Bab 29

1213 Words
Setelah puas melihat, Neo akhir nya masuk ke dalam rumah mengikuti Jo. Sementara wanita tua itu mulai mengeluarkan isi lemari es dan menyalakan kompor untuk memasak, Neo hanya membantu memotong beberapa bahan-bahan kecil seperti wortel dan menyiapkan piring untuk mereka berdua. Bukan hanya itu, Neo juga diajarkan cara memakai pemanggang oleh Jo. Dengan arahan wanita tua itu, Neo memasukkan sisa roti-roti yang tidak habis mereka makan selam ke dalam sebuah wadah berbentuk lempengan persegi panjang yang di beri alas kertas alumunium. Setelah mengoleskan sedikit  mentega ke atas roti-roti tadi, Neo juga diajarkan mengatur suhu panas oven tersebut juga menghitung waktu lamanya dia memanggang. “Jo, ini wangi sekali.” “Benarkan! Sudah kubilang kalau menambahkan mentega itu lebih enak, tapi ... akan lebih enak lagi kalau menambahkan bawang putih di atasnya.” “Bawag putih? Kenapa roti harus pakai bawang putih?” “Haha ... kau akan tahu apa rasanya jika aku membuatkan itu untukmu besok pagi untuk sarapan.” “Benarkah?!” Jo mengangguk antusias. Dengan tawa dihiasi keriput tua, wanita itu benar-benar membuat Neo tidak seperti berada dengan orang lain. Setelah mengusak sedikit rambut Neo, Jo kembali pada masakan yang belum matang di atas kompornya. Dan untuk makan malam kali ini, dia memilih memasak sedikit brokoli dicampur dengan wortel, telur goreng dan beberapa roti yang Neo panggang dan sedikit daging yang masih dia miliki di lemari es. Biasa nya, semua makanan yang dia beli dari pasar setiap minggu akan habis sesuai dengan waktu yang dia gunakan untuk pergi ke pasar, tapi kali ini tidak. Makanan yang dia beli kemarin, sudah habis hari ini, dan besok pagi, sesuai janjinya, dia akan membuat roti bawang putih dari sisa makan malam mereka ini. Juga ... mereka akan pergi ke pasar setelah nya dan berharap hujan tidak akan turun lagi. Tidak seperti malam sebelum nya, Neo memakan makanan yang di berikan Jo dengan sangat lahap. Dia bahkan sesekali melontarkan percakapan singkat pada Jo dan di jawab antusias oleh wanita tua itu. Setelah menyelesaikan makan malam mereka, seperti biasa, Jo meminta Neo untuk pergi ke kamar nya dan tidur, namun kali itu ditolak oleh bocah beriris zamrud ini dan dia yang menggantikan Jo mencuci piring kemudian meminta wanita tua itu untuk duduk di salah satu bangku di ruang tamu. “Neo,” panggil Jo dari dalam kemudian di jawab dengan seridikit teriakan oleh Neo, awalnya memang sebuah teriakan namun detik selanjut nya pria kecil ini berlari masuk, menghampiri Jo yang sudah memegang sebuah buku di tangan nya. “Mau bacakan aku sedikit cerita?” Jo meminta seolah itu permintaan yang sangat mudah. Memang mudah, hanya saja jika Neo bisa membaca. Pria kecil itu menundukkan wajah nya, sungguh, Jo hanya meminta permintaan sederhana padanya, tapi dia tidak bisa melakukan itu karena dia memang tidak bisa membaca. Sepasang mata Neo bergerak gusar,  dia takut mengatakan kalau dia tidak bisa membaca di depan Jo, tapi dia juga tidak bisa menolak untuk semua kebaikan yang sudah dilakukan wanita itu padanya. Jadi ... dengan langkah yang sedikit ragu, Neo berjalan mendekat ke arah Jo. Mengulurkan tangan nya pada buku yang di berikan Jo padanya, dan meraihnya dengan tangan gemetar, sementara Jo hanya diam dan melihat bagai mana Neo meraih buku tersebut gemetar. Sambil mengigit bibir bawahnya, Neo mulai membuka buku itu dan mencoba membaca nya, terbata, dan kata yang terdengar hanya ba—bu—sa—a—saja. “Kenapa?” Tanya Jo setelah cukup lama menunggu Neo membacakan buku cerita bergambar serigala dan gadis berkedurung merah yang Jo berikan pada pria kecil itu. “Apa tulisannya terlalu sulit dibaca?” Tambah Jo untuk pertanyaan yang sama. Neo kembali mengigit bibir bawahnya, sebelum kemudian dia menurunkan buku itu dan menunduk takut di hadapan Jo. “Kau belum bisa membaca?” Jo menebak. Awalnya, Neo terlihat takut untuk mengakui, tapi ... dia tidak bisa mengatakan kalau dia bisa melakukannya sementara dia memang tidak bisa membaca walau hanya aljabar ringan. Selama ini, yang Neo lakukan hanya bertahan hidup. Hanya bekerja untuk mendapatkan makanan, dan tidak pernah terpikir olehnya untuk belajar membaca atau pun menulis. Karena menurut Neo, hal itu sama sekali tidak berguna selama dia bisa makan, itu sudah cukup tapi sekarang ... dia benar-benar malu karena tidak bisa membaca di depan Jo. “Ma—maafkan aku...,” ujar Neo takut. “Kenapa kau minta maaf?” “Ka—karena aku tidak—tidak bisa membaca.” Jo tidak merespon apa pun, dia hanya melihat bagai mana wajah Neo yang masih ketakutan sambil menatap ubin di bawah kaki nya. “Berapa umurmu?” “Tu—tujuh setengah tahun....” “Tujuh setengah tahun dan kau belum bisa membaca?” Mendengar kalimat itu dikatakan oleh Jo di hadapan nya, ketakutan Neo semakin menjadi. Dia mundur beberapa langkah ke belakang dengan wajah pucat seputih kapas. “Cucianmu di belakang sudah selesai?” Tanya Jo dan di jawab anggukan oleh Neo. “Kalau begitu, kau boleh mendekat kemari.” Ajak Jo dan tak mendapat bantahan apa pun dari pria kecil beriris zamrud itu. Bahkan saat Jo memintanya mengambil kursi dan sebuah meja untuk mendekat ke tempat di mana wanita tua itu duduk pun, Neo tetap menurut. Perlahan, Jo mulai mengajari Neo membaca, mengeja aljabar ringan, berulang-ulang hingga lidah Neo terbiasa. “Neo, pergilah tidur, besok kita lanjutkan lagi.” Jo memerintah karena saat dia melihat jam, ini sudah terlalu malam untuk tetap belajar. Melihat Jo yang berjalan tertatih, Neo menghentikan semua kegiatannya dan memilih memegangi tangan Jo yang susah payah hanya untuk berdiri pun. “Jo, aku antar ke kamar ya?” Neo menawari dan di jawab senyum oleh wanita tua itu. Dengan sangat pelan, Neo mengikuti alur langkah kaki milik Jo, pria kecil itu terus memegangi tangan penuh keriput milik Jo, memapah wanita tua itu menuju ke kamar nya di sisi lain ruang tamu. Setibanya di kamar, Neo bisa melihat kalau kamar Jo memang tidak jauh berbeda dengan kamar yang di berikan padanya di lantai dua. Hanya ada sebuah ranjang dengan kelambu berwarna putih dan peperangan yang sedikit lebih redup dari penerangan di ruang tamu. “Terima kasih banyak, Neo.” Ujar Jo setelah Neo membantunya duduk di atas ranjang. “Jo, kau mau segelas air?’ tanya Neo. “Tolong ya, karena tengah malam, aku sering merasa kehausan.” “Baik!” Neo kembali berlari ke luar kamar itu dan mengambil sebuah gelas daridapur, mengisinya dengan air dan menutupnya dengan tutup gelas yang juga dia dapatkan dari rak yang sama, setelah itu dia kembali lagi ke kamar Jo. “Jo, aku harus menaruh ini di mana?” “Kau bisa menaruh itu di atas nakas.” Ujar Jo sambil menunjuk ke arah nakas yang berada tepat di samping tempat tidurnya. Setelah menaruh gelas yang dia bawa, Neo kembali membantu Jo menyelimuti dirinya dan membuat wanita tua itu senyaman mungkin dengan itu. “Terima kasih banyak.” Ujar Jo setelah Neo selesai membantunya. Usai memastikan Jo nyaman, Neo menarik kelabu yang terpasang di tempat tidur itu dan merapatkannya sisi demi sisi sebelum meninggalkan Jo untuk tidur sendirian. Sementara Jo sudah mulai terlelap dan bermimpi indah, Neo kembali ke meja di mana dia belajar mengeja alphabet bersama Jo barusan. Dia terus mengucapkan sesuai apa yang diajarkan Jo padanya, meski masih harus bersusah payah, tapi Neo tetap belajar hingga tanpa sadar dia pun tertidur di sana dengan posisi tertelungkup. Paginya,  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD