6. Sang Tuan

1139 Words
"Maaf Tuan." suara Karim terdengar bergetar, "Saya yang membawa gadis itu ke rumah ini." Sang kepala pelayan itu menelan ludahnya serat, "Tanpa berpikir panjang saya membawanya ke sini dan membiarkannya bekerja di rumah ini saat saya melihatnya sendirian di luaran sana tanpa ada satupun yang melindunginya. Dia sebatang kara dan tidak punya siapa-siapa, Tuan." "Hanya karena alasan itu kau berani membawanya ke rumah ini?! Ke rumah saya?!" suara Sang Tuan keras, sarat akan emosi, "Kau pikir dirimu siapa berani sekali membawa wanita cacat seperti dia untuk bisa tinggal di rumah ini?! Kau pikir rumah saya panti sosial?!" Karim seolah akan dilahap habis oleh sang Tuan dan Luna yang melihat apa yang terjadi karena ulahnya tidak bisa diam saja. "Maafkan saya, Tuan." suara gadis itu mencicit, menarik perhatian Alex untuk kembali menatapnya. "Apakah itu tadi kau yang bersuara?" suara tawa Alex mengalun dengan sumbang sembari merendahkan kepalanya demi melihat wajah si buruk rupa yang ada didepannya itu. ''Sayalah yang memaksa mereka untuk membawa saya masuk ke rumah ini. Jadi yang patut disalahkan adalah saya. Bukan Pak Karim." "Baguslah kalau kau sadar bahwa kau salah." pria itu mengangkat kepalanya, jari besarnya terulur dan mengangkat wajah gadis itu hingga manic keduanya saling terkunci. Sesuai dengan pikiran Alex, gadis itu sangatlah buruk. Sial sekali kenapa makhluk didepannya itu harus hidup dan bertahan. "Siapa namamu?" "Nama saya Luna." suara itu sangat lirih hingga membuat Alex harus mendekatkan telinganya kearah bibir gadis itu. "Siapa?!" "Nama saya Luna, Tuan." "Luna?" Alex mengulangi ucapan gadis yang ada di depannya diiringi tawa, "Luna yang artinya Bulan?" dan entah kenapa saat pria didepannya itu menyebutkan namanya membuat bulu kuduk Luna berdiri, seolah ada angin dingin yang bertiup di tengkuknya. "Percaya diri sekali orang tuamu memberikan nama seindah itu untuk orang cacat sepertimu." nada suara itu penuh dengan nada penghinaan yang ketara. "Ya, saya tahu. Saya terlalu beruntung untuk bisa diberi nama dengan Nama seindah itu." Luna menggigit bibirnya keras demi menahan air matanya menggenang di pelupuk mata. "Jangan cengeng! Untuk apa menangisi hal yang merupakan sebuah fakta, hm?!" tawa Alex semakin keras dan Luna hanya bisa menundukkan kepala, menangisi jalan hidup yang harus dia lalui dengan tangan saling meremas keras baju pelayan yang dia kenakan sebagai penguat diri. Dan pergerakan tangan gadis yang ada didepannya menarik perhatian Alex untuk menurunkan pandangannya, menatap jemari kecil itu dalam diam dengan ekspresi sulit diartikan. "Kau boleh tinggal di sini. Saya masih punya hati untuk menampung orang cacat ini di rumah saya." dan suara itu membuat Luna mengangkat kepalanya, menatap pria itu dengan ekspresi penuh tanya. "Kenapa? Tidak mau? Atau kau memang lebih nyaman di luar sana, tidur beralaskan tanah yang dingin tanpa atap?" "Tidak!" geleng Luna keras, "Saya mau tinggal disini!" jawab Luna lantang diiringi seulas senyum penuh syukur. "Selama kau tinggal di rumah ini, saya mau kau ikuti semua peraturan yang ada tanpa terkecuali." Alex membalikkan tubuhnya, namun sebelum pergi, pria itu sempat berkata, "Berikan kamar untuknya." dan ucapan sang Tuan membuat Karim kaget pasalnya seluruh pelayan muda yang ada di rumah itu rerata tidur didalam satu kamar yang sama. Tapi Karim tidak mau memikirkan hal itu lebih jauh karena dia tahu peringai sang Tuan, "Mungkin Tuan benar-benar kasihan pada gadis ini." pikirnya positif. Karim lantas membubarkan deretan para pelayan dan mengajak Luna untuk mengikuti dirinya menuju satu-satunya kamar kosong yang ada di paviliun pelayan. Karim membuka pintu kamar dan mempersilahkan Luna masuk, "Kau bisa menggunakan kamar ini." "Pak Karin Terima kasih Anda telah mau membantu saya dan memperjuangkan saya agar bisa tetap tinggal di sini." pria baru banyak itu bahkan rela dimarahi oleh sang Tuan demi dirinya. "Saya melakukan itu karena saya kasihan padamu Saya melihatmu seperti saya melihat almarhum anak saya sendiri yang mungkin Jika dia hidup dia akan sebesar dirinya sekarang." manik tua itu meredup menginap sang putri yang sudah berpulang 10 tahun yang lalu. "Maafkan saya Pak Karim, saya tidak bermaksud membuat anda bersedih..." "Sudahlah jangan merasa tidak enak." senyum pria itu teduh, "semoga kamu betah dengan keadaan kamar yang seadanya ini." "saya akan betah kamar ini sudah lebih dari cukup untuk saya." Luna tidak peduli bentuk gambar yang akan dia tempati karena baginya mendapatkan tempat berteduh dan aman sudah lebih dari cukup untuknya. "dan saya datang dengan membawakan beberapa baju untuk kamu pakai sehari-hari." Bu Sri datang, wanita itu membawa atau beberapa tumpukan baju di tangannya, "Maaf hanya ingin bisa kamu pakai untuk sementara waktu." "Bu Sri..." Luna menggigit bibirnya keras menahan tangisnya, "Pak Karim..." "Sudahlah jangan menangis!" Bu Sri memperingatkan Luna, "make up yang kamu pakai tidak tahan air takutnya akan luntur." Bu Sri tersenyum lembut dan Luna langsung meraih wanita itu dalam pelukannya, memeluknya dengan erat seolah dia memeluk tubuh Arumi yang entah bagaimana keadaannya sekarang. 'Luna janji setelah ini, Luna akan bawa ibu bersama Luna.' Sementara itu Alex yang sudah rapi dengan setelan jas yang membalut tubuh tegapnya dilengkapi dengan tatanan rambut yang teramat rapi masuk kedalam satu-satunya mobil sedan yang paling sederhana yang terparkir di halaman rumah kemudian mengemudikan kendaraan itu menuju The Groovy, tempat dimana dia bekerja sebagai salah satu staf disana. Meskipun aura pria itu cenderung gelap dan dingin, tetapi tetap saja kedatangannya menarik atensi para pegawai, khususnya pegawai wanita yang berlomba-lomba menaklukkan pria tampan itu. Yang punya aura hitam lebih menggoda iman daripada yang berwarna hijau menyala, terlebih lagi dengan wajah serta tubuh seksi, siapa yang tidak mau? "Alex, bisakah kau membantuku menangani komputerku yang saat ini blank screen?" seorang staff menghampiri meja kerja Alex, berdiri teramat dekat dengan pria itu sembari memamerkan paha mulusnya yang terbalut rok span yang teramat pendek dan ketat, "Bisa, kan?" wanita itu merendahkan tubuhnya, memberi pemandangan menggiurkan buah mengkalnya yang mengintip tanpa malu karena si pemilik membuka tiga kancing bajunya secara sengaja. Namun sayang, pria yang terang-terangan di goda itu sepertinya tidak terlalu tertarik akan tubuh seksinya. Selain itu, mood Alex sedang buruk karena ruang lukisnya yang hancur. "Kau bisa minta tolong bagian IT, itu pekerjaan mereka, kan?!" Alex melirik wanita itu singkat kemudian mengalihkan pandangannya lagi kearah monitornya. "Tapi bagian IT tadi belum..." "Apakah saya terlihat ada waktu untuk meladenimu?" Alex mengalihkan pandangannya, menatap wanita itu tanpa ekspresi. "Baiklah kalau begitu. Maaf telah mengganggumu." wanita seksi itu meringis kemudian pergi meninggalkan meja kerja Alex sembari menahan ekspresi malu. "Kenapa hari ini sial sekali." Alex akui wanita tadi termasuk salah satu tipenya namun bermain bersama rekan kerja tidak masuk dalam daftar kegiatannya. Pria itu bekerja di Groovy punya tujuan tertentu, bukan untuk berbagi peluh dengan para karyawan yang lain. Alex menatap layar monitornya tajam diikuti dengan alisnya yang mengerut saat memikirkan gadis cacat yang kini berada di rumahnya. Alex tahu ada yang aneh tapi dia tidak tahu apa, "Suck! Apa yang sebenarnya sedang saya pikirkan!" gigi pria itu bergemeletuk keras, "Saya pasti sudah mulai sinting!" Alex tersenyum sumbang, sebelum akhirnya memutuskan untuk meraih ponselnya dan menghubungi seseorang. "Sediakan dua orang untuk malam ini."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD