BAB 3. │KEPUTUSAN NIKA

1159 Words
Setelah berdebat dengan pikirannya semalam suntuk, itupun pikiran Nika sedang sinkron bila tidak mana mungkin ia bisa berpikir semalaman suntuk, apalagi pekerjaan yang di tawarkan Kirei semalam membuat Nika menjadi pertimbangannya soal gaji yang memang mawan Nika, kesempatan tak datang dua kali kan, jadi Nika harus memanfaatkan kesempatan ini dengan baik. Sebelum Nika menerima pekerjaan ini ia tentu tetap meminta pendapat dan saran dari orangtuanya, sebab semalam di room chat antara dirinya dan juga Kirei temannya itu mengatakan bahwa bekerja dengan Abangnya mengharuskan Nika menginap di rumah abangnya.  Meski begitu, Nika tak akan menceritakan soal dirinya dan abang kirei akan tinggal berdua saja meski kenyataannya memang begitu. Nika mendekati kedua orangtuanya yang tengah sarapan pagi itu, memberanikan dirinya mengatakan dirinya akan bekerja pada artis berharap semoga diberi restu dan dibolehkan. “Ma, Yah—Nika mau ngomong boleh?” “Ya ngomong aja Nik, kaya mau apa aja kamu.” “Nika mau kerja sama artis Ma, Yah—bolehkan? Gajinya lumayan dari gaji Nika di PT kemarin, bisa bantu pengobatan Ayah lagi, gimana?” “Harus artis ya Nik?” sang Mama bertanya. “resikonya besar, Nik—Mama takut kamu kenapa-napa, takut kamu diapa-apain sama itu artis.” “Ma, artis itu abangnya Kirei kok jadi enggak mungkin abangnya Kirei bakal ngapa-ngapain Nika, kalo dia apa-apain Nika nanti aku tebas kepalanya.” “Nika, dijaga omongnya!” sahut Ayahnya yang tak suka dengan cara bicara Nika. “Iya maaf, Yah—jadi pokoknya gitu dan nanti Nika disana enam hari kerja Ma, Yah. Sabtu malam Nika pulang.” “Pakai nginep segala, emangnya kerjaannya emang ngapain aja masak apa-apa mesti kamu yang ngurus, mandi juga kamu yang ngurusin?” sindir sang Mama. “Enggak gitu Ma, suka su’udzan aja ini ibu, pokoknya gitu kerjanya.” “Kamu itu mau kerja apa mau jadi istrinya? Segalanya mau diurusin kamu.” Ayahnya ikut menyahut namun masih dengan mata menatap ke layar tivi. Nika merengut kesal, begini orangtua dengan system kolotnya. Masak iya Nika jadi istri kenal aja baru nanti. “Jadi, bolehkam Ma, Yah—gajinya besar tahu, kan kalo enggak dimanfaatin sayang Ma, Yah.” “Awas aja kalo kamu pulang-pulang sambil nangis laporan kalo kamu hamil, Mama gantung kamu di ringin ujung jalan!” “Ma, kerja aja belum suka overthingking deh.” “Pokoknya awas aja!” “Iya Mama, iya—jadi Nika dibolehin nih?” Nika menatap kedua orangtuanya seperti menyakin kedua orangtuanya. “Ya udah sana, ngapain disini bikin lamarannya, malah masih disini.” Usir sang Mama. “Makasih Mama, Ayah.” girang Nika Lekas-lekas Nika masuk kembali ke kamarnya dan mengambil ponselnya untuk menghubungi Kirei sebagaimana ia setuju dengan tawaran pekerjaan dari Kirei. Sambungan telepon memang menyambung namun Kirei tak segera mengangkat panggilannya, saat penting saja temannya itu susah sekali mengangkat teleponnya saat tak sedang dicari saja keberadaannya sliwar-sliwer didepannya. Barui panggilan ke tiga Kirei baru mengangkat telepon Nika, pastikan Nika akan mengomeli sahabat baiknya itu karena sudah berani-beraninya tak menjawab panggilan disaat penting begini. “Hal—hallo—“ “Gila lo! Darimana aja, gue teleponin tiga kali baru lo jawab!” “Ah—eh sorry Nik, gue ta—tadi lagi sibuk.” “Sibuk ngapain lo? Sama Angga?” tebak Nika tepat. “lo ngapain sih Nik? Kaya orang lagi nganu aja lo?” “Ni—nik—ntar gue telepon balik, bye!” Siapa yang tidak kesal bila disaat dirinya membutuhkan Kirei sekali sayangnya sahabatnya itu sedang bersikap laknat padanya, ingatkan Nika untuk memarahi Kirei saat bertemu nanti. “Sialan! Gue dilupain kalo Angga pulang, awas lo ya kirei!” marah kesal Nika. “Daripada gue kesel gini dan menghabiskan tenaga gue—gue mau stalk abangnya kirei ah.” Tangan lincah Anika mulai berselancar di social media yang Nika miliki, memang jaman sekarang itu apa-apa serba mudah, si mesin pencarian segera menghasilkan gambar yang dicari Nika. “MasyaAllah—gue enggak salah mau kerja sama dia? Ganteng gini Tuhan..” ♣♣♣ Nika memberikan helmnya pada Kirei yang pagi itu mengantar Nika untuk menghadap abangnya yang kabarnya membutuhkan asissten pribadi baru karena Anna akan segera resign, sebelum itu Kirei sudah memberi tahu Rama selaku abangnya bahwa ia sudah menemukan asissten yang cocok untuk Rama, ya semoga saja Nika bisa mengikuti ritme Rama berkerja, setahu Kirei selama ini Nika memang tak banyak omong dan cerewet hanya saja suka menjawab perkataan yang menurutnya rak tepat ia dengar. Kirei mendahului langkah Nika untuk masuk ke rumah minimalis namun terasa nyaman itu, tak begitu mewah seperti rumah artis-artis pada umumnnya namun keasrian rumah ini membuat nyaman. Mata Nika tak lepas dari pemandangan rumah itu, terlihat ketat sih didepan ada security yang berjaga dan nanti dirinya akan tinggal disini. “Heh Nika! Ngapain lu disitu mulu, ayo masuk bang Rama udah nunggu lo dalam.” “Eh—iya—iya, sebentar.” mata Nika tak lantas diam begitu saja, dirinya kagum dengan rumah yang ternyata dalamnya super mewah ini, mana pernah dirinya masuk kedalam rumah mewah seperti ini bahkan serba canggih lagi, katakanlah Nika memang deso ya mau bagaimana lagi ia tak pernah singgah dirumah seperti ini, rumahnya saja –ya sudahlah tidak usah dijelaskan, para netijen pasti sudah tahu rumahnya dengan rumah si artis ini amat sangat berbeda jauuuhhh sekali. “Abang!” Rama tersentak atas panggilan yang baru saja dilayangkan padanya, Rama kepergok sedang b******u dengan seorang perempuan yang Kirei tahu adalah pacar abang sepupunya itu, biasalah artis tanpa wanita itu seperti sayuran tanpa garam, hambar. “Ganggu aja lo, kalo mau masuk ketuk pintu dulu kek.” kesal Rama. “Eh gimana mau ketuk ini pintu, kalo udah kebuka lebar begini—jadi orang baik kenapa sih Bang, itu bibir sama burung lo risi?” “Bacot!” kesal Rama kemudian netranya memberikan kode pada wanita didepannya itu untuk pergi. “Mana, temen lo, mau gue wawancarai langsung sama gue suruh tanda tangan.” “Nih—Nik masuk aja, dia udah jinak kalo dia macem-macem tending aja jimatnya dibawa itu.” Kirei sembari menunjuk harta masa depan Rama. “Lo keluar dan lo masuk.” “Gue tunggu diruangan tengah, oke.” Nika hanya mengangguk kaku. “Semangat, Nika!” Nika mendudukkan dirinya di depan Rama, tiba-tiba dirinya merasa ragu dengan pekerjaan ini karena kelakuan calon bosnya ini. Baru saja ia bertemu saja sudah disajikan dengan adegan yang tak senonoh didepan matanya, bagaimana nanti bila dirinya sudah benar-benar kerja disini—apakah nanti dirinya juga akan menjadi santapan laki-laki m***m di depannya ini. Kepalanya tak sadar menggeleng sendiri dengan tangan yang saling bertaut, memijat jarinya gugup. “Ngapain kamu geleng-geleng begitu? Pusing?” “Eng—enggak, Mas—eh Bang.” Rama mengangguk sembari menyiapkan kertas kontrak. “Kamu siap?” “Si—siapp.” “SIAP APA TIDAK!” bentak Rama dengan suara keras. Nika kaget dibuatnya hingga tersentak. “SIAP!” Rama menyunggingkan senyum smirknya. “Bagus.” ♣♣♣    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD