BELENGGU
Bab 2
“Kau terlambat, Jovanca?” kata Aksa Alvaro sembari meraih tas kerja Jovanca.
“Aku terlambat? Hei, kembalikan tasku.” Seru Jovanca yang berjalan di belakang Aksa.
“Biar aku yang bawa, bukankah kau harus membuat kopi?”
“Kopi? Astaga, kau ingin kubuatkan kopi?” Jovanca tertawa, disambut senyum Aksa yang melebar.
Aksa meletakkan setumpuk berkas di mejanya, kemudian duduk menghadap laptop yang sepertinya sudah menyala sejak tadi.
“Ini kopimu, tanpa gula,” Jovanca meletakkan kopi di meja Aksa, sekilas menatap mata sembab pria itu. “Kau tidak tidur tadi malam?”
“Apa terlihat begitu? Aku bahkan tidak pulang semalam.” Jawab Aska sembari meniup kopinya, “terimakasih.”
“Kenapa? Apa pekerjaanmu harus selesai dalam semalam?” Jovanca mengerutkan keningnya.
“Benar, mereka sangat membutuhkan obatnya. Jadi, aku harus meraciknya malam itu juga. Kemudian membuat laporan. Seperti biasa.”
“Oh, maaf, kalau kau memberitahuku, setidaknya aku akan membatalkan cuti.” Jovanca terlihat menyesal.
“Lain kali kau harus membantuku.” Aksa terkekeh, kembali memilah berkas – berkas itu.
“Tentu saja, kita memang harus saling membantu.” Jovanca menarik napas, menyalakan laptop untuk memeriksa email.
“Tapi sepertinya hari ini aku juga harus lembur, daftar pasien dengan obat khusus sudah mengantri.”
“Apa kau merasa jika perusahaan ini terlalu banyak bekerja sama dengan rumah sakit? Bukankah sebaiknya kita mengajukan apoteker tambahan?” Aksa berhenti, menatap Jovanca yang terlihat berbeda hari ini.
“Kurasa kau benar, bagaimana kalau kau saja yang mengajukan itu kepada pak kepala?” jawab Jovanca datar.
“Hanya aku? Kenapa bukan kita?” Aksa cemberut, sedikit kesal dengan jawaban Jovanca.
“Kurasa dia lebih menyukaimu, Aksa. Kau masih ingat saat aku memintanya untuk membatasi permintaan obat yang terlalu besar? Dia sangat marah, bahkan ingin memecatku.” Jovanca menyesap kopinya, menatap Aksa yang juga menatapnya serius.
“Ah, kau benar. Dia sangat marah waktu itu.”
“Sebenarnya bukan tidak mau kerja lembur, tapi kalau setiap hari harus begitu repot juga, apalagi untuk kita yang memiliki keluarga. Bukankah begitu, Aksa?” Jovanca meraih resep yang sudah menumpuk, memakai sarung tangan dan siap meracik obat.
“Ya, kau benar. Ngomong-ngomong bagaimana dengan pernikahanmu? Apa menikah itu menyenangkan?” Aksa mengambil obat, siap memasukkannya ke dalam kantong dan memberi label.
“Aku bahagia, Demian sangat mencintaiku. Kau harus menikah, Aksa. Berapa usiamu?” Jovanca terkekeh, menatap Aksa yang cemberut.
“Siapa yang mau menikah denganku?” Aksa terlihat putus asa.
“Kau selalu begitu, Aksa. Kau tampan juga mapan. Apa yang kurang darimu?” Jovanca mengambil takaran obat, menimbangnya dengan teliti.
“Lalu mengapa kau menolakku? Apakah aku kurang tampan untukmu?”
“Tidak, kau sangat tampan. Tapi Demian lebih tampan.” Jovanca tergelak, mengambil air dan meneguknya.
“Ah, Ketampanan tidak selalu mencerminkan kesetiaan.”
“Kalau begitu kau juga tidak setia, ha?”
“Oh, itu tidak berlaku untukku.” Aksa terkekeh.
“Aksa, kau sahabat Demian, bukan? Kau mengenalnya lebih lama dariku. Maukah kau menceritakan sesuatu tentang masa lalunya?” pinta Jovanca.
“Umm, masa lalu yang seperti apa? Semasa di sekolah menengah atau universitas?”
“Masa sekolah hanyalah masa remaja yang nakal, ha.., bagaimana kalau masa kuliah?”
“Aku akan mencoba mengingatnya. Tapi setelah aku menyelesaikan ini dulu.”
“Oke, aku juga akan meracik beberapa resep. Atau kau mau makan siang di luar?” tawar Jovanca.
“Setuju, traktir aku.”
*Di kantor Demian
“Apa kau menyukai kain yang baru saja datang, Demian?” tanya Mara, wanita yang bekerja cukup lama sebagai asisten Demian itu.
“Tentu, aku yang datang sendiri ke sana untuk memilihnya. Ini kain sutra dengan kualitas nomer satu.” Jawab Demian dengan senyum lebarnya.
“Jadi, kapan kau berencana menggelar fashion show itu?”
“Setelah aku menemukan model yang kuinginkan, dia harus memiliki tubuh yang sempurna. Jadi, apa kau sudah mendapatkannya?” tanya Demian tanpa menoleh.
“Sebenarnya ada beberapa kandidat, kapan kau memiliki waktu untuk mereka?” tanya Mara cemas, “harus kau ingat, Demian. Mereka tidak hanya menjalani satu kontrak dengan kita. Kau harus segera menentukan. Berapa model yang kau butuhkan?”
“Aku mengerti, aku sudah memikirkannya. Sekitar tujuh atau sepuluh, kurasa itu cukup.”
“Untuk berapa kali show? Bukankah mereka bisa menganti pakaian secepat mungkin, apa itu tidak terlalu banyak?”
“Begitu?” Demian terlihat berpikir, “Baiklah, kau benar. Kalau begitu enam saja. Kurasa itu cukup.”
“Jadi, kapan?” tanya Mara lagi.
“Besok, tolong kau atur saja.” Jawab Demian.
“Oke.” Mara berjalan meninggalkan ruang kerja Demian. Wanita itu kemudian terlihat sibuk menelepon.
Demian kembali duduk di meja kerjanya, mengambil kertas dan pensil. Dalam sekejap jemarinya yang lentik telah menghasilkan sketsa gambar yang indah. Sebuah gaun untuk musim panas. Gaun terusan di atas lutut dengan tali kecil di bagian bahu. Demian menggambar dengan sangat detail, termasuk dalam menempatkan bordir. Kali ini, ia sedikit jenuh dengan bordiran bunga. Karena itu untuk produk barunya, ia ingin menampilkan sesuatu yang berbeda. Sebuah bordiran yang membentuk kepala harimau.
Demian tersenyum melihat hasil kerjanya, bukan hanya satu, tapi ia bahkan membuat beberapa desain sketsa. Semua itu akan ia kerjakan nanti, setelah melihat lekuk tubuh para model. Ya, ia harus membuat gaun itu pas untuk mereka.
Ketika Demian masih berkutat dengan kertas – kertas itu, Mara kembali masuk dengan wajah sedikit bingung. Wanita itu kemudian duduk di hadapan Demian.
“Demian.” Panggil Mara dengan suara sedikit panik.
“Hmm.” Jawab Demian tanpa melihat wanita itu.
“Salah satu model mengundurkan diri.” Ujar Mara perlahan. Demian berhenti, menatap Mara dengan tajam, “Kenapa?”
“Kurasa dia mendapat tawaran lain, entahlah. Dia tidak mengatakan alasannya dengan jelas.”
Demian terdiam, menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi sementara tangannya mengetuk-ngetuk meja dengan ujung pensil, “Kalau begitu, besok aku sendiri yang akan datang ke sebuah agensi model. Aku berteman baik dengan pemilik agensi itu. Dia memiliki banyak model terbaik di sana.”
“Kau sendiri yang akan pergi?” tanya Mara heran. Karena biasanya tugas mencari model adalah bagiannya.
“Ya, kali ini aku sendiri yang akan mencarinya, hanya satu. Kau tidak keberatan, bukan?” Ujar Demian dengan senyum di bibirnya.
Mara menarik napas, “Ah, baiklah. Aku tidak merasa kau sedang mengambil alih pekerjaanku, Demian.”
Demian terkekeh, “Tentu tidak, Mara. Sebagai teman bukankah kita harus saling menolong?”
“Aku akan mempersiapkan surat kontraknya, kau ingin kopi?” tanya Mara tersenyum.
“Ya, suruh anak lelaki itu membuat kopi.”
...............................
Demian meneguk kopinya, mengamati lagi hasil sketsa itu. ia mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang kurang dari sana. Benar, ia ingin menambahkan swarovski di bagian d**a gaun itu. Yang akan menjadi pusat perhatian semua orang. Ia yakin, batu berkilau itu akan menambah kesan sensual bagi pemakainya. Bukan hanya seksi, namun lebih dari itu.