Reyga berhasil melepaskan diri dari gigitan pria yang meraung-raung dengan mulut dipenuhi darah miliknya. Ia berusaha merayap pergi sementara pria itu kembali menarik kakinya. Namun ia berhasil terlepas ketika Fista meloncat lalu mencakar wajah pria itu, sayangnya Fista harus terlempar kasar lalu terjatuh menghantam aspal.
Fista yang berhasil mengalihkan perhatian berhasil membuat Reyga berdiri dengan kedua kakinya. Ia berjalan mundur, ketakutan melihat pria dengan luka-luka setengah membusuk itu berjalan di bawah sinar matahari yang terik. Mata mayat hidup itu kelabu, jelas-jelas buta. Sementara hidungnya mengendus dengan berisik, dan telinganya dijulurkan mencari-cari bunyi di dekatnya.
Reyga seperti patung, berdiri tak bergerak di tempatnya. Bunyi sedikit pun pasti akan berhasil menarik perhatian Maligon itu. Ia melirik pada sebelah lengannya yang bersimbah darah. Ia benar-benar tergigit. Ia sedang tidak bermimpi sama sekali.
Sesaat ia berpikir bahwa ia akan pasrah saja. Tapi apakah ia mau digigit oleh makhluk itu lagi? Tidak kan?
Reyga menoleh pada Fista yang sudah bergerak bangun, mengeong lemah.
Reyga menoleh kembali pada Maligon yang pastinya mendengar keong Fista. Maligon itu mengeluarkan suara berupa erangan, lalu melangkah cepat ke arah Fista.
Reyga tidak mau diam saja. Ia menoleh ke sekitarnya dengan panik.
Apa yang harus ia lakukan?
Reyga melihat sebuah mobil terparkir tak jauh darinya. Ia segera berlari menuju mobil itu, lalu membukanya, kemudian ia menoleh ke sekitarnya. Pada saat ia masih berusaha berpikir, Fista sedang berusaha menghindari terkaman Maligon yang buta itu. Kucing itu juga mengeluarkan geraman untuk mengancam Maligon.
Akhirnya Reyga mengambil potongan kayu lalu memposisikan agar kayu itu terus menekan klakson mobil. Siang yang sunyi senyap itu riuh oleh bunyi klakson yang seperti terompet.
Suara bising itu menulikan gendang telinga Reyga, dan tentu telah membuat Maligon itu mengerang kesakitan. Maligon itu berteriak marah dan sudah mengalihkan langkahnya untuk menuju ke sumber suara.
Reyga tidak ingin membuang-buang waktu. Ia segera berlari mengambil sepedanya.
"Fista!" teriak Reyga yang sudah menaiki sepeda.
Meski baru satu hari bersama kucing itu, Fista seolah sudah mengenalnya dengan baik. Hanya satu kali panggilan saja, Fista segera meloncat menaiki sepeda. Setelahnya Reyga segera mengayuh sepeda sekencang-kencangnya menyusuri jalanan tanpa menoleh ke belakang lagi, meninggalkan bunyi gaduh klakson dan geraman penuh kemarahan Maligon di belakangnya.
Reyga terus mengayuh dengan tegang. Ia bahkan lupa jika sebelah tangannya terluka dan robek, dengan darah yang terus mengalir. Ia berhasil sampai di depan rumahnya. Ia melempar sepedanya sembarang, lalu masuk ke dalam rumah, membanting pintu, mengunci serta menggemboknya.
Reyga segera berlari menaiki tangga lalu memasuki kamarnya, Fista mengikuti langkahnya sambil mengeong, namun ia mengabaikannya saja. Dengan wajah panik yang masih tegang, ia mengobrak-abrik isi tas yang ia masukkan berbagai macam obat-obatan. Ia mengambil botol alkohol dan obat luka lainnya, lalu ia mengambil sembarang satu baju dari tumpukan lipatan pakaiannya.
Kemudian Reyga bergegas menuju kamar mandi. Ia berhenti di depan pintu kamar mandi, menolehkan wajah pada Fista yang terus mengikutinya sambil mengeong. Entah apakah si kucing benar-benar memahami situasi yang terjadi pada Reyga, tapi ekspresi wajah kucing itu tampak jelas menunjukkan kecemasan.
"Tetap di sini," perintah Reyga yang suaranya serak dan bergetar. Matanya sudah berair namun ia tahu jika tidak ada gunanya menangis. Sekarang ia hanya sendirian di sini. Tidak ada siapa-siapa yang bisa membantunya selain dirinya sendiri.
Reyga masuk lalu membanting pintu kamar mandi. Ia bisa mendengar raungan Fista yang terdengar lemah, mungkin sedih karena ditinggalkan olehnya. Ia bahkan belum sempat membukakan sosis dari bungkusnya untuk Fista. Tapi ia berharap Fista dapat mengurus diri sendiri. Apalagi setelah ia sudah benar-benar mati nantinya.
Reyga dengan hati-hati melepaskan kaosnya. Lengan kirinya yang terluka sangat sulit untuk digerakkan. Rasanya nyeri menyakitkan menguasai tubuhnya. Reyga berusaha menahan erangannya ketika ia melepaskan sisa kain dari kaosnya yang menempel di lengan kirinya karena basah oleh darah.
Reyga seharusnya sudah pingsan dengan kehilangan darah sebanyak ini, namun ia tetap memaksakan diri untuk tetap sadar. Luka gigitan di lengan kirinya benar-benar mengerikan. Ia memejamkan mata, lalu menyirami lukanya dengan alkohol. Dia tidak tahu jika ini adalah ide yang bagus. Ia menahan erangannya merasakan perih yang seperti membakar ketika alkohol menyentuh lukanya yang panas.
Ia merobek baju kaosnya dengan gigi dan sebelah lengannya yang masih sehat. Berhasil merobek, ia membuka kaos lalu membebat lukanya dengan kaos itu. Ia menguatkan balutan kaosnya, berharap dengan begitu dapat menghentikan aliran darahnya yang terus-menerus keluar.
Ia berhasil membebat lukanya. Nafasnya masih terengah, kini ia terdiam mengamati lantai kamar mandi yang dipenuhi bekas darahnya.
Reyga mengerjapkan matanya, pandangannya mulai buram dan berputar, tidak tertahankan lagi. Kepalanya merosot, dan ia terbaring di lantai kamar mandi dengan tidak berdaya. Pandangannya menggelap.
***
...
Reyga kebingungan ketika ia berada di meja makan, Ayah dan Ibunya mondar-mandir melakukan aktifitas yang selalu mereka berdua lakukan di pagi hari sebelum berangkat kerja.
Ibu yang selalu sibuk pagi-pagi, mondar-mandir mengurus cucian juga menyiapkan sarapan. Sementara Ayah yang bertugas membangunkan kedua adik kembarnya yang masih taman kanak-kanak di kamar atas, suara Ayah dan cekikikan si kembar sampai terdengar di bawah.
Reyga biasanya membawa piring sarapannya ke ruang tengah, dimana TV menyala, menambah kegaduhan yang sudah riuh karena suara Ibu yang memanggil Ayah agar lekas membawa si kembar, juga suara ribut-ribut Ayah yang malah bergulat dengan si kembar.
Reyga menggelengkan kepala, heran dan jengkel karena kegaduhan yang selalu terjadi tiap pagi.
Sementara, seperti biasa Neneknya sudah duduk di kursi empuk depan TV.
"Nek, bentar lagi aku mau ujian nasional," kata Reyga sambil mengunyah rotinya. Lalu meneguk susunya. "Doakan Reyga ya!"
Neneknya, Nek Pipit, seperti biasa tidak banyak bergerak. Nek Pipit terkena stroke dan hanya bisa duduk diam begitu saja. Tapi Reyga kadang membayangkan Nek Pipit akan memberikan senyuman serta anggukan, seperti dulu-dulu ketika Reyga memberitahu akan ujian.
Karena Ibu dan Ayah selalu sibuk, Reyga hanya sering berbicara dengan Nek Pipit, sayangnya saat ia masuk sekolah menengah, Neneknya terserang stroke.
Reyga bukan anak manja lagi, tapi tetap saja ia membutuhkan teman bicara untuk menemani masa pertumbuhannya. Karena selama ini ia lebih sering berbicara dengan Nek Pipit, rasanya sudah tidak nyaman untuk berbicara mengenai perasaannya pada Ayah dan Ibu. Rasanya aneh saja, ia takut malah akan membuat orangtuanya melihatnya seperti anak manja.
Tapi Reyga merindukan Nek Pipit yang masih dapat tersenyum dan tertawa ketika mendengar ceritanya. Hanya Nek Pipit yang biasanya menemaninya ketika orangtuanya sibuk bekerja hingga nyaris tengah malam.
Tentu ia sudah tidak bisa merengek lagi kepada orang tuanya. Orangtuanya sibuk bekerja dan mengurus si kembar dan adik laki-lakinya yang sebentar lagi memasuki sekolah menengah pertama. Sementara ia sudah 17 tahun dan segera akan lulus sekolah menengah atas, yang seharusnya sudah cukup dewasa untuk dapat mengurus apa pun dengan mandiri.
Ia berencana akan mendaftar ke Perguruan Tinggi di luar kota. Mungkin di Jogjakarta saja, yang katanya kota pendidikan. Akan lebih baik jika ia benar-benar tinggal sendirian daripada di rumah dan merasa kesepian karena Nek Pipit tak lagi dapat berbicara dengannya.
Mungkin itu akan lebih baik.
Lalu acara kartun di TV menjadi gelap gulita. Reyga kebingungan, ia menoleh ke sekitarnya dengan ekspresi panik. Baru saja ia ingin memberitahu Ibu jika listrik mendadak mati, tapi kini ia tidak lagi berada di ruang tengahnya yang nyaman, Juga sudah tidak ada Nek Pipit. Melainkan ia berada di depan rumahnya, baru saja pulang dari les.
Ayahnya datang mendekatinya dengan wajah panik, lalu memarahinya karena tidak mengangkat panggilan. Ayah segera menarik lengannya untuk masuk ke dalam mobil Abi, tetangganya.
Setelahnya ia bersama keluarga Abi mengikuti mobil Ayah. Lalu ada seseorang berlari menerjang mobil mereka sehingga Abi harus memutar kemudi untuk menghindari orang tersebut, tapi sayangnya hal itu malah berakibat buruk. Mobil Abi yang mendadak berbelok ditabrak oleh truk besar. Pandangan Reyga menggelap setelahnya ketika tubuh dan kepalanya terbentur.
Akhirnya ia terbangun dengan keluarga Abi yang sudah tidak bernafas. Dengan menahan isakan, Reyga berusaha keluar dari mobil. Namun sayangnya, setelah ia berhasil keluar, ada makhluk-makhluk mengerikan mengejarnya.
Makhluk yang baru saja menggigiti perut seorang laki-laki hingga robek dan organ di dalamnya berhamburan.
***
Reyga tersentak bangun. Nafasnya tersengal. Ia mengerjap kebingungan dengan pandangan yang berputar. Kepalanya berkedut menyakitkan. Ia juga merasa kedinginan sekaligus meriang. Ia menangis, mengucap lemah memanggil nama Ayah, Ibu dan Nek Pipit.
Sebentar lagi dia akan mati dan menjadi makhluk mengerikan itu.
Perlahan kesadarannya kembali memudar, namun ia sempat berdoa kepada Tuhan agar ia tidak terjebak dalam mimpi-mimpi buruknya lagi. Dan Tuhan sepertinya mendengar doanya.
Ia tidak lagi bermimpi seperti tadi. Ia terlelap... atau mungkin mati.