AWAL (2/3)

1708 Words
Reyga masih ingat dengan jelas apa yang terjadi pada tiga hari yang lalu. Sore hari itu ia baru saja pulang dari tempat les matematika. Bulan Februari memang dipenuhi jadwal les untuk persiapan ujian nasional serta ujian masuk perguruan tinggi, karena itu ia sering pulang sore atau kadang bahkan malam hari selepas Isya. Ia berjalan seperti biasa dengan kedua telinga ditutupi headset. Sambil mendengarkan lagu dari band favoritnya, ia menyusuri jalan pulang. Kadang ia mengamati sekitarnya dan sedikit bingung, karena memang hari itu jalanan luar biasa sangat macet. Bunyi-bunyi klakson terus dinyalakan dengan tidak sabar. Aneh sekali karena bahkan ketika musim mudik kemacetan tidak separah ini sampai membuat orang-orang berteriak marah. Reyga mempercepat langkahnya untuk sampai ke rumah. Ia mulai merasa sedikit khawatir. Ada yang tidak beres hari ini. "Reyga!" Reyga terkejut ketika Ayah sudah berdiri di depan pagar rumah. Ayah segera menyambar bahunya. "Darimana saja kamu? Kenapa tidak mengangkat telepon, hah?" "Eh... Dari tempat les, Yah. Kenapa?" Jawab Reyga. "Ayah gak ada nelpon kok," ia mengecek ponselnya dan jaringan di ponselnya terlihat lemah. Pantas saja panggilan ayahnya terlambat masuk. "Ayo cepat! Mobil kita sudah penuh, kamu ikut mobil Om Abi aja!" perintah ayah sambil menyeret Reyga. "Yah, ada apa? Memangnya kita mau kemana?" Tanya Reyga yang terseret dengan wajah keheranan. "Jangan banyak tanya, pokoknya kita harus segera pergi!" Reyga masuk ke dalam mobil Abi, yang merupakan tetangganya sekaligus teman ayahnya. Ia berdesakan duduk bersama kedua anak Abi yang masih kecil-kecil. Tentunya mobil Ayah sudah penuh karena ada Ibu, nenek, adik tertua dan Adik kembarnya. "Om, sebenarnya ada apa?" Tanya Reyga ketika Abi sudah melajukan mobil. Terlihat mobil Ayah Reyga yang melaju di depan mobil Abi. "Gak tahu, Ga. Pokoknya situasi lagi gawat." Jawab Abi dengan ekspresi tegang. "Gawat kenapa, Om?" "Kamu gak nonton berita?" "Hah?" "Pokoknya kita harus segera keluar dari Jakarta sekarang juga. Soalnya..." "Papa!" Teriakan anak-anak Abi berseru memekakkan telinga ketika seseorang muncul berlari menabrakkan diri ke arah mobil Abi. Seketika saja Abi membanting setir untuk menghindari orang nekat tadi, namun sayangnya mereka malah mendapat nasib buruk karena mobil bertabrakan dengan truk yang juga sedang melaju. Dan setelahnya Reyga tidak sadarkan diri. --- Entah berapa lama, Reyga akhirnya terbangun. Kepalanya terasa pening mendengar bunyi klakson mobil yang terus berbunyi memekakkan telinga. "Om?" Panggilnya dengan suara lemah. Ia berusah melepaskan diri dari sabuk pengaman. Dia baik-baik saja walau dengan badan ngilu-ngilu karena terbentur serta kepalanya berdarah. Reyga menahan jeritannya ketika melihat kedua anak Abi yang duduk di sebelahnya terlihat pucat dan berdarah-darah. Sementara Abi dan Istrinya yang duduk di depan juga sudah tidak bergerak, tubuh mereka berdua tertindih truk yang ambruk ke badan mobil. Reyga berusaha membangunkan mereka semua namun ia menyadari jika keluarga Abi sudah tidak terselamatkan. Maka ia tertatih-tatih bergerak keluar. Sambil menahan tangis karena syok dan ketakutan, ia berjalan menjauh dari mobil. Dan ia menemukan keadaan yang aneh di sekitarnya. Hari telah gelap. Magrib telah berlalu tanpa suara adzan yang biasanya berkumandang. Di jalan raya, mobil-mobil terparkir berantakan di sana-sini seperti mobil Abi. Dengan kaca jendela pecah dan bagian mobil yang penyok. Ketakutannya bertambah ketika melihat banyaknya orang-orang yang sudah tidak bernyawa karena tertabrak dan bahkan terlindas. Ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi. "Tolong..." Reyga menolehkan wajah ke sekitarnya. Ia berjalan tertatih-tatih menuju ke sumber suara. Ia berhenti. Suara rintihan itu sudah tidak terdengar. Dan ia menemukan seseorang merunduk di atas tubuh tubuh seseorang yang terlihat tidak bergerak. "Mbak..." Reyga memanggil ragu. Lalu orang itu menolehkan wajah. Reyga membelalakan mata melihat wanita itu yang sedang mengunyah sesuatu hingga mulutnya berlumuran darah. Wanita itu sedang memakan tubuh pria itu hidup-hidup! Reyga ternganga tidak percaya. Lalu si wanita itu menggeram berbahaya. Melihat wanita itu bergerak mendekatinya, Reyga segera berlari pergi. Percuma saja, pria tadi sudah tidak dapat terselamatkan! Reyga berharap ia telah salah lihat, perut pria tadi sudah tercabik-cabik! Ia terus berlari, suara-suara geraman dan teriakan di belakangnya terus mengikutinya. Ia menoleh sekilas dan melihat segerombolan orang gila kanibal itu berlari mengejarnya. Reyga yang ketakutan berlari secepat mungkin melewati jalan raya yang yang dipenuhi kendaraan yang terparkir tidak beraturan. Ia berhasil mencapai rumahnya. Ia berlari kalap memasuki rumah, lalu mengunci pintu. Ia mundur ketakutan mendengar pintu rumahnya dipukul-pukul dengan keras oleh banyak orang. Atau entahlah jika mereka masih bisa disebut sebagai 'orang'. Suara teriakan-teriakan terdengar semakin mengerikan. Reyga tersadar jika ia harus mengunci jalan masuk lainnya. Ia mengunci jendela dan pintu belakang. Baru kemudian masuk ke dalam kamarnya yang berada di lantai dua. Ia mengunci pintu, menggeser lemari ke depan pintu. Lalu menutupi jendela dengan rak buku untuk menghalangi akses masuk. Kemudian ia naik ke atas kasur, meringkuk di balik selimut dengan tubuh gemetar. Luka dan memar di tubuhnya ia abaikan saja. Sepanjang malam ia terjaga mendengar teriakan-teriakan itu. Begitulah malam pertama kejadian mengerikan itu menimpanya. *** Perlu waktu yang cukup lama sampai Reyga memberanikan diri untuk keluar dari kamarnya. Barulah setelah itu ia mempelajari cara agar bertahan hidup. Seperti menyetok makanan dan mengambil berbagai macam alat elektronik untuk keamanan rumahnya. Ia mempelajari jika makhluk-makhluk itu hanya bergerak di malam hari. Ketika matahari masih bersinar, makhluk-makhluk itu bersembunyi di dalam kegelapan. Reyga sering melihat mereka yang berdiri berombongan di tempat-tempat yang gelap. Seperti sedang tidur walau Reyga tidak yakin. Makhluk itu, mayat hidup, telah mengambil alih seluruh wilayah Jakarta. Entahlah. Reyga belum menemukan manusia hidup selain dirinya. Sementara Fista si kucing adalah yang ia temukan di hari ketiga. Juga mengunjungi mesjid Istiqlal adalah jarak terjauh yang bisa ia capai dari rumahnya dengan bersepeda. Ia hanya ingin mengecek keadaan, dan masih saja ia tidak melihat manusia lain selain dirinya meski sudah pergi hingga sejauh itu. Di hari keempat, Reyga tidak pergi kemana pun pada pagi harinya. Ia masih berada di dalam kamar dengan Fista yang melingkar tidur dengan nyaman di atas kasur. Sementara ia sedang mengotak-atik ponsel baru temuannya kemarin. Ia berhasil terhubung dengan sinyal radio. Orang yang berbicara memberitahukan informasi tentang keadaan gawat Jakarta yang terkena wabah virus mematikan. Virus itu diidentifikasi dengan nama virus maligonus. Diduga virus tercipta akibat salah satu laboratorium penelitian yang sedang melakukan eksperimen, namun virus tersebut tersebar entah bagaimana. Orang-orang yang terinfeksi tidak mati melainkan bermutasi menjadi makhluk yang ganas dan sangat mudah kelaparan, diperkirakan orang yang terinfeksi sudah tidak memiliki akal sama sekali untuk berpikir layaknya manusia waras. Bahkan lebih parah dari orang gila pada umumnya. Dan makhluk ini disebut dengan Maligon. "Maligon..." Gumam Reyga, tak disangka para monster itu sudah diberi nama. Ia mendengarkan dengan seksama penuturan orang yang berbicara. Perubahan pada orang yang terinfeksi akan terjadi sekitar 3 sampai 4 jam setelah terinfeksi. Gejala yang timbul adalah mulainya kehilangan akal dan kulit yang terluka membentuk kulit baru yang aneh, kemudian tahap akhir perubahan adalah kesadaran akal yang hilang seratus persen, tingkah laku menjadi ganas dan menjadi lapar terus-menerus. Sesuai dengan perkiraan Reyga, makhluk tersebut hanya dapat bergerak di tempat-tempat yang gelap. Cahaya apa pun dapat melumpuhkan karena mengganggu kepekaan indera mereka. Para Maligon ini diidentifikasi buta total. "Jadi ini bukan soal sinar matahari," kata Reyga pada dirinya sendiri. Fista sudah bangun, kini mengeong mendekati Reyga. Reyga mengambil sosis, lalu membukakan bungkusnya untuk Fista. Ia mengelus-ngelus tubuh Fista yang tertutupi bulu-bulu hitam panjang yang lembut dan hangat. Sementara Fista melahap sosisnya. "Jakarta telah diisolasi. Jika anda mendengar informasi ini, dan masih bertahan hidup di dalam Jakarta, maka kami sarankan agar anda segera menuju ke pelabuhan Tanjung Priok. Kami berada di sana untuk menjemput anda dan akan segera membantu Anda." "Tanjung Priok, jauh amat..." Keluh Reyga. "Kami mohon agar anda dapat segera bergerak untuk menyelamatkan diri. Kami akan menunggu anda. Kami informasikan dalam sepekan kota akan segera menjadi wilayah siaga satu." Reyga menghela nafas. Berdasarkan si penyiar, Siaga satu, artinya Jakarta akan mengambil langkah terakhir, yaitu dengan membumi-hanguskan area yang terinfeksi. Sial. Dia akan mati sendirian di sini. "Kayaknya gak papa ya, Fis." Ujar Reyga. "Biar aja lah kita mati sendirian di sini." Reyga benar-benar sudah putus asa. Bertahan hidup selama 4 hari saja sudah sangat hebat baginya. Dan ia merasa kelelahan. Setelah perjalanannya menuju mesjid Istiqlal, ia menyadari jika ia tidak akan bisa pergi terlalu jauh lagi. Bagaimana jika ia tidak berhasil pulang sebelum gelap? Tentu saja akan sangat berbahaya. Apalagi pergi ke Tanjung Priok. "Aku kangen Ayah dan Ibu, Fis..." Kata Reyga pelan pada si kucing. Siaran berikutnya menjabarkan tentang reaksi baru dari infeksi virus, yaitu ada sebagian kecil orang baru akan mengalami perubahan yang lambat. Perubahan baru akan terlihat setelah sepekan dari sejak terpapar virus. Karena itu warga diwajibkan untuk berjaga-jaga dan memperhatikan orang-orang di sekitar yang terkena infeksi. Jadi jika seseorang telah mendapat gigitan atau tertelan darah mau pun air liur orang yang terinfeksi dan belum menunjukkan gejala perubahan setelah 3 sampai 4 jam, kemungkinan orang tersebut termasuk dalam kategori korban yang lambat dalam perubahan. "Duh, sabun habis lagi," Reyga teringat. Ia lupa mengambil perlengkapan mandi pada hari kemarin karena terlalu takut berada di swalayan. "Mau ikut, Fis?" Tanya Reyga pada si kucing. Ia memutuskan untuk kembali ke Toko swalayan. *** Swalayan itu adalah satu-satunya tempat yang bisa Reyga masuki. Toko-toko lainnya terlihat lebih berbahaya karena lampu-lampunya telah mati dan kaca-kacanya pecah berantakan. Terlalu gelap untuk dimasuki. Reyga mengayuh sepedanya dengan Fista yang dibonceng di belakang. Ia berhenti di depan swalayan, namun ia tidak segera masuk. Ia menelan ludah ketika melihat keranjang belanjaan yang ia temukan kemarin sore di tengah jalan raya, kini telah berada di depan g**g di sebelah toko. Sekitar satu-dua meter dari tempat sebelumnya. Dan di sana tampak gelap karena bayangan bangunan. Seharusnya Reyga tidak perlu terlalu cemas karena pada malam hari biasanya para monster itu berjalan-jalan di kota, dan pastinya akan membuat berbagai macam barang di jalanan berpindah tempat. Secara singkat Reyga mengambil barang-barang yang ia perlukan di dalam toko. Ia bergegas keluar, namun mendadak membeku di depan pintu ketika melihat sesuatu di seberangnya. Pada bangunan berlantai lima di seberang jalan, terlihat sebuah tulisan sangat besar membentang pada jendela suatu kamar di lantai paling atas. TOLONG KAMI. Ada orang selain dirinya di area ini, dan mungkin sedang terjebak. Dan sebelum Reyga menyadarinya, ia telah terdorong jatuh. Seseorang menerkamnya. Reyga yang terkejut berusaha melepaskan diri dari si monster yang mengerang dan berusaha menggigitnya. Di siang bolong, di bawah sinar matahari, monster itu menggigit lengan Reyga. Darah segar muncrat ketika gigi-gigi yang telah membusuk itu mengoyak lengannya. Suara teriakan Reyga tertahan dalam tenggorokannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD