Waiting Area 2

934 Words
[Permulaan tidak selalu mudah, bahkan mampu menumbangkan.]  Jam tujuh pagi Milka sudah sampai di rumah Rina. Dia membawa satu koper besar berisi pakaian dan barang-barang lainnya, serta satu ransel yang menggantung di pundaknya. Tidak banyak barang yang dia bawa, satu koper saja cukup. Kalau pakaiannya kotor semua masih bisa dicuci di binatu, jadi dia tidak ambil pusing. Ketika Milka memasuki ruang tamu matanya terbelalak, melihat tiga koper besar sudah berjajar rapi. Itu pasti milik Valia. Dia menerka bahwa satu koper berisi pakaian untuk tiga sampai empat hari. Baiklah itu berlebihan. “Sini Mil sarapan dulu,” ajak Rina. “Iya Bi.” Milka mengikuti Rina menuju ruang makan. Lalu, dia duduk di samping Edo yang masih setengah mengantuk. “Lho, Paman mana, Bi?” “Udah berangkat duluan, ada meeting.” Edo melirik Milka, mengamati wajahnya yang berseri. “Kayaknya excited banget mau ke Bali.” “Iya dong.” Milka mengisi piringnya dengan nasi goreng ditambah dengan telur mata sapi. “Gue sih udah bosan. Sering banget ke Bali.” “Sok banget sih. Lagian gue ke sana kan buat kerja. Ngomong-ngomong, apa kabar Keiza?” “Keiza? Siapa?” tanya Rina. Edo menyenggol kaki Milka. “Iya siapa sih?” Milka mendengus. “Anjing teman lo yang nggak sengaja lo tabrak itu lho, Do.” Mata Edo mendelik. “Hah? Kamu nabrak anjing, Do?” Rina terkejut. “Terus gimana?” “Oh itu... Aman kok Bunda, udah dibawa ke dokter.” Rina mengelus d**a. “Syukur deh.” Lalu dia berjalan menuju dapur untuk mengambil jus. Edo memutar badannya ke arah Milka. “Lo gila ya bahas tentang Keiza di depan Bunda?” “Lho, memang kenapa?” “Bunda tahunya aku masih sama Luna.” “Hah? Luna? Siapa lagi itu?” Milka yakin tidak pernah mendengar nama Luna atau mungkin Edo pernah menyebut nama cewek itu, tapi saking banyak cewek yang diceritakan oleh Edo dia jadi lupa. “Mantan gue setahun lalu yang pernah gue kenalin ke Bunda.” “Parah.” Milka berdecak. “Lo tuh yang parah. Masa lo bilang Keiza anjing.” “Terus gue mesti bilang kalau dia hamster?” “Ya nggak juga kali. Pokoknya kalau belum jelas gue pacaran sama Keiza, lo nggak boleh cerita-cerita soal dia.” “Iya-iya. Paling juga ntar nggak jadi lo tembak.” “Banyak aspek yang mesti gue pertimbangkan sebelum nembak cewek. Milka menggeleng-gelengkan kepala. “Pagi,” sapa Valia. Seperti biasa wajahnya sudah berbalut make up dan rambutnya sudah tertata rapi. Dia mengenakan dress terusan berwarna hitam dan scarf berwarna biru muda dililitkan di lehernya. Sepatu heels pun tidak pernah ketinggalan. “Pagi Kak,” kata Milka. “Lo mau ke bandara heboh banget,” Edo berkomentar. “Udah kayak jalan di catwalk aja.” “Biarin, sirik banget sih.” Valia beralih ke Milka. “Berangkat sekarang yuk! Nanti kita sarapan di bandara atau pesawat aja. Waktunya udah mepet nih.” Milka yang belum sempat menyentuh nasi goreng dihadapannya terpaksa mengikuti Valia yang sudah berjalan cepat menuju mobil. Tapi dia masih sempat menjitak kepala Edo. “Heh, k*****t lo, Mil!” *** Nyatanya Milka dan Valia sama sekali tidak sempat sarapan di bandara. Dengan perut menahan lapar Milka berbaris bersama penumpang lain untuk diperiksa boarding pass-nya. Sementara itu, Valia yang berbaris di depannya terlihat santai, seperti tidak kelaparan sama sekali. Entah lambungnya terbuat dari apa. Ketika telah menemukan tempat duduknya di pesawat, Milka merasa lega. Dia bisa segera mengambil makanan ringan yang sengaja dia siapkan sebelumnya. Lumayan untuk mengganjal perut sebelum para pramugari lewat untuk menawarkan makanan. Milka baru saja akan melahap chocolate bar, tapi Valia menyenggol lengannya. “Mil, tuh sabuk pasang dulu. Bentar lagi take off malah makan.” “Oh iya, soalnya aku lapar banget Kak.” Milka meringis selagi tangannya menyimpan chocolate bar ke dalam tasnya. Beberapa menit kemudian mereka sudah take off, tapi Milka tampak gelisah. “Kenapa sih, Mil?” “Pramugarinya kok nggak lewat-lewat sih Kak? Lama deh. Aku udah kelaparan.” Valia mengerutkan keningnya. “Sabar, bentar lagi juga lewat.” Milka hampir lupa dengan chocolate bar-nya. Lalu dia segera melahap makanan ringan itu dalam dua kali gigit. Buat Milka kalau yang namanya urusan perut sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Kasihan lambungnya kosong. Enzim-enzim dalam lambungnya menganggur. Terlebih Milka bakal sulit diajak mikir kalau kelaparan. Makanan di pesawat memang tidak seenak di darat, tidak tahu kenapa. Padahal bikinnya juga di darat. Yang jelas setelah diajak terbang makanan itu bakal lebih mahal. “Kak Valia nggak makan?” “Nggak.” “Katanya tadi mau sarapan di pesawat?” “Nih.” Valia menunjukkan semacam snack bar rendah kalori dan sebotol s**u kedelai. “Itu aja? Mana kenyang.” “Kenyang kok. Kamu tahu kan, aku ini model jadi mesti jaga pola makan, biar nggak naik berat badanku.” Milka mengunyah nasi padangnya yang dibungkus dalam wadah aluminium foil. Nasi padang yang jauh dari image porsi banyak. “Aku aja nggak kenyang makan nasi padang.” Dia mengamati wadah kotak yang teramat kecil. “Ini kayaknya sepertiga dari porsi asli kalau makan di darat deh.” “Ya ampun, jadi cewek jangan rakus. Cowok itu suka sama cewek anggun. Kalau kayak gini gimana kamu mau punya pacar.” “Duh Kak, apa hubungannya doyan makan sama anggun. Nggak nyambung ah. Lagian aku juga masih pengin sendiri kok.” “Ada dong. Cewek anggun itu kalau makan nggak menggebu-gebu kayak kamu.” Valia mengamati Milka yang melahap tiap sendokan nasi padang dengan cepat. “Nggak peduli,” jawab Milka dengan mulut penuh makanan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD