Reyga berjalan cepat mendekati salah satu pintu kamar, mengetuknya dengan keras. Ia mendengar bunyi klik, tanda kunci diputar. Dan suara langkah kaki terdengar samar-samar dari ujung lorong, semakin mendekat.
Reyga memandang ujung lorong dengan gugup. Ia melihat sosok gelap bergerak ke arahnya. Untunglah pintu sudah membuka. Reyga segera masuk lalu membanting pintu.
"Cepat kunci!" perintah Reyga.
Si anak laki-laki tanpa perlu diperintah sudah mengunci kembali pintu. Dan suara gebukan keras menghantam pintu.
Reyga dan si anak laki-laki berdiri mematung tanpa suara memandang pintu yang bergetar, dipukul-pukul kasar dari luar. Reyga menunggu sampai-sampai ia lupa untuk bernapas, dan akhirnya gedoran berhenti. Namun Reyga dan Si anak laki-laki masih mematung. Setelah suara seretan langkah di luar terdengar bergerak menjauh, barulah keduanya menghela nafas lega. Reyga bahkan sampai merosot jatuh ke lantai.
"Ayo masuk, Om." kata si anak laki-laki.
"Om apaan?" gerutu Reyga yang kembali berdiri. Pasang kakinya masih terasa gemetar karena tegang. "Aku masih 17 tahun!"
"Oh, ma... maaf, Kak." kata si anak laki-laki itu segera, tertawa hambar.
Reyga mencoba memaklumi jika si anak laki-laki akan mengiranya sebagai orang dewasa. Kumis dan jambang di rahangnya sudah tumbuh subur, padahal baru empat hari berlalu. Jika Ibu melihat keadaannya seperti ini, beliau pasti akan mengomelinya habis-habisan.
"Ya ampun, Ga! Kamu nggak lihat janggut kamu udah tumbuh ngalahin janggut Ayah kamu?!"
Reyga menarik nafas ketika telinganya berdenging seperti mendengar Omelan Ibunya. Ia segera mengikuti si anak laki-laki yang kini sedang menurunkan tulisan besar di jendela apartemennya. Ia mengira jika anak laki-laki itu baru berusia 8-9 tahun.
"Namaku Bayu, Kak," si anak laki-laki berwajah bundar dan bertubuh sedikit tambun itu memperkenalkan diri.
"Namaku Reyga, Aku tinggal di Cilandak," balas Reyga.
Bayu duduk di sofa mengangguk-angguk. "Kemarin, sekitar dua hari yang lalu, lihat kakak ke swalayan di seberang," ujarnya. "Jadi aku berusaha menarik perhatian kakak. Aku kirim sinyal pake sentar. Tapi karena gagal, jadinya aku pasang tulisan besar-besar di jendela. Alhamdulillah Kakak lihat tanda yang aku bikin."
Reyga mengangguk-angguk. Ia merasa kagum karena bocah sekecil Bayu dapat berpikir untuk melakukan semua hal itu. Dan untunglah dia melihat tanda yang dibuat oleh Bayu.
"Kakak tahu makhluk apa di luar sana?" tanya Bayu.
"Kamu belum tahu?" tanya Reyga, ia duduk di sofa seberang Bayu. Rasanya aneh setelah lima hari berjuang sendirian, kini ia duduk-duduk di ruang tamu rumah orang, dan bercakap-cakap dengan seorang bocah. Rasanya terlalu normal.
Bayu menggelengkan kepalanya dengan tampang polos.
"Aku juga baru tahu kemarin," kata Reyga. "Ada saluran di radio yang menyala. Dari situ aku tahu banyak informasi."
"Eh, yang benar?" tanya Bayu dengan pasang mata bulatnya yang melebar. Lalu wajahnya berubah muram. "Tapi hapeku udah mati sejak kemarin, Kak. Listrik di apartemen mati sejak lusa kemarin."
Wah, yang benar saja. Tinggal di sini dengan Listrik padam bersama dengan para maligon di setiap lorong. Mengerikan sekali.
"Nama monster itu maligon," jelas Reyga. "Jadi ada lembaga penelitian yang melakukan penelitian ilegal, mereka ngembangin semacam virus berbahaya. Lalu pasien mereka yang terinfeksi lolos dari laboratorium, dan mulai menggigiti warga Jakarta, kejadiannya sekitar pagi, di lima hari yang lalu. Virusnya langsung menyebar karena perubahannya cepat banget, sekitar 3 sampai 4 jam setelah terinfeksi."
Bayu terperangah ngeri mendengarkan penjelasan Reyga.
"Terus, Kak? Nggak ada yang datang bantu kita?" tanya Bayu.
Reyga mengangkat bahu. "Yang aku tahu, area kita diisolasi. Dan katanya... Jakarta bakalan diledakkan."
"Hah?" seru Bayu. "Diledakkan?! Kakak bercanda kan?"
"Nggak tahu," Reyga mengangkat bahu. "Aku cuman dengar yang diberitahu aja."
Mereka berdua mendadak terdiam. Bayu tampak sedang memproses informasi baru yang dijabarkan oleh Reyga. Sementara Reyga membutuhkan waktu untuk beristirahat. Ia baru saja menaiki bangunan lima lantai, nyaris tertangkap maligon, dan sekarang ia harus menjawab setiap pertanyaan Bayu. Cukup melelahkan ternyata.
"Terus gimana dong, Kak? Jadi kita bakalan mati di sini?" tanya Bayu dengan wajahnya yang semakin pucat.
"Kalau kamu mau, kamu bisa kok selamat. Asal mau keluar, terus ke Tanjung Priok. Mereka menyiapkan bantuan di sana."
"Gimana bisa keluar, Kak? Kan banyak monster di luar sana?" kata Bayu ngeri.
"Bayu...?"
Reyga terperanjat mendengar suara lainnya di dalam apartemen.
Bayu segera berdiri, ia berjalan pergi meninggalkan Reyga, lalu menghilang ke dalam sebuah kamar. Reyga berdiri, ia memutuskan untuk mengikuti Bayu.
"Kak! Orang yang kubilang itu udah sampai ke sini!"
Reyga mendengar Bayu yang bercerita dengan bersemangat.
"Bayu... kamu yakin... dia orang baik?" tanya suara anak perempuan yang kedengaran lemah.
"Pastinya baik kok, Kak! Dia manjatin balkon demi ke sini loh, Kak! Hebat banget!"
Wajah Reyga memanas. Ia merasa tindakannya itu tidak perlu dipuji sebesar itu. Reyga berdiri di depan pintu kamar, ia mengamati Bayu yang sedang membantu seorang anak perempuan untuk duduk di ranjang. Kamar cukup gelap, namun Reyga bisa melihat wajah anak perempuan itu sangat pucat.
"Kak Reyga, kenalin, ini kakakku, Kak Karin," Bayu segera memperkenalkan anak perempuan itu.
Si Anak perempuan berambut pendek lurus itu memandang Reyga dengan sorot waspada meski dengan wajah pucat.
"Halo, namaku Reyga," kata Reyga berbasa-basi. Ia tidak tahu jika akan ada orang selain Bayu di dalam apartemen yang sepi ini. Selanjutnya Bayu menjelaskan informasi yang baru ia dapatkan dari Reyga kepada Karin dengan bersemangat.
"Jadi kita bisa selamat, Kak! Kita harus ke Tanjung Priok!" Bayu mengakhiri ceritanya.
Reyga sudah mengambil duduk di atas kursi, mengamati kakak beradik di depannya.
"Memangnya kita bisa ke sana?" tanya Karin, terdengar pesimis.
"Ya... mungkin bisa, Kak. Iya kan, Kak Reyga?" tanya Bayu yang mendadak menolehkan wajah pada Reyga.
Reyga cukup kaget dilempari pertanyaan Bayu. Dia hanya mengangkat bahu dengan gugup.
"Yahh... masa kita diam aja? Gimana dong, nanti Jakarta bakal diledakkan!" Bayu berubah sedih dan terlihat akan menangis.
Karin segera mengusap kepala Bayu yang tertunduk. Sorot mata tajam anak perempuan itu berhenti pada Reyga.
"Yang kamu ceritain ke Bayu ini benar kan?" tanya Karin.
"Benar lah. Kalau nggak percaya, dengar sendiri!" tandas Reyga, setengah kesal karena Karin meragukannya. Buat apa ia repot-repot ke apartemen ini jika ia berbohong?
Karin menarik nafas. "Kalau kamu mau, kamu bisa bawa Bayu ke sana."
"Terus kamu?" tanya Reyga.
"Aku sakit begini pasti bakalan ngerepotin."
"Nggak mau! Nggak mau! Bayu nggak mau pergi kalau Kak Karin nggak ikut!" seru Bayu yang sudah terisak. Bocah kecil itu menangis tersedu-sedu. Karin berusaha menenangkan Bayu sementara Reyga diam saja, duduk di kursi, mencoba mengalihkan perhatian ke sekitar ruangan. Ia tanpa sengaja melihat buku-buku sekolah Karin di meja belajar. Ia menemukan foto Karin berfoto di depan sekolah bersama keluarganya. Ia mengenali bangunan sekolah itu, bangunan sekolahnya juga. Ternyata ia satu sekolah dengan Karin.
"Udah dong, Bayu." Karin masih berusaha menenangkan Bayu. "Kamu ngantuk kan? Yuk tidur di sini," ia menepuk-nepuk bantal di sebelahnya. Dan Bayu menurut, bocah 9 tahun itu segera berbaring di ranjang.
Reyga menunggu sampai Bayu tertidur. Ketika mendengar desahan nafas Bayu yang tandanya sudah tertidur, ia memulai percakapan.
"Kamu dari SMA 66 juga ya?" tanya Reyga.
"Iya, kamu juga?" tanya Karin.
"Iya, aku kelas dua belas."
"Oh, itu artinya kamu kakak kelas aku. Aku kelas sebelas." kata Karin.
Lalu mereka berdua hening kembali. Karin masih mengusap-usap kepala Bayu.
"Kamu sakit apa?" tanya Reyga.
Karin terlihat ragu untuk menjelaskan. "Imunitasku lemah. Jadi aku gampang demam dan sakit kepala." jelasnya. "Biasanya aku mengkonsumsi obat, tapi obatku habis. Dan tiga hari ini aku demam."
"Kamu pasti belum makan juga," tebak Reyga.
Karin mengangguk pelan. "Aku dengar dari Bayu, kalau kamu sering ke dalam swalayan. Kamu pasti bisa mengambil apa saja."
Reyga mengangguk-angguk. "Apa cuman kalian berdua di dalam apartemen ini?"
"Mungkin..." Karin terlihat ragu untuk menjawab. "Aku udah coba ngecek di hari pertama kekacauan, ada banyak mayat di depan lorong waktu itu. Ngeri banget. Tapi anehnya, besoknya, semua mayat itu menghilang. Aku juga sering melihat monster... yang kamu bilang disebut maligon itu... berkeliaran di lorong. Bahkan pada malam hari mereka sering berjalan-jalan di tengah kota."
Karin menarik nafas, ia tampaknya terlalu cepat berbicara karena nafasnya sampai ngos-ngosan.
"Kalau kamu mau, kamu bisa membawa Bayu ke Tanjung Priok. Aku... kayaknya nggak bakal bisa keluar dari apartemen." Karin menarik nafas lemah.
"Siapa bilang aku mau ke Tanjung Priok?" tanya Reyga tanpa sadar.
Karin mengerutkan dahi memandang heran pada Reyga.
"Oh, maksudku... siapa bilang aku mau ke sana sendirian. Lagian ke sana juga mungkin masih bisa kita jangkau. Iya nggak?" Reyga tertawa hambar. "Kamu bisa ikut kok."
Karin menarik nafas lagi, masih terlihat pesimis.
"Begini aja," Reyga melirik arlojinya, melihat jarum pendek di angka dua belas. Tak terasa sudah tengah hari saja. "Kamu daftarin deh obat-obatan yang kamu butuhkan. Nanti aku keluar terus ke apotik. Aku juga sebenarnya berencana mengambil persediaan makanan. Aku lihat kalian di sini nggak ada makanan sama sekali."
Karin menyipitkan sebelah matanya, terlihat meragukan. "Kamu... yakin?" tanyanya tidak percaya. "Kamu mau keluar lagi?"
"Di luar atau di sini sama bahayanya kok," Reyga merasa heran karena ia bisa berkata seperti itu di depan anak perempuan. Sejak kapan dia jadi seberani ini? Padahal ia tahu di luar sana ada Maligon yang berkeliaran di siang hari.
"Aku nggak mau mati kelaparan di sini. Jadi daftarkan aja apa yang kalian butuhkan. Aku akan mengambilnya nanti." Kata Reyga, sembari menguburkan rasa takutnya dalam-dalam. "Ntar aja kita bahas soal Tanjung Priok."