5. Bersembunyi

1246 Words
"Hah?!" pekikan kaget keluar dari bibir wanita paruh baya itu saat Karim menggeser tubuhnya dan mendapati sosok gadis cantik dibelakang Pria itu. Wanita bernama Sri itu langsung menarik tangan si gadis dan membawanya masuk diikuti Karim dibelakangnya. Pintu kamar tertutup dan Sri langsung menatap kedua orang didepannya dengan pandangan tajam, "Siapa dia dan bagaimana dia bisa berada di sini, Karim?!" pertanyaan itu penuh tuntutan pada Karim kemudian pandangan matanya beralih, menilai mulai dari ujung kaki sampai dengan ujung kepala pada gadis yang ada didepannya itu. "Dia bersembunyi di mobil Tuan Alex saat dia akan dijual oleh mucikari." "Apa? Dijual?!" pekikan wanita itu terdengar, dia lantas menatap gadis yang ada didepannya dengan syok. Sri yang semula menatap gadis kehidupannya dengan pandangan merendah kini jadi iba, "Kalau cerita ini benar, tempat ini bukan tempat yang aman untuk gadis seperti dia?!" Sri menatap Karim tidak setuju. "Iyaa, Saya tahu. Tapi masalahnya, untuk saat ini saya tidak bisa membantunya keluar dari rumah ini karena tuan Alex sudah memerintahkan untuk menutup seluruh akses keluar masuk di rumah ini sebelum pelaku pengrusakan ruang lukisannya tertangkap." "Lalu apa yang akan kita lakukan untuk menyembunyikan gadis ini?" "Bantu dia untuk berubah total. Pakai pakaian yang kebesaran, wajah kusam tidak pernah kena air atau buat giginya menjadi hitam atau rambut kusut masai terserah." "Kalau Tuan Alex tahu bagaimana? Kau mau dia menggantungmu?!" "Jangan sampai Tuan Alex tahu dan sadar akan hal ini." Karim lantas menolehkan kepalanya ke arah Luna, "Namun jika tuan Alex sadar akan dia yang sebenarnya, saya pastikan saat gadis ini sudah keluar dari rumah ini. "Baiklah! Kalau begitu serahkan saja padaku. Sekarang kau keluarlah." Sri membuka pintu kamarnya dan Karim keluar tanpa diminta. "Untuk saat ini sebaiknya kamu istirahat dulu. Kamu pasti lelah dan pasti tubuhmu sakit sekali." sepertinya rencana itu akan dilakukan besok terlebih lagi saat Sri melihat bekas lebam di pergelangan tangan serta lecetnya ketua kaki gadis yang ada di depannya itu. "Mandilah dahulu dan pakai ini untuk mengganti pakaianmu." Sri mengambil setelan olahraga dari balik lemari pakaiannya dan memberikannya pada Luna dan gadis itu masuk ke dalam kamar mandi yang beruntungnya berada di dalam kamar. Setelah selesai membersihkan diri dan berganti baju, tangan Luna ditarik dan didudukkan diatas ranjang oleh Sri yang kini mengeluarkan obat dari balik kotak P3K yang dia ambil di luar saat Luna tadi mandi. "Kemarikan tanganmu!" "Saya bisa mengobati luka saya sendiri, Nyonya." Ucapan yang keluar dari bibir Luna membuat wanita paruh baya itu menipiskan bibir sebelum akhirnya menarik tangan gadis itu dan mengoleskan salep untuk lebam di kedua pergelangan tangan gadis itu. Dan apa yang dilakukan oleh wanita paruh baya itu membuat bibir Luna bergetar menahan tangis pasalnya dia tidak pernah merasa diperhatikan seperti ini oleh orang lain terlebih lagi saat ibu Arumi mengalami kelumpuhan. "Sudah selesai." Sri telah selesai mengobati tangan dan kaki Luna, "Sekarang tidurlah! Istirahatkanlah tubuhmu supaya bisa menghadapi hari esok yang mungkin akan sama beratnya dengan hari ini." "Iya." Luna menganggukkan kepalanya berulangkali sembari tersenyum penuh rasa syukur, "Terima kasih." tubuh Luna terbaring di atas ranjang disamping wanita paruh baya itu, membiarkan dirinya diselimuti dengan selimut hangat dan tidak butuh waktu lama, tubuh lelah itu secara perlahan. Malam itu adalah tidur terlelapnya selama 21 tahun terakhir. Dan pagi datang dengan cepat, sinar matahari yang masih malu-malu dibalik gelapnya awan membuat Luna terbangun dari tidurnya yang bahkan wanita paruh baya disampingnya itu belum membuka mata. Luna memutuskan untuk turun dari ranjang dan langsung membersihkan diri dan beberapa saat kemudian Luna didudukan sudah hadapan sebuah cermin besar yang berada di dalam kamar itu dengan wanita paruh baya itu berdiri di belakang tubuhnya, meremas bahunya dengan erat. "Nama saya Sri Pujiastuti, Apakah Kamu percaya pada saya?" manic itu menatap tepat di manic Luna yang terpantul di cermin. "Saya Luna Nafeeza Zahra dan saya percaya pada anda." senyum Luna terbit dengan cantiknya dan gadis itu memejamkan mata, membiarkan wanita paruh baya itu mengubah dirinya sesuai dengan keinginan wanita itu. Selama hampir satu jam lebih Luna didandani hingga akhirnya penampilan final gadis itu selesai. Luna berubah 180 derajat, rambut panjangnya yang semula berwarna coklat madu dengan gelombangnya yang cantik kini harus tertutup dengan ikatan cempol yang menjulang tinggi diatas kepala, wajah yang sebelumnya seputih pualam kini dirubah menjadi lebih kusam dengan banyak bintik disetiap sudut wajahnya, alis yang terukir rapi kini tercetak tebal dengan warna hitam dan bibir Cherry miliknya berubah menjadi warna kehitaman dan tubuh bagian punggungnya diberi bantal kecil seolah menciptakan bahwa gadis itu punya punuk disana. Luna menatap tak berkedip pada bayang penampilannya kini. "Kamu harus berpenampilan seperti ini setiap hari demi dirimu sendiri, Nak." suara Sri membuat Luna menolehkan kepalanya. "Saya tahu dalam lubuk hatimu yang terdalam kamu pasti tidak ingin berpenampilan begini tapi kamu harus mau seperti ini jika masih mau bersembunyi di rumah ini." Sri menatap penampilan gadis yang ada di depannya itu dengan iba, menyayangkan penampilannya yang cantik berubah dengan drastis untuk bertahan. "Saya yang harusnya terima kasih kepada anda karena anda telah berani mau membantu saya." senyum Luna terpasang dengan lembutnya. "Baguslah kalau kamu mengerti." Sri lantas meraih tangan Luna, "Kalau begitu ayo kita keluar." dan membawa gadis itu keluar dari balik pintu kamarnya untuk menuju ruang tengah dimana seluruh pelayan rumah dikumpulkan oleh sang tuan. Dan kedatangan Sri beserta gadis asing itu tentu saja menarik atensi seluruh pelayan yang telah berkumpul di sana. Kasak busuk pun terdengar dan mengerikan dirikan penuh rasa ingin tahu melayang pada sosok asing yang berpakaian layaknya pelayan seperti mereka. "Apakah dia adalah gadis yang semalam?" Karim yang berdiri di samping Sri berbisik lirih di telinga wanita itu. "Ya." angguk Sri singkat, "kita tidak mungkin membiarkan penampilannya seperti semalam. Saya tidak mau terjadi apa-apa pada gadis malang itu." bisiknya pelan. Dan hawa pagi hari yang sebelumnya segar dan menyejukkan secara tiba-tiba berubah menjadi mencekam dengan aura gelap yang mencekik seiring dengan suara langkah kaki yang mengetuk lantai dengan irama khasnya. Para pelayan yang sebelumnya berkasak khusuk seketika terdiam dengan kepala menunduk takut. "Saya harap kalian tahu kenapa kalian semua saya kumpulkan hari ini." suara berat itu mengalun keras hingga membuat para pelayan tidak berani berkutik. Pria itu berjalan menuju arah sofa dan duduk dengan angkuhnya. "Ruang kesayangan saya hancur dan Cctv yang berada di depan ruangan telah dirusak dan tidak ada satupun saksi yang melihat kejadian itu." manik itu menatap deretan para pelayan yang menunjukkan kepala dengan rahangnya yang mengetat menahan emosi. "Padahal beberapa jam sebelumnya saya masih berada di rumah dengan posisi ruangan itu masih dalam keadaan baik-baik saja." Alex membuka bungkus rokoknya, menyalakannya dengan pematik sebelum akhirnya menghisap batangan itu dengan hisapan dalam dan menghembuskan asapnya di udara. "Saya tidak mau tahu, bagaimanapun caranya, Kalian harus bisa mendapatkan biang keladi yang sudah berani menghancurkan ruangan milik saya!" Alex kembali menatap pelayannya yang tertunduk takut seperti pengecut dan disaat itulah manic tajamnya menangkap sosok yang tak biasa sedang berbaris diantara pelayannya yang lain. Alex menekan rokoknya diatas asbak sebelum akhirnya bangkit dari atas sofa, berjalan dengan langkah penuh perhitungan sebelum akhirnya berdiri didepan sosok itu. Pria itu menundukkan wajahnya, mengamati dengan cara yang tak biasa pada sosok asing yang tiba-tiba berada di rumahnya. Jari telunjuk pria itu terulur, mengangkat wajah itu hingga manic keduanya bertemu. Dalam sepersekian detik jantung Luna berdegup tak karuan. Ada rasa takut dan juga rasa kagum saat manicnya menatap sosok pria tampan yang ada dihadapannya kini namun rasa kagum itu langsung lenyap diterpa angin saat suara gaung kemarahan pria itu mengalun keras di depan wajahnya. "Siapa yang mengijinkan orang cacat seperti dia berada di rumah ini, hah?!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD