini. Lo tahu, mama khawatir banget sama keadaan lo di sini. Dan beliau belum tahu soal ini." Dion terbungkam kelu. Cecaran sang kakak tak bisa ia bantah lagi. Nyalinya seketika menciut drastis. Sosok di hadapannya bukan sembarangan. Kelvin adalah kakak kesayangan Dion. Satu-satunya yang tak pernah menyalahkannya saat berbuat masalah. Dan sekarang, ia menasihati dengan cemasnya. "Dion, gue peduli sama elo. Gue bebasin lo selama ini bukan untuk selamanya. Umur lo udah tiga puluh satu tahun. Apa masih belum puas juga lo kayak gini? Mau sampai kapan? Bisa lo kasih gue kepastian? Kalau nggak, lo balik ke Jakarta. Deket sama mama. Biar gue yang pegang sini." "Kak, gue tuh udah terlanjur nyaman di sini. Lo tahu sendiri, gue nggak pernah cocok sama ayah. Daripada mama stres lihat kami bertengkar terus, mending jauh sekalian kan?" "Lo masih mau seneng-seneng?" "Ini cara gue ngurangin kesepian." "Nggak harus selalu dengan cara kayak gini. Lo punya pilihan lain kalau memang niat." "Udahlah, jangan bahas ini mulu. Lo jangan sama cerewetnya kayak ayah napa?" "Oke. Fine. Gue nggak akan ikut campur, itu hak lo. Tapi, apa harus lo bawa maenan lo ke kantor juga?" Kali ini Dion tak paham arah pembicaraan kakaknya. Mainan apa yang dimaksud? "Maksudnya, Kak?" "Lo bawa cewek temen seneng-seneng lo ke kantor, Dion. Itu nggak bisa gue benerin." "What?! Siapa yang lo maksud?" Dion menuntut penjelasan lebih. Ia benar-benar tak mengerti siapa yang dimaksud Kelvin. Kelvin merogoh laci. Mengambil name tag seseorang dan melemparkannya ke sang adik. Dion menerima dengan sigap. "Sena? Maksud lo Sena?" Dion agak heran dengan tuduhan kakaknya. "Siapa lagi kalau bukan dia? Ada berapa banyak maenan yang lo boyong ke kantor?" "Astaghfirullah... lo salah besar, Kak! Sena perempuan baik-baik." "Perempuan baik-baik karena mau tidur sama lo, gitu maksudnya?" "Gue serius. Sena nggak seperti yang lo tuduhin. Lo dapet kecurigaan macam itu dari mana sih?!" keluh Dion tak terima. Bagaimanapun juga Sena adalah sahabatnya. Teman suka dukanya. Jelas ia tak bisa menerima jika ada yang menghinanya. "Gue denger obrolan kalian semalem di lobi." "Obrolan semalem?" Dion mengingat-ingat. Dan spontan ia geleng kepala, tak habis pikir kalau gurauan keduanya malah jadi bumerang macam ini. "Kami biasa bercanda. Lo jangan mikir aneh-aneh. Gue memang suka malem-malem ke rumahnya buat minta makan. Atau kadang minta temenin begadang nonton filem sampe dia nggak kuat nahan kantuk. Itu doang, Kak. Bukan aneh-aneh kali." Kelvin memicing bingung bercampur curiga. Masih belum percaya pembelaan dari adiknya. "Kalau nggak percaya, tanya aja semua orang di kantor. Mereka tahu betul gimana Sena. Kak, gue memang bukan laki-laki baik. Tapi, gue nggak akaj sejahat itu ngajak perempuan kayak Sena buat ikutin jalan gue," ujarnya lugas. "Lo bisa pertanggungjawabkan kata-kata lo barusan?" tantang Kelvin. Dion mengangguk. "Nggak usah khawatir. Gue masih tahu aturan. Di kantor nggak boleh ada skandal apapun. Apalagi antara atasan dan bawahan. Gue minta lo jangan berpikiran jelek soal Sena. Di sini, cuma dia dan neneknya keluarga yang gue punya." ==& ISB &==
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD