Bagian 6

1325 Words
Tugas mengajarnya telah selesai. Kift keluar dari kelas dan turun ke lantai bawah dengan menggunakan lift saat sampai ia melihat Nana yang ingin masuk ke lift, sepertinya ingin ke perpus. “Permisi.” Sapa Nana sopan ketika masuk ia menunduk sopan tidak melihat Kift bahkan sedikitpun pandangannya ia tundukan, ingin sekali Kift berkenalan tapi tidak enak dan juga ia harus buru- buru ke kantor. Kift keluar dari lift dan langsung menuju ruang prodi. Jam sebelas siang, hawa panas masih terasa meski AC di ruang dosen bekerja cukup baik. Beberapa meja penuh dengan tumpukan buku dan kertas, sementara beberapa dosen lain tampak sibuk dengan laptop mereka atau sekadar berbincang ringan. Kift menjatuhkan tubuhnya ke kursi dengan sedikit lelah. Ia baru saja menyelesaikan sesi mengajar pertamanya dan belum benar-benar merasa puas. Di meja sebelah, Tian yang sedang mengaduk kopi melirik ke arahnya. “Bagaimana hari mengajar pertama?” tanyanya santai. Kift menghela napas pelan, menatap layar laptop yang masih hitam sebelum akhirnya menjawab, “Not bad, Cuma bukan kelas yang aku ingin.” Tian menaikkan alisnya, sedikit penasaran. “Jadi?” “Aku ingin ngajar anak Bahasa Indonesia nanti,” ujar Kift sambil membuka beberapa catatan di mejanya. Tian terkekeh kecil. “Minggu depan, baru Senin.” Kift melirik Tian sebentar sebelum mendengus tipis. “Ini juga hari Senin.” “Tapi anak Bahasa lagi ada persiapan buat event literasi.” Kift terdiam sejenak, lalu akhirnya mengangguk kecil. Ia meraih tasnya yang disandarkan di kursi, bersiap untuk pergi. “Baiklah, well. Aku balik ke kantor dulu. Dah.” Tanpa menunggu balasan, ia langsung berdiri dan melangkah keluar, meninggalkan aroma kopi yang masih menguar di ruangan. *** Kift tiba di kantor, tak lama kemudian Aren datang menghampirinya. Aren adalah tangan kanan sekaligus orang kepercayaannya. “Habis jam makan siang kita ketemu Pak Allexe dan Pak Artur. “Untuk apa?” “Nanya lagi? Tentu saja soal batu baramu. “Oh iya, mereka memang mau bantu kita.” “Iya, mereka mau, asalkan kamu nikah,” ujar Aren dengan wajah sedikit kesal. Kift mengulum senyum jahil sambil duduk di kursinya. “Kamu aja yang jadi pasanganku, gimana?” Aren meletakkan berkas di depan bosnya dengan sedikit keras. “Amit-amit. Ini dibaca, ditandatangani, tapi jangan dimakan.” “Anak buah kurang ajar,” gerutu Kift sambil mengambil pulpen dan membuka berkas-berkas itu. Aren memperhatikan bosnya dengan tatapan penuh selidik. “Pak, bapak kok agak berubah, ya, sejak mulai ngajar di kampus gantiin sepupu bapak?” Kift tetap fokus pada berkasnya, tetapi Aren melanjutkan, “Jangan-jangan bapak ketemu chicken kampus?” Mata Kift beralih ke arah Aren sambil tetap menandatangani dokumen. “Maksudmu? Chicken kampus apaan?” “Anak-anak kampus yang bisa dipakai, diajak check-in, lalu dibayar. Kift mengangguk-angguk kecil sebelum akhirnya menutup file yang sudah ditandatangani. Ia lalu menatap Aren. “Apalagi kerjaku?” “Bebas sampai jam makan siang. Kita ke resto R&B di Batakan nanti,” jawab Aren sambil mengambil file dari meja dan berlalu keluar. Kift menghela napas. Tiba-tiba suasana kembali sunyi. *** Nana duduk di depan jendela besar kampus. Kursi dan meja tempatnya duduk menghadap ke Selat Makassar yang luas, dengan pemandangan indah Kota Balikpapan. Hari itu, ia merasa malas untuk pulang—ditambah lagi, ada perasaan sepi yang mengganggunya. Pulang ke rumah kakaknya pun bukan pilihan, karena kakaknya pasti sibuk bekerja. Nana menghela napas pelan, lalu mengambil ponselnya. Setelah ragu sejenak, ia akhirnya menelepon suaminya. Nada sambung hanya terdengar sebentar sebelum suara ceria sang suami terdengar di seberang. “Halo, cantiknya istriku! Lagi kuliah ya, Sayang?” Nana tersenyum kecil. “Iya dong, Ayang. Udah selesai sih, Cuma sedih aja, gak ada Ayang di sini.” “Ke mal aja, Cantik. Biasanya juga suka nonton bioskop.” “Iya, ya. Tapi kayaknya gak ada film bagus deh. Tapi nanti deh, mungkin aku ke sana.” “Jangan sedih-sedih, Ayang. Sana nyalon, biar makin cantik.” Nana tertawa kecil. “Iya, nanti. Ayang lagi apa? Kerja?” “Iya dong, cari duit buat istriku ini. Ayang di sana baik-baik ya, jaga diri selama aku gak ada.” “Ayang juga jangan nakal di sana.” Suaminya tertawa. “Siap, Bosku! Yaudah, Sayang, aku kerja dulu, ya. Nanti pas jam istirahat aku telepon lagi.” “Oke, Ganteng.” Nana mengacungkan jempol ke layar, seolah suaminya bisa melihat. Tak lama, suaminya pun melakukan hal yang sama sebelum akhirnya mereka menutup telepon. Hari ini, Nana memilih untuk tidak pulang bersama teman-temannya seperti biasa. Ia hanya ingin sendiri—setidaknya untuk sementara waktu. Setelah menutup telepon, Nana menatap pemandangan di depannya. Angin yang berembus dari arah laut terasa sejuk, tetapi tetap saja, hatinya masih terasa sepi. Ia menatap layar ponselnya sejenak, lalu membuka aplikasi jadwal bioskop. Mungkin memang lebih baik ke mal, seperti kata Ayang. Setelah mencari beberapa menit, Nana akhirnya menemukan satu film yang cukup menarik. Tidak terlalu antusias, tapi setidaknya bisa mengisi waktunya. “Ya sudah, nonton aja,” gumamnya pelan. Ia pun merapikan barang-barangnya dan bangkit dari kursi. Hari ini, ia akan menikmati waktunya sendiri di mal—menonton film, mungkin berkeliling sebentar, atau sekadar membeli minuman favoritnya. Setidaknya, itu lebih baik daripada berdiam diri dalam kesepian. Setelah menikmati waktu sendirian di kampus, Nana akhirnya memutuskan untuk pergi ke mal. Ia berjalan menuju area parkir, lalu menaiki motornya. Dengan helm terpasang dan mesin dinyalakan, ia melaju menuju mal, menikmati angin yang berembus di sepanjang perjalanan. Perjalanan cukup lancar, hanya sekitar lima belas menit, dan begitu sampai, ia langsung menuju area parkir. Setelah memarkirkan motornya dan melepas helm, ia berjalan masuk ke dalam mal, langsung menuju Starbucks untuk membeli minuman sebelum filmnya dimulai. Namun, begitu tiba, ia mendapati antrean yang cukup panjang. Nana menghela napas pelan. “Kenapa selalu ramai, ya?” gumamnya sambil melirik antrean di depannya. Sambil menunggu, ia mengecek ponselnya, memastikan masih ada cukup waktu sebelum filmnya mulai. Meskipun sedikit malas berdiri lama, ia tetap bertahan—bagaimanapun juga, ia ingin menikmati minuman favoritnya sebelum masuk ke bioskop. *** Kift melirik jam tangannya. Masih ada waktu sebelum makan siang dan meetingnya di restoran dekat mall. Daripada duduk diam, ia memutuskan mampir ke Starbucks. Butuh kafein untuk menghadapi diskusi panjang nanti. Begitu sampai, antrean cukup panjang, tapi bergerak cepat. Saat maju ke depan, matanya menangkap sosok yang dikenalnya—atau setidaknya, wajah yang familiar. Seorang mahasiswi, sedikit jauh di belakangnya. Ia mengingat nama gadis itu: Nana. Kift bukan tipe yang hanya diam jika ada kesempatan iseng. Ia menoleh ke belakang dan memanggil Nana. “Nana! Sini aja, di depan. Aku traktir.” Nana yang awalnya fokus ke ponselnya mengangkat kepala, sedikit bingung. Ia baru menyadari bahwa orang yang memanggilnya adalah… seorang pria berkemeja dengan lengan tergulung rapi. Wajahnya tampak santai, tapi suaranya cukup lantang untuk menarik perhatian. Sebelum Nana sempat bereaksi, Kift menoleh ke pembeli lain di antrean dan berkata dengan nada bercanda, “Maaf ya, ini pacar saya. Dia malu-malu, padahal udah janji mau bareng saya.” Sekejap, keheningan tercipta. Beberapa orang melirik mereka dengan ekspresi penasaran. Nana membeku di tempat. Pacar? Sok kenal banget! Pipinya menghangat karena malu sekaligus kesal. Masalahnya, Kift sama sekali tidak terlihat ragu saat mengatakan itu. Apalagi dengan wajah tenangnya, seakan-akan itu hal biasa. “Eh?!” Itu satu-satunya reaksi yang bisa keluar dari bibir Nana. Kift hanya tersenyum kecil dan mengisyaratkan agar Nana maju ke depan. “Udah, daripada berdiri lama di belakang, kan lebih enak kalau bareng aku,” katanya santai. Nana ingin protes, tapi rasanya percuma. Dengan setengah enggan, ia maju ke sisi Kift. Saat mendekat, barulah ia menyadari sesuatu yang membuatnya semakin bingung. Wangi ini… Aroma parfum yang dikenakan Kift terasa familiar. Nana mengernyit, mencoba mengingat. Bukankah ini wangi yang sama seperti yang pernah tercium di lift waktu itu? Tapi tidak mungkin. Maksudnya, banyak orang memakai parfum beraroma serupa. Tidak mungkin pria yang pernah berdiri di sebelahnya di lift—yang aromanya sempat menarik perhatiannya—adalah orang yang sama dengan pria yang sekarang berdiri di sampingnya sambil iseng mengaku sebagai pacarnya. Tidak, tidak mungkin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD