Malam semakin menggulita, menelan cahaya dan menyisakan kesunyian. Hujan sudah mulai reda, namun masih terdapat rintikan kecil disertai badai petir. Semua lampu juga masih padam.
Safira memberanikan diri untuk keluar kamar. Ketika ia membuka pintu, matanya disuguhkan dengan kegelapan. Hanya bermodalkan senter ponsel, ia menyusuri lorong kamar yang gulita.
Safira bergerak menuju lemari tempat menyimpan barang-barang. Terdapat beberapa bungkus lilin di dalam lacinya. Ia mengambil lilin itu dan menyalakannya untuk menerangi rumahnya yang ditelan kegelapan.
Beberapa lilin sudah ditempatkan di sebagian sudut ruangan, dan kini rumahnya itu lumayan terang dari sebelumnya. Safira melirik jam ponselnya, masih pukul 02.30. ia berharap esok segera terang, tapi nihil untuk mengharapkan mentari datang, lantaran awan hitam masih menggulat di atas langit.
Safira berniat masuk ke kamarnya lagi, namun langkahnya terhenti ketika mendengar sesuatu dari kamar sebelah. Suara desisan samar-samar kerap terdengar dari kamarnya Karina.
Safira ... Nyalakan lilin di kamarku juga ... Aku kakakmu Karina merasa sesak ...
Safira yakin sekali itu suara Karina. Dulu sebelum Karina sakit, ia paling benci dengan kegelapan. Karina juga sering membicarakan banyak hal dengan Safira, mereka akrab seperti adik kakak. Tapi, siapa sangka kalau ternyata Safira menyimpan bangkai dalam hatinya. Ia dendam pada Karina lantaran Azam selalu peduli dengan istri pertamanya itu.
Suara isak tangis dari kamar Karina mulai terdengar. Hal itu menggangu pikiran Safira. Perasaannya campur aduk, antara takut dan emosi. Entah sampai kapan mayat hidup itu terus menggangu hidupnya.
"Sialan. Mayat hidup itu mencoba menakutiku!" gerutu Safira.
Safira sudah tak kuat lagi. Ia mengumpulkan semua keberaniannya, dan berniat mengecek kamar itu. Entah ada apa di balik pintu itu, mungkin sejenis arwah penasaran.
Krieekk... Decitan pintu terdengar nyaring. Safira yang membukanya. Dengan lilin yang dipangganginya, perlahan ia masuk ke kamar gelap itu. Detak jantung Safira mulai berdegup kencang, mengiringi langkah kakinya. Kesunyian kamar Karina meraba tubuh Safira hingga membuatnya merinding.
Safira menerangi ranjang dengan cahaya lilinnya, menunjukkan wajah Karina yang pucat. Matanya juga tertutup, begitu lemas. Safira mendekat, dan dengan gemetar ia menerangi pergelangan tangan Karina.
"Kalau benar yang aku kubur kemarin adalah mayat hidup ini, maka di pergelangan tangannya pasti ada bekas luka," gumam Safira dalam hati.
Benar sekali, ia melihat dengan jelas kalau pergelangan tangan Karina itu terdapat luka melingkar. Itu pasti karena goresan cangkul. Berarti yang Safira kubur kemarin benar-benar Karina. Lalu bagaimana ia bisa bangkit lagi? Detak jantung Safira semakin kencang bak lari kuda, ia mengarahkan lilinnya pada wajah Karina.
Mata Karina membuka secara tiba-tiba, dan menatap tajam ke arah Safira. Mata tua itu hanya putih, tak ada bola hitamnya. Kemudian, mendadak tangannya yang berbau tanah itu mencengkram lengan Safira.
Safira begitu terkesiap, tubuhnya menyumbul, membuat lilinnya terjatuh. Napasnya mulai tak beraturan, ketika melihat Karina secara tiba-tiba bangun dari ranjangnya. Genggaman tangannya juga semakin erat.
"Lepas! Lepaskan tanganku!" pinta Safira dengan ketakutan.
Safira mencoba melepaskan tangannya, namun semakin ia mencoba untuk lepas, semakin erat pula cengkraman Karina. Darah segar mulai mengalir dari lubang cakaran kuku. Itu darah Safira. Ia mengerang, dan masih mencoba untuk melepaskan diri.
Safira melirik sebuah pisau di atas meja kecil, ia meraihnya. Tak abis pikir, ia langsung mengunakan pisau yang runcing itu untuk melepaskan cengkraman Karina. Ia mengiris tangan tua itu. Tak ada darah yang keluar, hanya tulang tua nan putih. Kulitnya yang keriput begitu tipis, hingga bisa dikatakan kalau tangan itu hanya tulang tengkoraknya bekala.
Safira terus membacok tulang renta itu, dengan brutal nan sadis. Namun, tangan itu tak mau juga lepas. Malahan Karina tersenyum menyeringai ke arahnya. Safira mengeraskan bacokannya, akhirnya pisau runcing itu bisa memutus pergelangan tangan Karina. Tapi, potongan jemarinya masih menempel pada lengan Safira. Safira menjerit histeris.
Karina tertawa terbahak-bahak. Keanehan mulai terjadi, jemari yang awalnya putus tadi, kini menyambung dengan lengannya Karina lagi. Ia juga bisa berdiri dan tertawa, seperti tak pernah merasakan lumpuh di tubuhnya.
Safira ketakutan, namun juga emosi. Ia masih memegang pisau runcing itu. Ia berteriak, dan tanpa sadar menusuk-nusuk tubuh Karina dengan pisau. Begitu sadis nan brutal, tanpa jeda.
"Mati kau, mayat hidup. Mati kau! Kali ini kau kau tak bisa bangkit lagi?" teriak Safira dengan terus menusuk perut Karina.
Jlep! Jlep! Suara tusukan itu terdengar nyaring, perut Karina juga bolong, namun anehnya tak ada darah yang keluar dari lubang tancapkan itu.
Karina berteriak mengerang, membuat semua benda di kamar itu bergetar, dan terlempar. Darah kental nan segar mulai menyumber dari mulutnya, kemudian matanya menyala. Tubuh Karina terangkat dan merangkak di dinding kamar.
Pemandangan supranatural itu membuat Safira seperti orang gila. Jantungnya sudah mau lompat, dan adrenalinnya mengalir deras dari pembuluh darah. Ia berjalan mundur dan menjatuhkan pisaunya. Sedangkan matanya terpaku pada Karina yang merangkak di langit-langit kamar.
Tiba-tiba, Karina meloncat di depan Safira. Wajahnya begitu mengerikan. Rambutnya yang kusut terurai berantakan, matanya menyala, dan mulutnya menyumber darah kental hingga menodai daster putihnya. Seperti kuntilanak, bahkan lebih seram wajah Karina saat itu.
Karina mencekik leher Safira dengan kuku runcingnya. "Kau mencoba mengusirku dari tubuh ini, Safira?! Hahaha! Kau tidak akan bisa mengusirku. Aku sudah memiliki tubuh ini bertahun-tahun yang lalu!" Suaranya begitu serak nan basah.
Safira tak bisa berkata-kata. Kerongkongannya tercekik hebat. Ia merobohkan tubuhnya di lantai, dan meraba-raba pisau tadi. Begitu pisau itu berhasil ia raih, langsung ia tancapkan ujung runcingnya tepat ke arah mata Karina.
Jlep! Jlep! Dua mata menyala itu kini redup dengan darah.
Karina berteriak, dan melepaskan cekikannya. Lalu mengayang di udara.
"Percuma kau melukaiku, Safira! Aku bukan Karina, juga bukan manusia. Kau mau tahu kebenarannya? Hah?!"
"Siapa kau?!" bentak Safira lantang.
"Setan!!!!!!" Suara Karina yang serak nan besar menggema ke dalam gendang telinga Safira. "Aku adalah setan! Karina sudah mati bertahun-tahun lalu, saat dia jatuh lumpuh. Lalu aku merasukinya, dan membuat jasadnya menjadi hidup. Tapi jiwanya adalah diriku."
"Kenapa kau menggunakan tubuh Karina? Aku rasa dia tidak pernah melanggar agama? Bagaimana kau bisa menjadikannya sebagai budakmu?" tanya Safira pada arwah yang mendiami tubuh Karina.
"Aku telah diundang! Seseorang telah mengizinkanku masuk ke dalam tubuh ini. Kau pasti bertanya-tanya, siapa yang mengundangku? Hahaha!"
"Aku akan mengusirmu dari rumahku. Pergilah wahai jiwa yang jahat!" teriak Safira.
"Apa yang akan kau lakukan, Safira? Kejahatan tidak bisa mengalahkan kejahatan. Kita sama-sama jahat! Dalam dirimu sendiri tersimpan sifatku. Sifat setan! Dendam dan amarah, kedua sifat jahatmu itu tidak akan bisa mengusirku, jutsru kau yang akan menjadi budakku!" Karina tertawa cekikikan.
Safira gemetar. Ia segera berlari meninggalkan kamar itu dengan terseok. Napasnya ngos-ngosan. Ia masuk ke kamarnya dan mencari sesuatu.
Karina hendak keluar kamar, namun Safira tiba-tiba datang lagi dan membungkus tubuh Karina dengan mukena.
"Kau akan terbakar dengan mukena ini, wahai setan!" Safira berhasil membungkus tubuh Karina dengan mukenanya.
Karina berteriak, dan mencoba melepaskan mukena itu. Namun mukena itu sudah terpakai rapi di tubuhnya. Setelah teriakan terakhir, Karina tiba-tiba menghilang.
Petir menyambar jendela kamar, dan membuat angin masuk ke dalam.
Safira mencoba mengatur napasnya, dan memandangi setiap sudut kamar. Ia mencari-cari Karina, namun tak terlihat. Mungkin karena saking gelapnya kamar itu.
Safira mencari lilinnya yang tadi, lalu menyalakannya. Begitu cahaya api dari lilin itu tersulut, di depan Safira terlihat sesosok Karina yang menyeringai. Mulutnya membuka dan berbisik, "Aku di sini, Safira!"
Safira terkesiap. Ia menjatuhkan lilinnya. Namun lilin itu masih menyala menerangi kamar. Safira hendak lari, namun Karina menjambak rambut Safira dengan erat. Safira mencoba membacakan ayat-ayat Al-Qur'an, tapi ia gemetar. Lidahnya tak bisa mengucap dengan benar.
"Bismillahi ... rrahmanir ...rahim...."
Karina melepaskan tangannya, dan mengerang. Mulutnya memuntahkan tulang belulang beserta darah kental. Ia memegangi kepalanya dan menggeliat kesakitan. Terdapat pula sosok hitam yang berada di dekat Karina. sosok itu memakai jubah hitam, dan berjumlah banyak hingga memenuhi kamar. Namun hilang dengan sekelebat mata.
"Baca semuanya, Safira! Baca! Kau tidak akan bisa membacanya. Lidahmu sudah terkutuk akan kata-kata najis yang selalu kau ucapkan!" ujar roh jahat dalam diri Karina.
Karina tertawa terbahak-bahak. Ia masih menggeliat. Mukena yang mulanya putih, kini berubah menjadi hitam pekat dan sobek-sobek. Wajah Karina juga menghitam seperti gosong. Hanya matanya saja yang putih menyala, dan mulutnya menyumber darah.

"Kau tidak bisa melantunkan firman Allah. Kau sendiri sangat jauh dari agama-Nya! Kau tidak pernah mendirikan sholat di rumahmu sendiri. Sedangkan suamimu hanya sibuk ibadah di masjid. Bahkan ayat Al-Qur'an saja tidak ada di rumahmu, lalu bagaimana kau bisa mengusirku? Hah?!"
Safira tak peduli kata-kata Karina. Ia terus mencoba membacakan Ayat Al-Qur'an, walau lidahnya terasa keseleo. Memang benar apa yang dikatakan roh jahat itu, Safira tidak pernah mengaji. Bahkan sholat saja tidak pernah sempurna lima waktu. Sedangkan Azam juga tidak pernah sholat di dalam rumah. Tak ada Al-Qur'an di rumah itu, wajar saja kalau para jin dan setan bersarang ditempatnya.
"Kita adalah sama-sama hamba Allah yang jahat, Safira. Bedanya, aku sudah ditakdirkan untuk tinggal di neraka. Tapi, aku ingin mengajak para manusia menjadi temanku di neraka nanti. Kau suka bermain api kejahatan, bukan? Mari ikutlah denganku. Ada banyak api yang menggulat dan menunggumu di sana. Ayo, Safira! Ikut aku ke neraka!"

"Tidak! Meskipun aku jahat, tapi aku tidak akan tunduk padamu! Mari kita lihat, kekuatan jahat siapa yang akan menang!" bentak Safira.
Karina menarik kaki Safira, dan mencakarnya. Sedangkan Safira terus menendanginya. Safira berjalan mengesot ke belakang. Jarak antara pintu dan dirinya, masih tiga langkah lagi.
Satu ide terbesit dalam benak Safira. Ia tersenyum nyengir ke arah Karina. "Mungkin aku tidak bisa membacakan ayat Al-Qur'an, dan dirumahku tidak Al-Qur'an. Tapi, manusia lebih licik daripada setan. Kau benar, sifat jahat manusia bisa melebihi kalian para setan!"
Safira merogoh ponselnya, yang tersimpan di saku roknya. Ia membuka YouTube, dan menelusuri ayat-ayat Al-Qur'an di internet. Ia segera mengeraskan volume ponselnya. Ponsel itu melantunkan ayat kursi. Safira mengarahkan pada Karina.
Karina mengerang kesakitan. Tubuhnya terlontar, terangkat, dan jatuh lagi. Ia terus membungkam telinganya, namun tubuhnya seperti terbakar api neraka. Begitu panas dan mendidih hingga wajahnya rusak.
"Aaaaaaaaaaaaaa!!!"
Safira segera berdiri, dan keluar kamar. Ia menutup pintu kamar Karina, lalu bergerak menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Ia berniat keluar dari rumahnya, sebelum setan itu mengejarnya.
Akhirnya Safira berhasil keluar dari rumahnya sendiri. Ia berlari memijak genangan air hujan, hingga ia terpeleset. Jalanan begitu sepi dan gelap, rintik hujan juga masih turun dari atas. Bahkan Guntur, kilat, dan petir tak mau kalah, mereka juga eksis menonjolkan dirinya masing-masing.
Safira menyalakan senter ponselnya. Ia menyoroti jalanan yang gulita. Namun, sorot cahaya itu berhasil menangkap sesuatu. Sesosok pocong dengan balutan kafan yang basah kuyup, tengah berdiri mengigil di depan Safira.
Pocong itu hidungnya tersumpal kapas putih, wajah pucat, dan memiliki mata putih menyala yang terus menatap ke arah Safira. Lalu berkata,
"Aku kedinginan! Tolong beri aku tempat teduh!"
Safira menjerit dan berlari lalu lalang.
TO BE CONTINUED