Sebelum ke kampus ia mampir ke kantor, di sana ia duduk di ruangannya. Ruang kerja CEO di lantai atas ini dirancang dengan elegan dan modern, memanfaatkan dinding kaca penuh yang menyuguhkan pemandangan kota Balikpapan dan garis pantainya yang menawan. Dari sini, tampak laut biru yang membentang di kejauhan, kapal-kapal yang berlabuh di perairan, serta lanskap perkotaan yang dinamis dengan gedung-gedung perkantoran dan kawasan hijau.
Di dalam ruangan, meja besar dari kayu solid dengan sentuhan metalik berdiri kokoh di tengah, ditemani kursi ergonomis berdesain mewah. Rak buku tinggi di salah satu sisi menyimpan berbagai literatur bisnis dan dekorasi minimalis. Sebuah sofa kulit ditempatkan di dekat sudut ruangan, menciptakan area santai bagi CEO saat menerima tamu atau sekadar menikmati pemandangan sambil berpikir.
Cahaya alami yang masuk melalui dinding kaca memberikan kesan lapang dan terang, sementara tirai otomatis dapat diatur untuk mengontrol pencahayaan. Tanaman hias di beberapa sudut menambahkan sentuhan segar, menciptakan keseimbangan antara kesibukan dunia bisnis dan ketenangan alam di luar jendela.
“Permisi.” Sapa Aren yang menyembulkan kepalanya duluan sebelum akhirnya masuk dengan berkas di tangan.
“Keluar, ini belum jam kerja. Masih ada waktu tiga puluh menit untukmu minum kopi atau sarapan, sana.” Kata Artur dengan ekspresi datar dan mengusir.
“Galak banget, Pak. Eh,” Aren mengangkat tangannya sedada mengacungkan telunjuknya ingin bertanya tapi di potong oleh Kift. Kift ke kantor bukan untuk bekerja tapi mencari tau soal wanita yang selalu dipikirannya.
“keluar, tunggu saya pulang dari kampus baru kamu kemari.” Katanya lagi, Aren langsung lesu ia mengangguk dan ingin berbalik badan untuk keluar.
“Yaudah deh.” Jawabnya setelah itu keluar. Kift fokus dengan komputer di depannya ia semalam minta tolong Tian untuk minta absen anak bahasa yang masuk pagi. Setelah dapat ia mengecek satu- satu nama mahasiswi di kelas sekaligus foto mereka, matanya jeli melihat memperhatikan layar komputer mencocokan wanita yang ada di dalam pikirannya.
“Ah, ini dia. Namanya Nana, mahasiswi Pendidikan bahasa dan sastra indonesia.” Gumam Kift ia men-scroll layar laptop dengan mouse mencari status dari wanita tersebut. Matanya terbelalak kaget ia mengatupkan rahangnya ketika melihat status Nana sudah menikah. “Sudah menikah? Siapa suaminya?” tanya Kift. Kift memanggil Aren melalui interkom.
“Ren, masuk sini.” Kata Kift. Tak lama itu Aren datang dengan wajah cemberut tadi di usir sekarang di panggil.
“Iya, Pak.” Kata Aren. Kift mengirimkan soft copy data diri Nana dan di berikan oleh Aren melalui pesan pribadi Wattsap.
“Coba cek wa mu, lihat yang sudah kukirim.” Kata Kift. Aren mengambil ponselnya di kantong dan membuka pesan wa. Ia membuka file soft copy dan melihatnya.
“Kenapa ini, Pak? Ini istrinya Pras karyawan bagian teknisi Sekarang lagi di lokasi.” Kata Aren karena dia pernah datang ke acara nikahan itu atas nama perusahaan.
“Ah ya? Kok aku gak tau.”
“Waktu itu Anda sibuk meeting jadi saya wakilkan bareng karyawan lain.”
“Oh gitu.” Kift mengusap dagunya sayang sekali wanjta yang di taksirnya sudah menikah andaikan belum pasti akan di dekatinya.
“Ada apa emangnya, Pak? Sama istrinya Pras?” tanya Aren penasaran.
“Gapapa, kemarin saya lihat dia di kampus waktu berkunjung di sana terus saya penasaran.”
“Oh gitu.” Jawab Aren ia menganggukan kepalanya tanpa curiga apapun. “kalau gitu saya permisi ya.” Pamit Aren ia mengantongi Hpnya di saku.
“Tunggu, tadi kamu mau bilang apa?” tanya Kift.
“Ah, nanti aja Pak, jam makan siang aja.” Kata Aren. Kift melihat jam di tangannya ia mesti ke kampus sekarang untuk mengajar.
“Baiklah.” Jawqb Kift dan Aren keluar. Kift menegakan badannya ia mengambil folder bahan ajar yang sudah di siapkannya dari kemarin- kemarin, setelah itu ia ingin menutup layar komputer tapi tatapannya berhenti di foto Nana yang nampak tersenyum.
“Nana.” Gumam Kift. Kift mematikan layar komputer ia. Mengambil folder dan buku agenda hitam dan pergi.
***
Pagi itu, Kift keluar dari mobilnya dengan satu tangan memegang folder berisi file materi kuliah, sementara tangan satunya menutup pintu. Ia tidak menyadari bahwa di antara tumpukan file yang ia bawa, sebuah buku agenda hitam terselip di bagian bawah.
Saat ia melangkah menjauh, angin bertiup pelan, cukup untuk membuat folder di tangannya sedikit bergeser. Dalam sekejap, buku agenda itu tergelincir dari genggamannya dan jatuh ke aspal tanpa suara berarti.
Namun, Kift tidak menyadarinya. Fokusnya sudah tertuju pada perkuliahan yang akan segera dimulai. Ia berjalan santai menuju gedung fakultas, tidak menoleh ke belakang sedikit pun. Di parkiran, buku agendanya tergeletak begitu saja, halaman depannya terbuka sedikit terkena embusan angin pagi.
Setibanya di kelas, Kift langsung meletakkan folder di meja dosen dan membuka isinya. Tanpa ragu, ia mulai mengajar, menjelaskan materi dengan nada tenang yang menjadi ciri khasnya. Ia tidak merasa ada yang kurang—tidak ada yang perlu dicari.
Di luar sana, di tempat ia meninggalkannya tanpa sadar, buku agenda itu tetap diam, menunggu entah siapa yang akan menemukannya lebih dulu.
***
Seperti biasa, Nana memarkirkan motornya di parkiran kampus. Ia melepas helm dan memperbaiki rambutnya dari kaca spion setelah selesai ia turun dari sana dan berjalan menuju kampus. Saat ingin keluar ia terhenti dan menunduk tangannya mengambil buku agenda bewarna hitam.
“Punya siapa ini?” Tanya Nana dalam hati ia berdiri dan membolak balikan bukunya tak lama selembar kertas jatuh ia kemudian mengambil lembaran itu. Lembaran itu berisi materi ajar di salah satu fakultas.
“Kift,” Gumamnya mengikuti nama di Agenda itu. “Oh.” Seketika ia ingat ini nama dosen yang di bicarakan teman- temannya. Nana segera menuju kelasnya, ia menuju gedung G terus naik lift ke lantai sembilan setelah sampai ia menuju ruang kelasnya dan masuk ke sana. Sebelum menghampiri teman- temannya ia mendekati meja kating yang sedang mengobrol dengan teman- temannya.
“Permisi, Sesi. Ini, aku menemukan agenda yang terjatuh di parkiran, dari namanya sepertinya punya Dosen.” Kata Nana sembari meletakannya di meja Sesi.
“Iyakah, nanti ku cari dosennya, gak ketemu kah dirimu dengan dosen itu?”
“Aku baru datang, gimana mau ketemu.” Jawab Nana sembari meninggalkan tempat Sesi dan duduk bersama teman- temannya.
“Buku siapa itu, Mbak?” tanya Gina. Nana meletakan tasnya di meja.
“Pak Kift sepertinya.”
“Eh buset, kenapa gak di kembalikan sendiri aja?”
“Gak ah, aku gak mau.” Jawab Nana santai.
***
Tok
Tok
Tok
Kift menoleh saat ketukan pintu terdengar ia diam sejenak saat melihat mahasiswi di batas pintu itu menunduk dengan sopan. Kift kembali ke mejanya dan dia masuk.
“Permisi, Pak. Apa ini punya Bapak? Tadi teman saya menemukannya di dekat mobil.” Kata Sesi yang di ikuti ketiga temannya. Kift melihat buku agenda itu dan mengangguk.
“Oh, terima kasih ya. Siapa yang nemuin? Ini memang punya saya.” Kata Kift ramah.
“teman satu kelas kita Pak, Nana namanya.”
Kift sedikit kaget kenapa gak dia sendiri yanf kembalikan.
“Oh gitu, makasih ya. Kenapa fia gak balikin sendiri?”
“Gak tau, Pak. Hehe, kalau gitu permisi.” Pamit Sesi.
“Wanginya eh.” Bisik temannya saat keluar ke Sesi bahkan satu ruangan wangi aroma parfum maskulin dosen itu.
“Sudah wangi ganteng lagi.” Timpalnya.
Akhirnya mereka berempat salah tingkah sendiri melihat sang dosen tampan.