Bab 5

1168 Words
BELENGGU Bab 5   Aksa mengamati Jovanca dari meja kerjanya, sejak tadi pagi wanita itu hanya diam. Tidak seperti biasa, ia selalu ceria dan menggodanya dengan candaan yang terkadang tidak masuk akal. “Ehm,” Aksa berdeham mencoba mengalihkan perhatian Jovanca dari laptopnya. “Hari ini tidak seramai kemarin, bukan? Kurasa kita memiliki sedikit waktu untuk minum kopi. Kau mau segelas?” “Boleh, buatkan saja.” Jawab Jovanca tanpa menoleh. Aksa menaikkan alisnya, kemudian berjalan ke dapur mini di belakang ruangannya yang hanya disekat dengan sebuah kaca lebar, menuang kopi instant sambil sesekali menatap Jovanca yang terlihat murung itu. Sungguh, ada rasa tidak nyaman ketika melihat wanita yang disukainya memperlihatkan sikap seperti itu. Namun sepertinya menunjukkan perhatian berlebih akan membuat Jovanca tidak nyaman. Aksa tidak ingin Jovanca menghindarinya karena hal itu. Aksa meletakkan kopi di meja Jovanca, wanita itu hanya mengangguk kecil untuk mengucapkan terimakasih. “Aku hanya memberi sedikit gula, kalau kurang manis kau bisa....” “Tidak, terimakasih. Sudah cukup.” “Ah, Jovanca kau terlihat murung hari ini, bukan maksudku ikut campur tapi sebagai sahabat aku hanya ingin membantu, siapa tahu kau membutuhkan bantuan atau hanya sekedar saran?” Jovanca berhenti, menatap Aksa dengan senyum di bibirnya, “Kau benar, aku memang sedang tidak bahagia hari ini.” “Kau benar-benar tidak bisa menyembunyikan perasaan, ya?” Aksa tertawa kecil, menyesap kopinya yang masih panas. “Begitulah...kau ingin tahu?” jawab Jovanca datar. “Kalau kau beritahu, tentunya.” “Oke. Demian memintaku berhenti bekerja.” “What?” Aksa hampir saja tersedak kopinya. “Kau terkejut, bukan?” “Tapi bagaimana bisa? Bukankah selama ini tidak masalah kalau kau bekerja?” suara Aksa terdengar meninggi, hampir seperti teriakan. “Astaga, kecilkan suaramu. Kau ingin semua orang datang ke ruangan kita?” wajah Jovanca terlihat panik, karena ekspresi berlebih pria itu. “Ah, maaf, aku terkejut. Tapi apa alasannya?” “Soal hubungan kami, kurasa aku terlalu banyak menghabiskan waktu di sini. Demian ingin aku di rumah dan menunggunya pulang. Tapi kurasa itu justru membuatku merasa tersiksa. Kau tahu, kan? Aku tidak bisa diam dan hanya melakukan pekerjaan rumah? Aku belajar giat untuk mendapatkan pekerjaan ini, posisi ini. Aku bangga ketika orang bertanya tentang pekerjaanku. Dan sekarang apa yang dia inginkan?” “Kau benar, dan aku pasti sangat kesepian jika kau tidak ada. Aku juga pasti akan patah hati.” Aksa memuramkan wajahnya, dan seketika ia menerima cubitan dari Jovanca. “Kau masih bisa bercanda, saat aku benar – benar sedih, Aksa.” “Aku hanya ingin menghiburmu, sekalipun apa yang kukatakan tadi adalah kebenaran. Tapi kurasa Demian tidak akan memaksamu, dia hanya memberi pilihan. Aku sangat mengenalnya. Atau kau ingin aku bicara padanya?” Aksa menawarkan diri. “Tidak, bagaimana mungkin aku melibatkanmu. Aku bisa mengurusnya.” “Baguslah. Tapi ngomong – ngomong kami sudah lama tidak bertemu, bagaimana kalau aku mengundang kalian minum teh di rumahku? Kebetulan aku baru saja merenovasi rumah itu.” “Boleh, aku juga membutuhkan suasana baru. Aku akan bicara dengannya nanti.” “Aku senang melihatmu kembali ceria, Jovanca.” Jovanca tersenyum, kembali menyalakan laptopnya dan mulai bekerja kembali. Aksa masih mengamatinya, mengamati wanita yang diam – diam disukainya, bahkan lebih. Aksa pernah membayangkan seandainya Jovanca adalah miliknya. Ia tidak tahu, harus senang atau sedih setiap kali Jovanca berselisih dengan Demian. Terkadang ia ingin memanfaatkan moment itu untuk mempengaruhi Jovanca, namun lagi – lagi ia ingat jika Demain adalah sahabat baiknya sejak dulu. Sejak mereka belum mengenal Jovanca. “Sampai kapan kau akan menatapku, Aksa?” suara Jovanca tiba – tiba mengejutkannya. Aksa mengambil selembar nota resep, membuka laptopnya dan menelusuri halaman web dengan matanya. Wajahnya tiba – tiba memerah, ia merasa Jovanca memikirkan sesuatu tentang kelakuannya tadi. “Tidak, aku hanya sedang mencari komponen apa yang harus kuracik.” Jawab Aksa ragu.” “Di wajahku?” terang Jovanca. Aksa terkekeh, membalas senyum Jovanca yang teramat manis baginya. .....................................................   Sementara itu di kantor Demian   “Aku sudah menandatangi semua kontrak, dan melihat mereka semua. Kau bisa mulai berlatih untuk show, Mara.” Demian memberikan berkas – berkas itu kepada Mara. “Oke, apakah kita akan menyewa gedung di lantai atas untuk berlatih?” tanya Mara. “Hmm, kita bisa menyewanya. Setidaknya untuk tujuh hari. Apakah cukup?” “Kurasa cukup, karena mereka model terlatih. Tidak butuh waktu lama untuk menguasai panggung. Tapi bagaimana dengan Zea? Apa kau sudah mendapat jawaban?” “Hari ini aku akan bertemu Daniel, dia ingin aku datang ke agensinya.” “Baiklah, aku akan pergi untuk mengurus mereka.” “Selamat bekerja, Mara.” Mara tersenyum, membawa tumpukan berkas itu dan meninggalkan ruangan Demian. Demian bergegas menuju mobilnya, entah mengapa ia begitu tak sabar untuk menemui Daniel. Ia sangat ingin mendengar kabar tentang Zea. Jantungnya seolah meletup dan bibirnya tersenyum di sepanjang perjalanan.   “Daniel, apakah Zea...” Demian membuka pintu ruang kerja Daniel, dan terdiam ketika melihat sosok Zea di dalam sana. Zea menoleh, sama terkejutnya dengan Demian. Zea tidak menyangka jika orang yang membutuhkan jasanya ada Demian. Ya, dia pikir mereka hanya memiliki persamaan nama, tapi ternyata tidak. “Zea....” ucap Demian lirih sambil menutup pintu perlahan. “Kau sudah mengenalnya, Demian?” Daniel mengambil kursi dan memberikannya untuk Demian, “duduklah.” “Ya, kebetulan aku dan Demian teman satu kampus.” Jawab Zea perlahan, ia terus menatap Demian dengan rasa tidak percaya. Zea tidak pernah membayangkan jika Demian akan berubah seperti ini, ia terlihat semakin tampan dan percaya diri di balik setelan jas abu – abu tua itu. Terlebih lagi ketika Daniel mengatakan jika Demian memiliki perusahaan fashion yang cukup besar dengan produk-produk yang hampir memenuhi pasar internasional. Dan sebuah kehormatan bagi Zea ataupun model manapun untuk bekerjasama dengan Demian. “Wah, kebetulan kalau begitu. Kurasa kau tidak akan menolaknya bukan?” tanya Daniel kepada Zea yang dijawab dengan senyum kecil di bibirnya yang merona. “Ehm, Daniel, maaf. Tapi bisakah aku bicara sebentar dengan Zea?” “Oh, tentu. Aku akan keluar membeli minuman. Kalau sudah sepakat, kau bisa tanda tangan kontraknya.” Ujar Daniel sambil melangkah keluar.   Hening................   “Eh, Zea. Apa kabar?” tanya Demian dengan jantung yang berdegup kencang. Zea tersenyum dan menerima uluran tangan Demian, “Seperti yang kau lihat, aku bergantung pada agensi untuk mendapat pekerjaan.” Demian menatap wanita itu, tidak ada yang berubah. Ia tetap begitu cantik dengan rambut ikal sebahu. Namun Demian merasa jika Zea terlihat lebih kurus dari dulu. “Apa maksudmu kau hanya tergantung pada agensi? Daniel bilang kalau kau cukup terkenal di dunia model.” Zea tersenyum lagi, melipat tangannya di depan d**a, “Untuk saat ini kurasa aku belum bisa mengatakannya padamu. Jadi, apa yang kau inginkan? Kau ingin membuat kontrak denganku?” Demian mengangguk, “Ya, aku sangat ingin. Zea, apa kau memiliki waktu untuk kita?” “Apa maksudmu, Demian? Kau ingin mengundangku makan malam?” “Ya, kalau kau tidak keberatan. Anggap saja aku menjamu pertemuan kita kembali.” Demian menatap Zea penuh harap. Dan di luar dugaan Zea menerima undangan Demian. “Tentu, aku rasa aku juga ingin sekedar berbincang denganmu. Mau bertukar nomor telepon, Demian?” “Oh, berikan saja nomor ponselmu. Akan kuhubungi nanti.” “Tentu. Hubungi aku kapan saja. Untuk saat ini, aku hanya terikat kontrak denganmu.” “Tapi Zea, apa suamimu tidak keberatan kalau aku mengundangmu makan malam?” “Tidak, aku belum menikah, Demian.” Demian cukup terkejut dengan jawaban Zea. Bukankah waktu itu ia meninggalkan Demian dan pergi dengan lelaki lain? Lelaki yang usianya jauh lebih tua darinya? Lelaki yang dikabarkan memiliki banyak perusahaan itu? ataukah terjadi sesuatu dengannya? “Bagaimana denganmu? Apa kau sudah menikah?” tanya Zea dengan lirih. Demian terdiam, merasa ragu untuk menjawab pertanyaan itu. “Eh, aku. Sebenarnya aku sudah menikah.”   Zea tersenyum miring, merasa kecewa dengan jawaban yang didengarnya itu. “Baiklah, aku harus pergi, Demian. Kau bisa berbicara dengan Daniel nanti soal kesepakatan kita.” “Tapi zea...” “Tenang saja, aku tidak akan membatalkan kontrak hanya karena kau sudah menikah.” Zea tersenyum, dan berjalan keluar dari ruangan itu.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD