Bab: 6. Berbeda
Paginya, Elena terbangun dengan perasaan asing.
Matanya perlahan terbuka, namun seketika ia memicingkan mata saat cahaya pagi menerobos masuk melalui celah tirai dan menusuk penglihatannya.
Refleks, ia mengangkat tangan untuk menutupi wajah namun gerakannya terhenti.
Selang bening terpasang di punggung tangannya.
Infus.
Elena terdiam, menatapnya beberapa detik dengan napas tertahan, hingga suara lembut memecah kebingungannya.
“Selamat pagi, Nyonya Elena.”
Seorang pelayan wanita berdiri di sisi ranjang, sikapnya sopan dengan senyum tipis yang terjaga.
“Em … pagi,” sahut Elena pelan.
Suaranya serak, tenggorokannya terasa kering dan perih, seolah lama tidak digunakan untuk berbicara.
“Silakan nikmati sarapannya, Nyonya,” lanjut pelayan itu sambil menunjuk meja kecil di samping ranjang yang telah tertata rapi.
“Jika Anda membutuhkan sesuatu, katakan saja pada kami.”
Elena tidak langsung menjawab.
Ia duduk perlahan, punggungnya bersandar pada sandaran ranjang, sementara pandangannya kembali tertuju pada infus di tangannya.
“Semalam Nyonya pingsan,” ujar pelayan itu kemudian, seolah membaca kebingungan di wajah Elena.
“Tuan Damian memerintahkan Dokter Keluarga untuk memeriksa kondisi Nyonya.”
Elena menoleh cepat.
“Dokter keluarga?” tanyanya, nada suaranya terdengar semakin bingung.
“Iya, Nyonya,” jawab pelayan itu mengangguk.
“Sangat jarang Tuan Damian memanggil Dokter Keluarga untuk memeriksa seseorang di mansion ini. Hal itu… cukup mengejutkan bagi kami semua.”
Elena tertegun.
Kata-kata itu berputar di kepalanya, menimbulkan perasaan asing yang sulit ia jelaskan.
Damian… memanggil dokter untuknya?
“Ah… baiklah. Terima kasih,” ucap Elena akhirnya, meski pikirannya masih penuh tanda tanya.
Pelayan itu lalu mendekat, menyodorkan sebuah nampan berisi sarapan yang tampak begitu menggugah selera roti hangat, sup bening dengan aroma lembut, buah segar, dan segelas s**u hangat.
“Silakan dimakan, Nyonya,” ujar pelayan itu dengan nada sedikit lebih serius. “Semua ini atas perintah langsung Tuan Damian. Kami akan menerima hukuman jika Nyonya tidak menghabiskannya.”
Lagi-lagi Elena terdiam.
Ia menatap makanan itu cukup lama, matanya menyusuri setiap hidangan yang tersaji dengan rapi.
Makanan-makanan yang selama ini hanya ia lihat dari balik etalase atau gambar di majalah.
“Melihat wujudnya saja … baru kali ini aku benar-benar melihat makanan seperti ini dari dekat,” batin Elena lirih.
Setelah selesai sarapan, Elena menurunkan tatapannya pada tangannya sendiri.
Selang infus itu masih terpasang, terasa mengganggu setiap kali ia menggerakkan jari-jarinya.
Ia menghela napas pelan, lalu menoleh pada pelayan yang berdiri tak jauh darinya.
“Aku ingin melepas infus ini. Tolong bantu aku,” ucapnya dengan nada ragu.
Pelayan itu tampak terkejut. Ia menatap infus di tangan Elena, lalu kembali menatap wajah Elena dengan ekspresi bimbang, seolah takut mengambil keputusan sendiri.
“Saya … saya harus meminta izin kepada Tuan Damian terlebih dahulu, Nyonya,” ujarnya akhirnya. “Mohon tunggu sebentar.”
Elena terdiam.
“Minta izin kepada Tuan Damian?” batinnya bertanya-tanya.
“Memangnya aku ini siapa? Sejak kapan seorang tawanan atau sekadar jaminan hutang harus diperlakukan seperti ini?”
Kebingungan itu semakin menekan dadanya.
Tak lama kemudian, sekitar lima menit berselang, pintu kamar kembali terbuka. Seorang dokter masuk bersama pelayan yang tadi, langkahnya tenang dan profesional.
“Selamat pagi, Nyonya Elena,” sapa dokter itu sambil memeriksa peralatan medis.
“Saya datang untuk memeriksa kondisi Anda sekali lagi.”
Elena hanya mengangguk pelan.
Ia diam, namun pikirannya berkecamuk antara rasa bingung, curiga, dan pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban. Mengapa ia diperlakukan seolah-olah begitu penting di mansion ini?
Setelah beberapa pemeriksaan singkat, dokter tersenyum tipis.
“Keadaan Anda sudah jauh membaik, Nyonya,” katanya.
“Infusnya sudah tidak diperlukan lagi.”
Dengan hati-hati, dokter itu melepaskan jarum infus dari punggung tangan Elena. Rasa perih kecil menyusup, namun segera menghilang.
“Pastikan Anda banyak beristirahat dan tidak melewatkan waktu makan,” pesan dokter itu sebelum beranjak pergi.
Tak lama setelahnya, kamar kembali sunyi.
Elena memijat pelan bekas infus di tangannya, lalu menoleh pada pelayan yang masih berdiri di sana.
“Di mana Tuan Damian?” tanyanya spontan.
“Tuan sudah berangkat ke kantor, Nyonya,” jawab pelayan itu sopan.
“Namun sebelum pergi, beliau berpesan agar Nyonya tidak melakukan terlalu banyak aktivitas dan tetap berada di dalam mansion untuk sementara waktu.”
Sekali lagi, Elena terdiam.
Pesan itu terdengar seperti perhatian…
namun juga terasa seperti sebuah perintah yang tak bisa ia tolak.
“Kenapa dia peduli sejauh ini?” batin Elena.
“Bukankah aku hanya… jaminan hutang?”
Sekitar pukul 08.00 pagi, Elena turun dari lantai tiga menggunakan lift.
Ting …
Pintu lift terbuka perlahan. Elena melangkah keluar dengan wajah tenang, meski matanya masih menyimpan sisa kelelahan.
“Oh, astaga. Akhirnya dia bangun juga. Dasar pemalas,” sindir Jennie, sambil menyenggol Pretty dengan sengaja.
“Iya,” sambung Maria dengan senyum sinis.
“Baru dua malam tinggal di sini, tapi tingkahnya sudah seperti nyonya besar rumah ini.”
Elena mendengar ucapan itu, namun memilih tidak menggubris.
Ia melangkah mantap menuju dapur.
Di sana, beberapa pelayan terlihat sibuk dengan pekerjaan mereka. Begitu melihat Elena, mereka langsung berhenti dan menatapnya penuh hormat.
“Katakan saja apa yang Nyonya inginkan,” ujar salah seorang pelayan. “Biarkan kami yang mengerjakannya.”
Elena menggeleng pelan.
“Tidak. Aku ingin membuatnya sendiri.”
Ucapan itu justru membuat para pelayan saling berpandangan dengan wajah tegang.
“Mohon jangan lakukan itu, Nyonya,” sahut pelayan lain dengan cemas.
“Jika Tuan Damian tahu kami membiarkan Nyonya menyentuh pekerjaan dapur, kami bisa dihukum.”
Elena terdiam.
Lagi-lagi ia dibuat bingung oleh aturan yang terasa berlebihan.
“Baiklah,” ucapnya akhirnya.
“Aku ingin kopi cokelat. Aku akan menikmatinya di tepi kolam renang belakang.”
Pelayan itu mengangguk cepat.
“Elena tidak perlu menunggu lama, Nyonya.”
Elena pun melangkah menuju kolam renang belakang. Udara pagi terasa sejuk, angin berembus lembut, dan pantulan cahaya matahari di permukaan air menciptakan suasana yang menenangkan.
Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan dirinya menikmati ketenangan sesaat itu.
Sebenarnya, Elena ingin menjelajahi bagian lain dari mansion tersebut. Namun bangunan itu terlalu luas dan megah, sementara ia belum menghafal letak setiap ruang di dalamnya.
“Oh … ternyata kamu ada di sini.”
Suara itu membuat Elena menoleh.
Pretty datang bersama Maria dan Jennie, ketiganya berdiri dengan tangan bersedekap, tatapan mereka penuh tekanan.
Elena menghela napas pelan.
“Aku hanya ingin menikmati suasana pagi,” ucapnya tenang.
“Tolong jangan menggangguku.”
Pretty menatapnya tajam, rahangnya mengeras.
“Kau berani sekali menjawabku,” desis Pretty.
“Anda berbicara padaku,” sahut Elena dengan nada datar.
“Tentu saja aku menjawab.”
Tak lama kemudian, seorang pelayan datang membawa nampan berisi secangkir kopi cokelat hangat dan sepotong kue kecil.
“Nyonya, ini kopi cokelatnya,” ujar pelayan itu sopan.
Wajah Pretty seketika berubah gelap.
“Siapa yang menyuruhmu melayaninya?” bentaknya.
“Kami hanya menjalankan perintah Tuan Damian,” jawab pelayan itu dengan suara bergetar.
Ucapan itu seperti menyiram minyak ke api.
Pretty, Maria, dan Jennie semakin dipenuhi rasa iri dan cemburu.
Perhatian yang Damian berikan kepada Elena terasa terlalu berbeda sesuatu yang tak pernah mereka dapatkan selama bertahun-tahun berada di mansion itu.
“Letakkan saja di meja,” ujar Elena tanpa menoleh.
“Aku akan menikmatinya.”
Pelayan itu segera menuruti, lalu pergi dengan langkah cepat, meninggalkan suasana yang semakin menegang.
Pretty menatap Elena tajam, seolah ingin menerkamnya.
“Sepertinya kau belum puas dengan pelajaran yang kami berikan kemarin,” ujar Jennie dengan senyum miring.
“Apa yang kalian berikan bukan pelajaran,” jawab Elena tenang, meski matanya menyiratkan keteguhan.
“Itu penyiksaan.”
Pretty melangkah maju satu langkah.
“Kau berani menjawab kami?” sentaknya.
Elena mengangkat wajahnya, menatap Pretty tanpa gentar
dan untuk pertama kalinya, Pretty melihat bahwa gadis itu tidak selemah yang ia kira.
Tiba-tiba ...,
Brugh!
Tubuh Elena didorong keras hingga ia tersungkur ke lantai dingin. Belum sempat ia bangkit, Pretty menginjak jemari Elena dengan sepatu hak tinggi yang runcing.
“Argh …!”
Elena meringis hebat, rasa nyeri menjalar hingga ke lengannya.
“Kau berani sekali menguji kesabaranku,” ujar Pretty dengan suara rendah penuh amarah.
Pretty semakin puas ketika melihat darah segar mulai mengalir dari sela-sela jari Elena yang terinjak. Senyum kejam terbit di bibirnya.
“Argh … tolong … ini sakit sekali …”
Elena berusaha bangkit, namun tubuhnya kembali ditahan kuat oleh Jennie dan Maria, masing-masing mencengkeram lengannya tanpa belas kasihan.
“Aku yakin setelah hari ini, kau takkan berani lagi melawanku,” ucap Pretty dingin.
Pandangan Pretty lalu tertuju pada secangkir cokelat panas di atas meja. Uap tipis masih mengepul dari permukaannya. Perlahan, ia mengangkat cangkir itu.
Senyumnya melebar.
Dan ...!
“Arghhh…!”
Jeritan Elena menggema saat cokelat panas itu tumpah tepat mengenai tangan Elena yang terluka. Rasa perih luar biasa membuat tubuhnya bergetar. Telapak tangannya memerah, kulitnya terasa terbakar.
Pretty, Jennie, dan Maria tertawa puas, suara mereka menggema di udara pagi yang seharusnya tenang menikmati penderitaan gadis yang kini terkapar tak berdaya di hadapan mereka.