Waiting Area 1

921 Words
[Kesempatan pun bisa kadaluarsa kalau kau tidak mengindahkannya.]  Sepulang kuliah Milka mampir ke rumah bibinya, Rina. Sepupunya yang rese, Edo, menyuruhnya segera datang untuk membantunya jadi juru ketik. Ada dua tugas kuliah Edo yang batas waktunya kurang dari 24 jam, tapi baru dikerjakan saat itu. Demi menghormati Rina, maka Milka tidak bisa menolak jika Edo meminta bantuannya. Selama ini Rina banyak membantu kekurangan biaya kuliah Milka, karena orang tua Milka tidak memiliki biaya yang cukup. Gaji ayah Milka sebagai pegawai keamanan hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan membayar kontrakan. Itu pun sebelum ayah Milka dirumahkan. Selain itu, Edo sering mengiming-imingi imbalan yang kelewat lumayan untuk diabaikan. Namun, dia jadi bersikap semena-mena terhadap Milka. Edo bukan satu-satunya sepupu Milka yang merepotkannya dengan tingkah bossy. Iya, ada satu lagi sepupu Milka yang bossy. Namanya Valia, dia adalah kakak Edo. Valia adalah seorang model dan saat ini dia sedang naik daun. Tadinya sih Valia tidak se-bossy Edo, tapi entah kenapa semenjak dia menjadi terkenal sifatnya berubah. Milka berjalan ke area samping rumah bibinya. Di beranda ada meja dengan empat kursi mengelilinginya. Tidak jauh dari sana ada kolam renang dan kursi panjang di sekelilingnya. Edo tengah bermalas-malasan di atas kursi itu sambil sibuk menatap ponsel. Dia menoleh sebentar, lalu kembali ke posisinya semula. “Jadi nggak sih? Malah rebahan.” “Bentar-bentar, gue balas pesan gebetan gue dulu.” “Lo udah punya gebetan baru lagi? Cepet banget.” Edo bangkit dari kursi, lalu menunjukkan foto seorang cewek. “Cakep nggak? Namanya Keiza.” “Biasa aja. Eh, tapi bukannya ini gebetan lo sebelumnya? Kayaknya gue pernah dengar-dengar lo nyebut nama Keiza.” “Bukan-bukan, itu Keira.” Milka berdecak. “Astaga, gebetan bertebaran di mana-mana. Mana namanya mirip lagi. Gue tahu lo ganteng, tapi nggak usah sok.” “Lo kalau mau ngomel ke Mak Lampir tuh. Baru putus dari chef udah dapat pengusaha. Nah, gue kan baru ngegebet, belum pacaran.” “Alasan lo. Eh tunggu, tadi lo bilang Kak Valia habis putus dari chef?” “Iya, mantannya itu chef restoran fine dining di Bali.” Milka mengatupkan tangannya. Sebuah ide brilliant mampir di kepalanya. “Kak Valia mana? Gue perlu ngomong sama dia.” “Di kamarnya. Memang ada perlu apa lo sama Mak Lampir?” Tanpa menjawab pertanyaan Edo, Milka langsung pergi menuju lantai dua. Edo menggerutu di belakang Milka, lalu mengekorinya. Ketika Milka tiba di kamar Valia, model papan atas itu sedang memakai masker sambil melihat-lihat majalah fashion. Milka mengetuk pintu yang sebenarnya sudah terbuka. Lalu dia masuk. “Hai Kak, lagi sibuk nggak?” “Nggak. Kenapa Mil?” “Aku boleh minta bantuan nggak, Kak? Ini mendesak banget. Aku dengar dari Edo Kak Valia punya mantan seorang chef di Bali ya?” Valia melepas maskernya. Dia mendelik kepada Edo yang berdiri di ambang pintu.  “Mil, ntar kalau udah selesai ke kamar gue ya. Kita kerjain tugas.” Edo melambai, lalu pergi ke kamarnya. “Terus apa hubungannya sama mantanku, Mil?” “Tolong rekomendasiin aku magang di sana, Kak. Please. Kalau aku cari restoran lain nunggu balasan lama, keburu semester baru dimulai.” Milka memasang wajah memelas. “Gila aja aku harus menghubungi Arthur. Aku nggak mau.” “Tapi yang mutusin Kak Valia kan, bukan siapa tadi? Arthur. Kak Valia nggak punya alasan buat malu, kan?” Wajah Valia tampak merah padam. “Pokoknya aku nggak mau. Kamu minta tolong orang lain aja.” Valia mengibas-ngibaskan tangannya seperti mengusir seekor lalat. Dengan bahu melorot Milka keluar dari kamar itu. Lalu, dia berjalan ke kamar Edo untuk menjadi juru ketik dadakan. *** Valia menuruni tangga dengan lemas. Wajahnya ditekuk, entah ada masalah apa. Meskipun dijuluki Mak Lampir oleh Edo, tapi dia tidak ‘seceria’ Mak Lampir yang sering tertawa. Setelah mencuci tangannya Valia bergabung dengan orang tuanya, Edo, dan Milka di meja makan. Menu makan malam hari itu adalah cumi yang dimasak dengan cabai hijau. Milka menikmati setiap suapan, rasanya sudah berabad-abad dia tidak makan seafood. Yah, hidupnya memang se-ngenes itu. “Kamu kenapa, Val? Kok cemberut? Terus itu kok makannya dikit. Mama kan udah masak banyak.” “Ma, Valia memang makannya dikit. Takut berat badannya naik.” Rina menyenggol lengan Edo. “Kak Valia,” katanya mengoreksi. Valia mendengus. “Aku lagi pusing cari asisten pengganti. Tadi tiba-tiba Mbak Mira menghubungi aku, dia kecelakaan. Sekarang dirawat di rumah sakit. Nggak tahu kapan pulih. Padahal minggu depan aku ada jadwal pemotretan di Bali, Ma.” “Aku bisa gantiin Kak Mira kok. Dulu aku juga pernah sekali jadi asisten dadakan Kak Valia, kan.” Valia tidak langsung menjawab. Dia menatap Milka dengan curiga. “Nah, gitu aja, Val. Sebentar lagi Milka juga libur, kan.” “Iya, Bi. Beberapa hari ini ke kampus cuma buat ngumpulin tugas pengganti ujian. Minggu depan udah libur semester kok, tapi aku juga harus magang. Kayaknya bisa sekali jalan kalau Kak Valia merekomendasikan aku ke chef kenalan Kak Valia di Bali. Gimana?” Valia mendengus. “Udah aku duga, kamu minta barter.” Rina menyenggol lengan Valia. “Itu ide yang bagus lho, Val. Beberapa hari Milka bantuin kamu, habis itu dia bisa lanjut magang. Kalau kamu cari asisten lain nanti nggak keburu. Kalau berangkat sendiri nanti repot.” Tidak ada pilihan lain, maka Valia setuju, walaupun dengan setengah hati. “Ok deh, aku bantu kamu buat ngomong ke chef itu.” “Cie, chef itu,” goda Edo. Valia mendelik “Ok deal ya?” Milka mengulurkan tangan, lalu dijabat dengan ogah-ogahan oleh Valia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD