Bab 2

1058 Words
"VINELIA!" Teriakan menggema itu membuat semua perhatian para tamu undangan malam itu teralih. Mereka kompak mencari sumber suara termasuk pria yang sejak tadi berbincang dengan para tamu pentingnya. "VINELIAA!" Teriakan itu kembali terdengar. Pria yang selalu dikenal keras kepala dan berdarah dingin itu terlihat semakin kebingungan. Matanya sibuk mencari orang yang dia percaya namun keduanya sama sekali tidak terlihat. "Bos." Rama menghampiri Lagaskar dengan langkah tergesa. Napas pria itu terlihat memburu. Para tamu undangan malam itu terlihat masih mencoba mencari tahu apa yang terjadi. "Apa yang terjadi?" Lagaskar menatap Rama dengan mata berkilat. Rama membisikkan sesuatu pada Lagaskar. Rahang pria itu langsung mengeras. Dia berlari meninggalkan kerumunan. Tidak peduli apa yang akan dikatakan oleh orang-orang nanti. Tidak peduli headline berita esok hari. Lagaskar ingin melihat Vinelia. "Bagaimana bisa terjadi?" tanya Lagaskar melihat sosok Vinelia yang sudah tidak sadarkan diri di ujung tangga. "KATAKAN PADAKU BAGAIMANA HAL SEPERTI INI BISA TERJADI?" Tanya Lagaskar. Pria itu menghampiri Vinelia. Dia memeluk Vinelia sebelum membawa wanita itu ke dalam gendongannya. "APA LAGI YANG KALIAN TUNGGU, SIAPKAN MOBIL!" Awan dan Rama mengangguk. Lagaskar berulang kali memanggil nama Vinelia namun tidak ada jawaban apapun dari wanita itu. Vinelia tetap menutup matanya. "Bos." Rama berdiri tepat di samping Lagaskar setelah Vinelia masuk ke dalam ruang gawat darurat untuk mendapatkan penanganannya dari dokter. Lagaskar menatap Awan dan Rama tajam. Rahang pria itu terlihat semakin mengeras. "Kenapa?" tanya Lagaskar. Suara pria itu sangat rendah namun terdengar sangat menakutkan. Awan dan Rama menunduk. Mereka sudah tahu apa resikonya. "Kenapa kalian membiarkan Vinelia jatuh?" Masih dengan nada suara yang sama namun sekarang kedua tangan Lagaskar mengepal di kedua sisi tubuhnya. "KENAPA?" Awan dan Rama memilih diam bahkan ketika Lagaskar menonjok pipi mereka. Tidak ada gunanya melawan Lagaskar. Pria itu tetap tidak akan melepaskan mereka. "Keluarga pasien?" Lagaskar langsung mengikuti langkah dokter. Awan dan Rama mengusap pipi mereka dan menatap lurus ke ruang gawat darurat. "Bagaimana keadaan istri saya?" Lagaskar bukan orang yang suka berbasa-basi. Lagaskar bukan orang yang bisa menunggu. Lagaskar hanya menerima segala sesuatu yang pasti. "Ibu Vinelia mengalami benturan di kepala dan perut." "Lalu?" Lagaskar menatap dokter itu sangat tajam. Pria itu seolah tidak memberikan waktu untuk dokter itu bernapas. "Ibu Vinelia mengalami keguguran." Lagaskar terdiam. Tidak lama setelah itu Lagaskar terkekeh. "Apa? Coba katakan sekali lagi!" Nada suara Lagaskar naik. Pria itu berdiri dari tempat duduknya dan mencekal kerah baju dokter. "KATAKAN SEKALI LAGI!" Lagaskar sudah dikuasai oleh emosinya. Dokter itu melepaskan tangan Lagaskar dari kerah bajunya. "Ibu Vinelia mengalami keguguran. Butuh waktu untuk menunggu dia pulih. Untuk benturan di kepalanya. Kami akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut." Dokter itu. meninggalkan Lagaskar yang masih terdiam. "Keguguran?" Lagaskar terkekeh. Terlihat sangat menakutkan. Pria itu melangkah ke luar ruangan. Awan dan Rama langsung mendapatkan tonjokan lagi. Lagaskar menghajar mereka sampai keduanya memohon minta di lepaskan. "Lagaskar!" seru Awan. Lagaskar berhenti. Dia berdecih pelan. Dia mengusap wajahnya dan menyandarkan tubuhnya di tembok. "Vinelia keguguran." Awan dan Rama tertegun. Tubuh keduanya terlihat sangat kaku. "Dimana Vinelia?" tanya Lagaskar. Pria itu terlihat sangat linglung. "Vinelia sudah di pindahkan ke ruang rawat. Ikut aku," ucap Awan. Lagaskar mengangguk. Dia mengikuti Awan. Rama memilih pergi untuk mengurus urusan administrasi dan berbagai urusan lain yang harus dia selesaikan malam ini. *** Langkah Lagaskar terhenti di ujung pintu. Matanya tidak lepas sedikitpun dari seorang wanita yang terbaring di ranjang rumah sakit dengan berbagai peralatan medis yang menempel di tubuhnya. "Awan, selesaikan semua masalah malam ini dengan cepat. Cari tahu penyebab Vinelia jatuh di tangga. Jangan sampai berita ini menyebar luas." Awan mengangguk. Dia langsung meninggalkan ruang rawat Vinelia. Lagaskar melangkah mendekat. Matanya terpaku pada wajah pucat Vinelia. "Vinelia, bangun," ucap Lagaskar. Tatapan pria itu tidak lepas sedikitpun dari Vinelia. Mata Lagaskar terlihat memerah. Entah karena menahan emosi atau justru karena dia ingin menangis. "Vine, bangun!" Lagaskar mengatakan kalimat itu berulang kali sampai akhirnya dia terduduk di kursi dengan tangan yang menggenggam tangan Vinelia dengan sangat erat. "Vinelia, bangun!" Lama kelamaan suara Lagaskar terdengar seperti permohonan. Semakin lama suara pria itu terdengar semakin lirih. Vinelia Andromeda. Orang yang Lagaskar temui saat berada di Universitas. Vinelia satu-satunya orang yang sejauh ini tidak menyerah padanya. Vinelia adalah orang yang selalu menemani Lagaskar. "Vinelia, bangun. Kamu sudah berjanji akan melakukan apapun yang aku minta. Sekarang aku meminta kamu bangun. Vin, bangun." "Vinelia, kamu benar-benar tidak ingin melakukan apa yang aku minta? Kamu tahu hukumannya bukan?" Namun sebanyak apapun ancaman yang dikatakan oleh Lagaskar malam itu. Vinelia kali ini tidak menurut. Wanita itu tetap memejamkan matanya. Mengabaikan permintaan rajanya yang selama ini tidak pernah dia tolak. "Vinelia. Kamu tahu hukumanmu ketika mengabaikan ucapanku, bukan? Buka mata atau aku akan menciummu sampai kehabisan napas atau aku akan menggelitiki sampai kamu memohon minta di lepaskan," ucap Lagaskar. Pria itu mencium tangan Vinelia berulang kali. Lagaskar Prabaswara tidak pernah takut pada apapun. Bahkan pada kehilangan karena Lagaskar bahkan bisa menghabisi nyawa siapapun dengan jari telunjuknya. Namun Vinelia. Lagaskar hanya ingin melihat wanita ini sepanjang hidupnya. "Lagaskar." Suara lembut itu membuat Lagaskar mengangkat wajahnya. "Aku panggil dokter," ucap Lagaskar namun Vinelia menggelengkan kepalanya. Wanita itu menggenggam tangan Lagaskar erat. "Lagaskar, gimana anak kita? Dia baik-baik saja, kan?" tanya Vinelia. Sebelah tangan wanita itu mengusap perutnya dengan lembut. Lagaskar mematung. Pria itu mengalihkan tatapannya dari Vinelia. Lagaskar bahkan tidak memiliki keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya pada Vinelia. "Lagaskar, jawab aku. Dia baik-baik aja, kan?" Lagaskar menghela napas nya. Pria itu juga mengeratkan genggaman tangannya pada Vinelia. "Lagaskar, jawab aku. Aku tanya. Dia baik-baik saja, kan?" Vinelia kembali mengulang pertanyaannya. Lagaskar menggelengkan kepalanya pelan. Bibir pucat Vinelia perlahan terlihat bergetar. Tatapan Vinelia terlihat penuh dengan luka. "Lagaskar katakan sesuatu. Katakan kalau dia baik-baik saja. Katakan!" seru Vinelia. Lagaskar menggelengkan kepalanya, "dia pergi, Vinelia," ucap Lagaskar. Vinelia? Wanita itu tangisnya pecah. Dia menggelengkan kepalanya berulang kali. "Lagaskar, kamu pasti bohong. Kamu pasti bohong sama aku. Bilang kamu bohong!" seru Vinelia. Wanita itu menangis sejadi-jadinya. Lagaskar bergerak untuk memeluk Vinelia. Memeluk wanita itu dengan sangat erat. "Lagaskar, dia nggak mungkin pergi ninggalin kita, kan? Dia nggak mungkin pergi kan? Lagaskar kita belum pernah lihat dia. Kita belum pernah ketemu dia." Vinelia terus menangis. Wanita itu terdengar sangat putus asa. "Vinelia, dia pergi. Dia sudah pergi. Jangan menangis lagi," ucap Lagaskar. Dia tetap berusaha menenangkan Vinelia namun wanita itu menolak. "Lagaskar, dia nggak mungkin pergi. Dia nggak mungkin pergi meninggalkan kita." Malam itu harapan dua orang hancur. Hati mereka berantakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD