My Lady is a Werewolf - Part 3

2058 Words
Tetesan embun menetes dari dalam kelopak daun, nyanyian burung terdengar sahut bersahutan, sinar kecil matahari menembus ranting-ranting pohon tinggi ke tempat yang lebih rendah, yang menyorok ke arah pondok kecil tersembunyi di dalam hutan yang cukup dalam. Pondok kecil tersebut terlapisi dinding-dinding kayu tebal terlihat kuat. Bentuk bangunan itu terlihat sangat biasa apabila dilihat dari luar. Tapi ada sesuatu yang menarik diperhatikan bila seseorang berada di depan pondok kecil tersebut. Pintu utama--dan satu-satunya--bangunan itu dipalangi oleh sesuatu. Pintu itu dipaku oleh berlapis-lapis kayu. Yang membuat seseorang tidak bisa masuk ke tempat itu, atau sebaliknya. Palang-palang kayu tersebut terlihat masih baru. Apabila seseorang memutari pondok kecil tersebut untuk mencari jalan masuk, satu-satunya yang dapat ditemukan adalah sebuah jendela kecil sebagai vertilasi udara. Jendela tersebut berada di salah satu sisi dinding pondok, dan letaknya lebih tinggi dari yang seharusnya. Sinar matahari berhasil masuk dan menembus ke dalam jendela. Dan kemudian, cahaya kecil itu menyinari tepat seorang wanita yang sedang tertidur di dalam sana. Merasakan gelombang kehangatan di kulitnya, Marlin Green membuka mata perlahan. Marlin tidak bergerak sedikit pun dan merasakan tumpukkan jerami di bawah tubuh dan pipinya. Dia menutup matanya lagi untuk sebentar, merasakan sekali lagi sinar hangat yang sedang bermain-main dengan kulit wajahnya. Beberapa menit kemudian gadis itu kembali membuka matanya, dan mulai bergerak, mencoba untuk duduk, mendorong dirinya naik dengan salah satu lengannya. Rasa sakit di kepala langsung menyerang gadis itu. Marlin mengernyit lalu kembali menutup matanya, menyentuh keningnya, dan menunggu hingga sakit itu mereda beberapa menit kemudian. Setelah rasa pening tersebut sudah menghilang, Marlin merasakan serangan lainnya. Tusukkan-tusukkan udara dingin menyerang tubuhnya. Membuatnya terbatuk bersin, dan gadis itu langsung menggosok-gosokkan kedua telapak tangan ke bahunya yang telanjang. Hawa hari itu begitu dingin. Dan dengan dirinya yang saat ini tidak mengenakkan apa pun, rasa dingin menjalar itu terasa dua kali lipat. Tubuhnya butuh sesuatu yang hangat.  Marlin menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya lagi, dan mencari sesuatu di sekitarnya. Benda pertama yang dia lihat adalah sebuah kain robek yang berada di sebelahnya--sisa-sisa dari pakaiannya tadi malam. Seperti biasa, pakaian yang dikenakkannya selalu terlihat menyedihkan di pagi hari, benda itu sudah tidak berbentuk. Padahal Marlin cukup menyukai pakaian tersebut. Marlin kemudian menoleh ke arah lain dari tempatnya--dia masih terduduk di lantai--dan menemukan cakaran-cakaran tajam yang begitu dalam terlukis alami di atas lantai.  Hasil perbuatannya tadi malam. Marlin menatap bekas cakar binatang itu lalu melihat tangannya lagi dan melakukan perbandingan, yang membuat gadis itu kembali mengernyitkan alisnya. Apa benar tangan ini yang membuat cakaran yang menyeramkan seperti itu? Udara dingin kembali menyerang Marlin, membuat gadis itu kembali bersin untuk kedua kalinya. Marlin kembali mengigil, dan melihat ke sekeliling ruangan, mencari apa yang dibutuhkannya saat ini. Tidak begitu jauh dari tempatnya terduduk, hampir di ujung sudut ruangan terlihat sebuah mantel dan pakaian yang terlipat rapi, dan tentu bisa digunakan olehnya. Karena Marlin tidak bisa menjulurkan tangannya begitu saja, gadis itu pun akhirnya berdiri dan mulai akan melangkah untuk mengambil apa yang harus diambilnya, tetapi langkahnya langsung terhenti. Sesuatu menghentikan langkahnya. Marlin menatap ke bawah dan melihat kedua kakinya. Di kedua pergelangan kakinya terdapat sesuatu yang melingkar dan mengunci. Kedua pergelangan kakinya terborgol oleh sebuah rantai pendek berwarna perak. Rantai yang terlihat sangat kuat sekali. Pantas saja pergelangan kakinya terasa perih, Marlin melihat warna merah lebam menghiasi permukaan kulitnya yang tipis itu. Dia harus melepaskan rantai itu. Marlin kemudian berjongkok dekat dengan tiang rantai dan mencari sesuatu di sana. Sesuatu yang biasa tersembunyi dengan baik di dalam rongga tiang rantai tersebut. Dan dalan sekejap, gadis itu menemukan kunci yang dicarinya. Marlin membuka kedua borgol perak di kedua kakinya dengan cepat, dan kembali menyembunyikan kunci tersebut. Marlin kembali berdiri dan menuju mantel dan pakaiannya, dan gadis itu langsung menggenakannya--tulang-tulang manusianya sudah terasa ditusuk-tusuk oleh udara dingin sedari tadi. Dan, mantel hangat itu sudah benar-benar menghangatkannya kali ini. Marlin melihat sekeliling pondok itu, dan sepertinya tidak ada apa pun yang terjadi seperti biasa. Tidak ada yang mencurigakan. Dia melihat kembali kakinya, mungkin dia akan lebih sedikit kesulitan berjalan untuk tiga hari. Dan tiba-tiba gadis itu menatap ke arah pintu pondok. Dia mendengar sesuatu di luar sana. Ada sesuatu yang bergerak di depan pondok, binatangkah? Atau manusia? Marlin menajamkan pendengarannya. Inderanya masih sangat tajam pagi ini. Marlin merasakan langkah kaki dua orang, gadis itu memandang ke sekeliling pondok, apa yang harus dia lakukan? Menyembunyikan diri? Tapi di mana? Tak ada perabotan apa pun di dalam pondok. Pondok itu hanya sebuah ruangan kecil yang kosong. Hanya ada tumpukkan jerami, dua borgol kaki berwarna perak, dan cakaran-cakaran tajam binatang menghiasai lantai dan dinding kayu di sekitarnya. "Kau sudah bangun?" tanya seorang pria yang sudah berhenti di depan pintu berlapis-lapis palang. Suara itu adalah suara yang Marlin kenal, suara salah satu kakaknya. Marlin pun merasa tenang, "Sudah, Herb." "Bagus. Menjauhlah dari pintu, kami akan mencabut palang-palang ini," kata Herbert. "Apa tidak sebaiknya aku lewat jendela saja?" tanya Marlin kembali menutup salah satu matanya yang silau saat matahari mengenainya dari lubang jendela. "Kau masih terlalu pendek untuk memanjat lubang jendela itu, Mar," ujar Warner--kakaknya yang lain--memandang jarak jendela tersebut. Herbert tertawa mendengar itu. "Kau harus menjadi hewan kecil lucu yang bisa terbang," lanjut Herbert dengan membuka palang kayu itu satu persatu, "bukan menjadi makhluk berbulu besar sanggar yang menggemaskan." Dalam beberapa menit, Herbert sudah berhasil membuka semua palang dan melihat adik perempuannya keluar dari dalam pondok. Marlin Green menatap kedua kakaknya, Warner dan Herbert. "Bagaimana malam kalian?" Herbert tertawa lebar, "Luar biasa. Sudah lama sekali aku tidak berlari secepat itu," lanjutnya, "dan Warner, dia berlari tanpa henti." Marlin menatap wajah kedua kakaknya bergantian. Wajah Warner dan Herbert terlihat cerah, dan seperti yang didengarnya, tadi malam kedua kakaknya cukup bersenang-senang. Berbeda dengan dirinya, yang selama ini selalu terkunci di dalam pondok kecil gelap. Melihat mimik wajah Marlin, Warner menempuk pelan pundak adiknya, "Suatu saat, kau pun dapat merasakannya Marlin." "Tentu. Setelah kau menaklukkan serigala di dalam dirimu," timpal Herbert yang tak sengaja mendengar pembicaraan mereka berdua. "Tapi, aku bukan serigala seperti kalian," potong Marlin mengeluh. "Aku iblis terkutuk yang memiliki tubuh serigala dan manusia." "Bersabarlah Marlin. Kami tahu, suatu saat nanti kau akan dapat mengendalikannya," ujar Warner mencoba menenangkan adik perempuannya. "Kau hanya perlu lebih berusaha dan lebih banyak waktu. Tak usah terburu-buru." "Tak usah terburu-buru? Sampai kapan, Warner? Selama ini, hingga saat ini? Hasilnya selalu tak ada," kata Marlin pelan. "Aku tak yakin. Sudah tiga belas tahun, Warner." "Dan kau masih punya banyak waktu setelah tiga belas tahun, Marlin Green," timpal Herbert dengan optimis. "Kau harus yakin anak manja, karena kami berdua, kakakmu yang tampan ini akan selalu membantumu," ucap Herbert lagi sambil menempuk keras bahu Marlin. "Ayo kita kembali ke kota, dan kembali bersenang-senang. Aku tidak sabar bertemu Brand, dan melontarkan tinjuku pada wajahnya." Warner menatap punggung Herbert yang sudah sedikit menjauh, dia kembali menatap Marlin yang mengelus bahunya sendiri. "Percayalah pada dirimu, Marlin. Dan percayalah padaku. Kau akan dapat mengendalikan sisimu satu lagi." "Hal itu susah sekali untuk dilakukan, Warner. Percaya pada diriku sendiri? " kata Marlin sinis. "Aku takut bila aku akan melukai seseorang." "Kau tak akan melukai siapapun, Marlin," potong Warner. "Bagaimana kalau aku melukai Rubi atau Nash? Bagaimana kalau aku melukai mereka?" "Kau tak akan menyakiti mereka. Aku dan Herbert akan menjaga dan melindungi kalian," tegas Warner. "Suatu saat nanti, aku pasti akan melukai seseorang," ujar Marlin tidak memedulikan perkataan Warner. "Seseorang akan terluka karena diriku," lanjut gadis itu keras kepala, sambil berjalan lebih cepat menjauhi Warner dengan sedikit kesusahan karena kakinya yang lebam. *** Mata Grafton menjelajah sosok seorang wanita bertubuh besar dan pendek di depan matanya dengan cermat. Dia tahu apa yang sedang dilakukannya saat ini sama seperti orang yang tak terpelajar. "Miss Morr?" "I-iya, Your Grace. Namaku Maria Morr," cicit wanita pendek bertubuh subur itu, yang kira-kira berusia dua puluh tahun. Grafton dapat melihat wanita itu sedikit terintimidasi dengan desain ruangannya saat ini, dan tentu juga terpesona dengan interior ruang tamunya--ruang tamu keluarga FitzRoy. Grafton pun menyadari bahwa wanita itu diam-diam mencuri tatap ke bekas lukanya. Grafton kembali mengamati gadis itu, Maria Morr. Gadis tersebut sebenarnya tidak terlalu pendek tetapi memiliki tubuh dua kali lebih lebar dari tubuh Grafton sendiri, membuat wanita tersebut terlihat pendek. Maria Morr memiliki dagu terlipat yang sangat terlihat jelas, dan jari-jari tangan wanita tersebut pun pendek dan gemuk-gemuk. Grafton tahu bahwa gadis yang berada di hadapannya saat ini adalah seorang tukang masak di sebuah kedai kecil bagian perbatasan London. Data-data tentang Miss Maria Morr sudah dibacanya. Data-data yang didapat oleh Grafton dari para penyelidiknya, yang bertugas menyelidiki tentang keberadaan Lady Marlene Marshal. Maria Morr, di dalam salah satu surat yang diterima Grafton adalah salah satu kandidat yang hampir menyamai karakteristik wanita yang sedang dicarinya. Tunangannya, Lady Marlene Marshal kecil, kalau tidak salah berumur dua puluh tahun pada tahun ini. Maria Morr di dalam data berumur dua puluh tahun. Grafton sedikit ingat, tunangan mungilnya itu memiliki rambut ikal berwarna cokelat gelap, Maria pun memilikinya walaupun rambut wanita tersebut sudah dipotong pendek. Tunangan kecilnya memiliki iris mata berwarna abu-abu pucat, Maria pun memiliki warna mata yang sama. Gadis mungilnya memiliki hidung kecil yang mengemaskan dan bibir mungil yang indah, Maria mungkin memilikinya tapi Grafton tak bisa melihat bibir dan hidung itu di sana saat ini.  Lady Marlene Marshalnya dulunya begitu mungil. Apakah gadis itu sudah berubah jauh? pikir Grafton, saat menatap Miss Maria Morr untuk pertama kali, saat wanita tersebut masuk ke ruang tamunya. "Silakan duduk, Miss Morr." Grafton menunjuk salah satu bangku tamu. "Te-terima kasih, Your Grace."  Grafton dapat melihat kecemasan terlihat dari wanita tersebut saat duduk. Wanita tersebut terlihat khawatir, mungkin ingin tahu kenapa dia dipanggil untuk bertemu seorang Duke sepertinya. Kenapa seorang Duke of Grafton ingin bertemu dengan seorang rakyat jelata? Banyak sekali pertanyaan berkecamuk di dalam pikiran Maria Morr. Gadis itu berharap bahwa dia datang bertemu Lord Grafton untuk mendapatkan keberuntungan, setidaknya dia berharap dan berpikir bahwa pria perkasa dan gagah di hadapannya sedang mencari juru masak. Tentu saja Maria akan langsung menerima tawaran itu tanpa ragu, karena sedari dulu dia sangat ingin mengubah nasibnya. Menjadi seorang juru masak seorang bangsawan akan lebih baik dibanding menjadi seorang juru masak di kedai kecil tempatnya bekerja saat ini. Tapi pria itu tidak mengatakan hal itu sama sekali. Bangsawan itu mulai bertanya padanya, dari pertanyaan remeh temeh hingga pertanyaan yang terlalu pribadi; seperti bagaimana kehidupannya sekarang, masa kecilnya, orang tuanya dan bahkan kasus penculikkan yang pernah terjadi pada dirinya sewaktu kecil. Maria Morr tidak tahu darimana Duke of Grafton mendapatkan informasi-informasi tentangnya, tapi gadis itu tetap menjawab segala hal dengan baik, karena masih berharap tawaran pekerjaan mungkin akan datang setelah proses mewawancarainya selesai. Lord tersebut terus tanya dan bertanya, tapi yang lebih sering ditanyakan oleh pria elegan itu adalah tentang masa penculikkannya; kapan hal itu terjadi, di mana kejadian itu terjadi, apa yang terjadi sewaktu penculikkan terjadi. Lord tersebut seperti ingin memastikan sesuatu. Maria pun berusaha menceritakan kejadian itu dengan rinci. Peristiwa itu terjadi sewaktu dia berumur tujuh tahun, saat berada di dalam keramaian pasar, dia diculik oleh seorang pria tua. Pria tua itu kemudian menyekapnya di sebuah tempat kotor dan bau, memintanya agar jangan macam-macam karena dia akan segera dikembalikan apabila kedua orang tuanya membayar sejumlah nominal kepada penculik tersebut. Padahal ayahnya hanya seorang tukang daging dan ibunya hanya seorang tukang cuci, Maria merasa pasti saat itu pria penculik tersebut salah menculik anak. Keberuntungan menyertai Maria kecil karena pria tua itu suka sekali minum dan mabuk, saat pria itu tidak waspada, Maria kecil berhasil kabur dan kembali ke rumah orang tuanya. Dan, pria penculik itu pun berhasil ditangkap karena Maria kecil ingat tempat penyekapannya. Duke of Grafton terlihat begitu puas dengan ceritanya, dan kemudian pria menawan itu kembali bertanya yang membuat Maria Morr mengernyitkan dahi. Pria itu bertanya apakah Maria adalah anak kandung keluarga Morr, apakah ibu dan ayahnya adalah ibu dan ayahnya yang asli. Maria hampir saja menyahut tajam mendengar hal tersebut, tapi dia berhasil mengendalikan dirinya. Lord itu berkata dia tak bermaksud merendahkan atau apapun, dia hanya ingin tahu karena dia saat ini membutuhkan informasi-informasi yang ada walaupun hanya sedikit. Maria tertawa pelan, berguyon, menawarkan diri untuk mengantar lord tersebut bertemu orang tuanya, terutama ibunya. Yang akan membuktikan sendiri apa Maria benar-benar anak keluarga Morr atau bukan. Dan Maria mengernyit saat lord tersebut menerima guyonannya sebagai usul, dia pun akhirnya mengantar lord pergi menemui orang tuanya. Dan setelah semua selesai, keberuntungan benar-benar datang kepada Maria Morr. Karena Duke of Grafton akhirnya menawarkan pekerjaan yang diidam-idamkannya. ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD