Malam pun tiba tanpa suara. Lampu-lampu kristal di mansion milik Damian telah diredupkan, hanya menyisakan cahaya temaram yang jatuh di sepanjang koridor mansion.
Semenjak insiden di kolam renang tadi siang, Elena sama sekali tidak keluar sedikit pun dari kamar. Ia hanya bertahan dengan air minum yang tersedia. Perutnya kosong, tubuhnya lemah, tetapi ia menahan semuanya sendiri.
Pukul 12.30 malam, pintu utama mansion terbuka. Damian baru saja pulang entah dari mana hanya ia sendiri yang tahu.
Langkahnya mantap, dingin, dan penuh wibawa, sebuah aura yang membuat siapa pun di sekitarnya menunduk tanpa diperintah.
“Kau baru pulang?” suara Pretty terdengar manis.
Pretty yang sudah menunggu sejak tadi langsung bangkit dari sofa dan menyongsongnya seperti istri menyambut suami pulang. Dandanannya sempurna, bibirnya merah menyala, seolah berharap Damian akan menoleh kepadanya.
Damian tetap melangkah, bahkan tidak mengubah arah tatapannya. Ia melewati Pretty seperti melewati udara kosong sikapnya memang selalu begitu, tak mudah tersentuh.
Pretty mengejarnya dalam beberapa langkah kecil.
“Damian … seharian ini gadis itu tidak keluar kamar,” ujarnya sambil memasang wajah prihatin palsu, seolah ia pikir Damian tidak mengetahui apa yang telah ia lakukan pada Elena tadi siang.
“Dia sungguh tidak berguna,” lanjut Pretty.
Damian tetap diam, tetapi hal itu justru membuat Pretty semakin berani.
“Dia terlalu manja. Baru satu malam di sini tetapi sikapnya seperti seorang permaisuri sifatnya mau menang sendiri.”
Damian berhenti mendadak.
Pretty terkejut, hampir saja menabrak punggung Damian.
Tanpa menoleh, Damian melangkah ke arah lift yang akan membawanya ke lantai 3 lantai khusus miliknya dan tempat Elena berada.
“Damian …” Pretty kembali mencoba memanggilnya dengan suara yang lebih manis.
“Berhenti. Jangan melewati batasmu sebagai b***k pelunas hutang.”
Suara Damian rendah, tajam, menusuk langsung ke harga diri Pretty.
Pretty membeku, wajahnya memucat.
Dalam hati, ia menggeram marah dan cemburu yang membakar.
“Mengapa begitu sulit menyentuh hatimu, Damian?”
Ia sudah 3 tahun berada di mansion itu. Tiga tahun melakukan segala cara untuk mendekat, namun Damian tetap seperti tembok es.
Sementara gadis baru bernama Elena baru satu malam, dan Damian sudah menempatkannya di lantai 3 tempat yang tak pernah bisa diinjak oleh Pretty ataupun wanita lain, sementara yang lainnya ditempatkan di lantai dasar bersama para pelayan.
“Da-Damian … a-aku hanya …,”
“Kembali ke kamarmu atau aku akan melemparmu keluar dari mansion ini sekarang juga.”
Nada suara itu membuat seluruh tubuh Pretty menegang.
Pretty mengatupkan bibir, menahan napas, menahan malu, menahan amarah yang hampir meledak. Ia menunduk dalam, tahu dirinya kalah.
Damian tidak memberi kesempatan kedua. Tanpa sedikit pun menoleh, ia melangkah masuk ke lift. Pintu listrik tertutup perlahan. Pretty hanya berdiri di sana, menghitamkan hati dengan rasa iri.
-----
Damian melangkah menyusuri lorong lantai 3 yang sunyi. Lampu gantung memberi cahaya lembut, memantulkan bayangan panjang di sepanjang dinding. Ia hampir tiba di pintu kamarnya ketika langkahnya terhenti.
Damian menoleh, menatap pintu kamar Elena yang tertutup rapat gelap, sepi, seolah tak berpenghuni.
“Benarkah dia tidak keluar seharian?”
Pertanyaan itu muncul tanpa ia sadari.
Untuk beberapa detik Damian hanya berdiri di sana, menatap pintu itu seperti sebuah teka-teki yang tidak ia mengerti. Sadar atau tidak, saat ini sebuah rasa di dalam dirinya mendorongnya untuk mendekat sesuatu yang tidak biasa ia rasakan.
Tanpa ia sadari, kini ia sudah berdiri tepat di depan pintu kamar Elena. Ragu, dilemma … seolah ia sedang mempertimbangkan apakah wajar seorang Damian seorang mafia kejam yang tak tersentuh menatap pintu seorang gadis yang ia paksa tinggal di mansionnya sebagai jaminan hutang dari pria tua bernama Dante.
Akhirnya, Damian memutar gagang pintu dan masuk.
---
Ruangan gelap, hanya ditemani lampu kecil di samping ranjang yang menyala redup. Di atas tempat tidur, selimut tebal menutupi tubuh mungil Elena sepenuhnya.
“Apakah dia tidur?” tanyanya dalam hati.
Damian mendekat perlahan, namun saat ia semakin dekat, napasnya tertahan.
Wajah Elena tampak pucat, rambutnya masih lembap bekas air as if tubuh itu tidak sempat mengering sejak kejadian tadi siang.
“Dia sangat pucat … apa dia sakit?”
Damian menunduk, menahan napas saat tangannya terangkat ragu-ragu mendekati pipi Elena.
Deg …
Panas. Bukan hangat. Panas tinggi yang membuat Damian hampir tersentak.
“Dia demam…!” gumamnya tak percaya.
Ia menepuk pipi Elena perlahan, suaranya berubah lebih lembut dari sebelumnya.
“Elena … bangunlah.”
Tidak ada reaksi. Mata itu tetap terpejam.
“Hei, Elena. Apa kau mendengarkanku?” suaranya lebih tegas, diiringi dengan rasa panik yang tanpa ia sadari.
“Astaga …”
Tanpa menunggu lagi, Damian mengambil ponselnya dan menelepon pelayan di lantai dasar.
“Cepat kemari dan bawa kotak P3K serta dokter pribadi. Sekarang!”
Nada suaranya menggema keras bukan karena marah, tapi karena panik yang berusaha ia sembunyikan.
Ia menutup telepon dan kembali duduk di tepi tempat tidur, menatap gadis di depannya. Elena tidak sadar.
-------
Damian berdiri di sisi ranjang, menyaksikan dokter pribadi keluarga yang sedang menusukkan jarum infus ke pergelangan tangan Elena yang lembut dan dingin.
Setelah infus terpasang, dokter menarik napas berat dan menatap Damian dengan penuh hati-hati.
“Tuan … lambung Nona Elena tampak kosong. Sepertinya seharian ini Nona Elena tidak menyentuh makanan sejak pagi. Tubuhnya mengalami dehidrasi, demam tinggi, dan kelelahan berat.”
Ucapannya membuat aura ruangan berubah seketika.
Damian menoleh pada para pelayan yang berdiri berbaris.
“Apa kalian tidak mengantarkan makanan untuknya?”
Nadanya rendah namun penuh tekanan mematikan.
Para pelayan itu gemetar. Salah seorang pelayan wanita maju setengah langkah, memberanikan diri menjawab.
“Kami ingin mengantarkan, Tuan … tetapi Nyonya Pretty, Maria, dan Jennie menahan kami agar tidak mengantarkan makanan kepada Nona Elena.”
Suasana hening … dan seketika Damian menundukkan kepala sedikit, mendengar nama-nama itu sebuah aura mengerikan muncul dari tubuhnya.
Dokter pun menelan ludah, merasakan tekanan hawa dingin itu.
Damian mengangkat kepalanya dengan tatapan membunuh.
“Mereka menahan makanan?”
Semua pelayan langsung berlutut.
“Tuan … kami tidak bisa melawan. Mereka selalu mengancam akan melaporkan kepada Anda jika kami berani membangkang, kami selalu dituntut untuk tunduk pada mereka.”
Damian berdecak dingin, pendek, tanpa emosi tanda bahwa ia sangat marah.
“Berani sekali mereka …” gumam Damian, membuat ruangan seakan kehilangan oksigen.
Ia menatap Elena lagi. Wajah pucat, tubuh menggigil lemah, infus menetes perlahan.
“Mulai sekarang, kalian semua tidak boleh ada satu pun yang berani mengikuti perintah mereka. Jika Jenie, Pretty dan Maria meminta kalian melakukan sesuatu, maka biarkan mereka melakukannya sendiri.”
Para pelayan itu mengangguk cepat.
Damian menatap Elena sekali lagi…
“Kenapa tubuhnya begitu lemah … dan … kenapa dengan aku? Kenapa aku harus peduli padanya?”
sadar atau tidak, rasa perduli itu semakin kuat ketika melihat video Elena yang hampir saja tenggelam dalam kolam akibat ulah Pretty, Maria dan Jennie.