Rasa trauma masih menghantui Reyga. Ia ingat dengan jelas ketika maligon itu menerkamnya sampai terjatuh lalu merobek lengannya. Bahkan ia mengingat wajah pria itu, yang kulitnya keabu-abuan dengan pasang mata memutih seperti dilapisi jaring laba-laba.
Tapi Reyga harus keluar. Ia perlu menumpuk makanan lagi. Setelah digigit, ada sedikit yang aneh pada dirinya, yaitu ia mudah lapar. Rasanya ia tidak akan kenyang hanya memakan camilan ringan. Ia butuh sesuatu yang berprotein. Seperti telur dan daging.
Ia mungkin akan mendapatkan telur, tapi entahlah untuk daging. Lagi pula memasak daging juga akan merepotkan. Kalau telur sih, ia bisa merebus dan menggorengnya dengan waktu yang tidak lama. Seandainya masih ada sinyal internet, mungkin ia bisa mencari tahu cara sederhana untuk memasak daging. Tapi hingga hari kelima sinyal masih juga belum muncul.
Reyga mengambil sepedanya, sementara Fista sudah menaiki bahunya, lalu duduk manis di atas ransel di punggungnya.
"Pegangan, Fis." peringat Reyga yang sudah mengayuh sepeda menyusuri trotoar. Ia memandang gugup dengan waspada di hadapannya. Kota tampak sama sepinya seperti sebelumnya. Tapi Ia tidak boleh lengah.
Tak berapa lama Reyga sudah sampai di dekat swalayan. Ia menghentikan sepedanya, ia menelan ludah dengan susah payah, mengamati sekitar swalayan yang sepi sekali. Maligon yang menyerangnya hari kemarin tak terlihat batang hidungnya.
Perhatian Reyga teralihkan pada apartemen di seberang swalayan. Tulisan TOLONG KAMI masih dipajang di jendela lantai kelima. Ia segera mengayuh sepeda menyeberangi jalan besar yang dipenuhi kendaraan yang dibiarkan terbengkalai.
Reyga memasuki halaman apartemen, ia menghentikan sepeda. Ia mengamati apartemen itu dengan seksama, memastikan keamanan sekitarnya. Suasana sepi senyap mencurigakan.
Ia turun dari sepeda bersama Fista yang juga meloncat turun, lalu melangkah mendekati pintu apartemen. Ia mendekatkan wajah pada pintu apartemen yang berdaun kaca gelap. Ia mencoba melihat isi ruangan di baliknya yang juga gelap sekali. Mendadak ia berjengit kaget, meloncat mundur ke belakang.
Sepertinya ia tahu apa yang ada di dalamnya, maligon - dan sangat banyak.
Reyga buru-buru membuka tasnya, mengeluarkan sentar. Ia menyalakannya lalu menempelkan sentar ke daun pintu berkaca gelap itu. Sinar sentar merembes masuk, ada gerakan yang menjauhi cahaya. Ia memastikan apakah ia bisa memasuki ruangan itu.
Hmm, sepertinya tidak.
Reyga mundur menjauhi pintu, ia menengadahkan kepala, memandang lantai lima yang jendelanya ditempelkan tulisan TOLONG KAMI.
Ia menunduk, lalu mengambil kerikil dari tanah, kemudian melemparkannya ke jendela. Sayangnya, lemparannya tidak berhasil mencapai jendela di lantai lima.
Reyga tidak menyerah. Ia mengumpulkan beberapa kerikil lagi, lalu mulai melemparkan setiap kerikil ke arah jendela lantai lima. Lemparannya belum berhasil mencapai jendela lantai lima, malahan kerikil-kerikil itu terlempar ke jendela-jendela di bawahnya.
Meskipun tidak ada lemparan yang sampai ke tingkat paling atas, paling tidak ia sudah membuat keributan yang pastinya menarik perhatian penghuni di dalamnya.
Ada bayangan di jendela lantai lima. Jendela digeser terbuka, seorang anak laki-laki berwajah bundar menjulurkan kepalanya ke bawah, lalu melambaikan tangan dengan bersemangat ke arah Reyga di bawah.
"Apa kau bisa turun?!" Reyga berteriak nyaring.
"APA?!" balas anak laki-laki itu, namun suaranya terdengar samar-samar sampai ke telinga Reyga.
Reyga menarik nafas. Ini tidak akan berhasil kalau begini terus. Apa yang harus ia lakukan? Tentu saja bocah itu terjebak di sana melihat lantai dasar apartemen yang dijadikan tempat berlindung para maligon.
Reyga mengamati dinding apartemen, mengukur setiap balkon dari satu ke lainnya. Mungkin ia bisa memanjatinya dengan berpijakan pada klem pipa saluran air untuk mencapai balkon pertama. Lalu mencapai balkon berikutnya dengan menaiki pagar pembatas balkon di bawahnya.
Tapi yang benar saja! Reyga tidak pernah mengikuti ekskul panjat tebing! Dia memang sering memanjati atap rumahnya hanya sekadar kabur dari Ibu yang menyuruhnya menjaga si kembar. Tapi itu pun dia perlu latihan sejak sekolah dasar untuk dapat menaiki atap rumah.
Argh, ya sudahlah. Ia akan mencobanya dulu.
"Aku akan naik ke sana!" seru Reyga memperingatkan. Namun sepertinya anak laki-laki itu tidak dapat mendengarkan kata-katanya, maka ia menggunakan bahasa isyarat yang mungkin dapat memberitahu si anak laki-laki. Si Anak laki-laki malah menyilangkan tangannya setelah memahami bahasa isyarat Reyga.
Reyga mengabaikan peringatan si anak laki-laki. Ia segera mencoba memastikan klem saluran pipa air cukup kuat untuk dipijak. Lalu ia mulai menaiki pipa saluran air. Sebelumnya Reyga berdoa semoga ia tidak jatuh. Ia mencoba untuk tidak gemetaran ketika mulai menanjaki klem pipa, tangannya berusaha menggapai pagar balkon pertama. Ia terpeleset ketika kedua tangannya sudah berada di pagar balkon, hal itu menyebabkan kakinya kehilangan pijakan, hingga tubuhnya terjuntai bebas dengan hanya mengandalkan kedua tangannya yang mencengkram pagar balkon.
Jantung Reyga berdegup kencang. Jaraknya dengan permukaan di bawahnya hanya sekitar satu-dua meter, tapi tetap saja jika ia terjatuh maka tubuhnya bisa terluka. Ia menguatkan cengkramannya, lalu mengangkat tubuhnya untuk memanjati pagar balkon.
Ia berhasil melewati pagar, lalu duduk lemas di lantai balkon. Satu balkon sudah terlewati. Ia menengadah, memandang anak laki-laki di atas sana yang tampak tegang menontonnya.
Reyga berdiri. Baru satu balkon saja tangannya sudah lemas. Ia menaiki pagar balkon, berdiri di atas pagar, berusaha untuk tidak memandang ke bawah, lalu tangannya mencapai ke balkon di atas. Terjuntai dan memanjat lagi untuk balkon kedua.
Reyga merasa gerakannya pasti memalukan untuk ditonton. Gerakannya lambat. Sangat-sangat lambat. Ia bahkan sempat mematung, karena pikirannya sedang beradu antara apakah ia bisa atau tidak. Pada akhirnya ia tidak bisa menjawab kecamuk di dalam kepalanya, bisa atau tidak, intinya ia tetap terpaksa untuk bisa.
Tahu-tahu Reyga sudah menaiki tiga balkon di bawahnya. Ia kembali duduk lemas di lantai balkon. Kehabisan energi. Ia membuka ransel lalu meneguk air mineralnya. Ia menengadah dan si anak laki-laki memberikan isyarat dengan kedua jempol ke arahnya. Tampaknya si anak laki-laki sudah mempercayai aktifitas heroik penuh keterpaksaannya.
Reyga selesai minum. Ia berdiri, dan tanpa sengaja memandang ke bawah. Seketika saja kepalanya pening dan perutnya mual. Ia perlu beberapa waktu lagi untuk menenangkan dirinya yang syok, sampai suara aneh mengalihkan perhatiannya.
Reyga tersentak kaget ketika melihat pintu balkon yang berkaca gelap, dibaliknya ada seseorang sedang menempelkan wajah ke permukaan pintu. Wajah di balik pintu balkon itu terlihat sangat mengerikan, dengan wajah penyok dan kulit wajahnya sudah robek-robek. Ia bisa mendengar suara maligon di baliknya menggerung-gerung liar ingin menangkapnya.
Reyga menengadah, dan si anak laki-laki sudah menuliskan sesuatu besar-besar di kertas.
HATI-HATI.
BANYAK MONSTER DI LORONG.
Reyga menelan ludah. Sepertinya semua maligon terjebak di setiap lorong apartemen. Tempat ini ternyata lebih berbahaya dari yang ia kira.
Tapi mereka tidak bisa membuka pintu kan? Melihat maligon di balik pintu balkon ini hanya menggerung-gerung saja itu tandanya mereka tidak bisa membuka pintu. Ia mengetahui jika setiap pintu kaca dibuka dengan digeser, makanya mereka tidak bisa keluar ketika mendorong pintu.
Reyga kembali berkomunikasi dengan si anak laki-laki, memberi isyarat jika ia akan naik ke balkon lantai lima. Si anak laki-laki mengangguk dengan ekspresi gugup. Kelihatannya anak laki-laki itu mendoakannya, dan Reyga berharap doa anak laki-laki itu akan menyelamatkannya.
Reyga berbalik dengan memejamkan mata. Ia menghindari diri melihat ke bawah. Ketika membuka mata, ia segera menaiki pagar balkon, ia memanjat balkon terakhir. Kali ini gerakannya cukup cepat, sepertinya tubuhnya sudah mulai menghafal cara memanjat balkon dengan baik. Tapi tetap saja Reyga harus berhati-hati dan menjaga keseimbangannya.
Reyga terduduk lega di lantai balkon ke lima. Ia berhasil.
Reyga menoleh pada jendela yang tepat di samping balkon. Si anak laki-laki di balik jendela bertepuk tangan memberinya selamat dengan wajah senang bercampur lega.
Reyga memberi isyarat akan memasuki lorong, seketika raut wajah anak laki-laki itu berubah tegang. Ia segera menghilang dari jendela, mungkin bersiap-siap akan membuka pintu apartemen untuknya nanti.
Reyga mengeluarkan palu dari dalam ransel. Ia menarik nafas untuk menurunkan ketegangan walau itu sia-sia. Beban palu terasa lebih berat dari biasanya. Tangannya berkeringat pada pegangan palu. Bisa-bisa palu itu melorot dari tangannya yang basah.
Reyga mengecek sesaat dengan menempelkan wajah ke permukaan pintu kaca gelap, memandang ke dalamnya. Tidak melihat gerakan apa pun, ia segera menggeser pintu balkon. Ia memasuki lorong apartemen yang gelap itu.