PART 7 - SEMUA KARENA JAMAL

1551 Words
Freya berdecak ketika keluar dari lift dan berjalan di lobby. Ia kembali mendapatkan salam hormat. Semua karyawan di gedung ini mengangguk dengan penuh sopan dan tersenyum padanya. Freya sadar bukan karena dirinya, tapi karena lelaki di sampingnya ini. Kakek, begitu dia memanggilnya. Reifan punya kakek, dan dia punya nenek. Lucu kali ya kalau lamaran cuma sama kakek dan nenek. Aish, aku mikir apaan sih! Dan tak lama, ketika ia dan sang kakek berdiri di depan pintu masuk lobby, sebuah mobil berhenti di hadapannya. Mobil Alphard? Serius? Mata Freya melotot dan mulutnya menganga. Pintu bergeser. Ini mobil seperti yang Freya lihat di film-film luar yang gangster. Kakek ini bukan gangster kan? "Silahkan masuk Freya, kakek antar sampai tujuan." Baskoro mempersilahkan dia masuk duluan ke dalam mobil. Freya pun masuk ke dalam mobil mewah itu. Alphard, Ya Tuhan. Beneran semalam aku mimpi apa ya? Hari ini naik mobil mewah dua kali. Ya, walau yang tadi bisa dibilang tragedi. Benar-benar kayak putri dalam sehari. "Pak supir, antarkan nona ini ke rumahnya ya," titah Baskoro. "Ah gak usah ke rumah Pak. Ke bengkel semoga ramai saja, nanti saya kasih tahu arahnya." "Kamu punya bengkel?" tanya Baskoro lagi. "Bukan, bengkel teman. Saya ada perlu sama teman saya kek." Baskoro melihat baju seragam yang di pakai Freya. "Kamu bekerja di mana?" "Oh saya bekerja di supermarket sun." "Kenapa gak minta kerjaan sama Reifan saja?" Kerja sama dia? Gak banget! Lagian mau kerja apa gue. Cuma lulusan SMA. Yang ada cuma jadi office girl aja. Bisa diinjak-injak gue sama tuh orang. "Gak usah kek. Saya bukan orang yang suka memanfaatkan teman." Baskoro mengangguk. Benar juga. Reifan sesekali melirik jam di lengannya. Baru kali ini ia tak sabar menginginkan rapat segera berakhir. Perasaannya mengatakan ada hal yang tak mengenakkan meninggalkan wanita itu di luar sana bersama sang kakek. Semoga wanita itu tidak bicara yang macam-macam. Hadeh, kenapa sih kakek pakai acara datang segala ke sini? Biasa juga kabari dulu, ini main mendadak saja datang. Akhirnya ia pun berhasil keluar dari rapat yang sangat menyiksa itu. "Senang bekerja sama dengan anda." Reifan menjabat tangan rekan bisnisnya sebelum mereka berpisah. Ah, tiba-tiba Reifan ingin ke toilet. Kandung kemihnya tampaknya penuh sekali. Sepertinya tidak akan sempat jika ia ke ruangannya. Jadilah Reifan masuk ke dalam toilet karyawannya. "Aku baru tahu kalau Pak Rei punya calon istri." Reifan terpaku. Itu suara karyawannya. Jangan bilang mereka sering menggosip tentang dirinya di kantor ini. "Kalau yang ini calon istri, yang kemarin dia bawa ke acara kantor siapa dong?" timpal yang lain. "Wah gak tahu deh, itu siapa." "Namanya bos mah bebas kali. Tampang oke, jabatan oke, harta jangan ditanya. Mau ganti-ganti wanita juga mana ada yang larang. Lah model kita? Gaji pas-pasan, tampang pas-pasan mau gonta-ganti wanita? Siapa yang mau? Ada yang mau aja, udah syukur." Tak lama mereka tertawa. Mereka ngomongin siapa sih? "Tapi aku yakin yang ini beneran calon istri, buktinya tadi jalan sama Pak Bos besar kan?" "Iya ya, benar." Kakek? Jangan-jangan, astaga! Reifan segera keluar dari bilik toilet. Membuat kedua lelaki yang tengah mencuci tangan dan menyisir rambut terpaku. "Eh, sor-sore Pak bos." Mereka tak menyangka akan bertemu atasan mereka di toilet. Mungkin mereka heran, gak biasanya atasan mereka masuk toilet khusus karyawan. "Sore," ucap Reifan lalu ia bergegas menuju ruangannya. Berpapasan dengan Desi yang sudah hendak pulang karena jam kantor memang sudah usai. "Desi, kamu masih nahan si Freya di kantor kan?" Desi mengerjap. "Gak Pak. Mbak Freya sudah pulang." "Lho kok pulang? Kamu kan sudah saya suruh jaga dia, jangan sampai dia kemana-mana. Kamu dengar kan saya kasih pesan apa tadi?" Raut wajah Reifan tampak murka. Desi menelan salivanya dengan kesat. Hadeh aku salah dong. "Ya, habis gimana Pak. Kan calon istri bapak yang mau pulang. Masa saya larang. Nanti-" "Calon istri? Siapa calon istri siapa?" tanya Reifan tak mengerti. Kenapa hari ini ia banyak mendengar orang mengatakan tentang calon istri? "Ya mbak Freya pak. Dia kan calon istri bapak. Bener kan?" Desi semakin bingung. "Apa? Freya calon istri saya? Siapa yang mengatakan kebohongan itu?" Jelas aura Reifan semakin menakutkan. "Me-memangnya bukan pak?" Desi sudah ketar-ketir. "Kamu jangan sembarangan bicara ya. Kamu kan tahu siapa kekasih saya." Desi meringis. "Ma-maaf Pak. Habis kan tadi Mbak Freya yang mengatakan pada saya di pantry kalau dia calon istri Pak Rei." "Di pantry?" Desi mengangguk. Oh, kini Reifan tahu bagaimana bisa karyawannya di kantor ini menggosipkan tentang dirinya. Sial! Kok bisa wanita itu memperdayai dirinya. "Memang kamu lupa bagaimana saya memperlakukan wanita itu? Lupa kalau saya bahkan sumpal mulutnya dan tangannya sampai dicekal pak satpam?" "I-ingat kok Pak." "Seharusnya kamu tahu, kalau dia calon istri saya, saya gak mungkin perlakukan dia seperti itu." Gemas sudah Reifan jadinya. "Ta-tapi Mbak Freya mengatakan kalau semua itu bapak lakukan karena bapak gak mau dia kerja jadi kasir di supermarket." "Yang bos kamu kan saya, seharusnya kamu percaya sama saya, bukan pada Freya." Desi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Maaf pak. Saya pikir mbak Freya berkata benar, karena kan tadi saya dan Pak Baskoro mendapati bapak berdua tengah bermesraan di dalam kantor, sampai meninggalkan banyak tanda di leher mbak Freya." Desi mau gak mau membuka semua apa yang dia dengar. "Apa? Siapa yang bilang begitu?" Reifan mengerjap semakin kaget. "Mbak Freya nya pak." Rahang Reifan sudah berkedut menahan amarah yang luar biasa. "Maaf kalau saya salah Pak. A-apakah saya sudah bisa pulang?" Sungguh, Desi takut kena amuk atasannya. "Ya sudah, kamu pulang sana!" Sambil menghela napas, Desi bergegas pergi. Sementara Reifan mengetatkan rahangnya demi menahan emosi tingkat tinggi. "Oke, aku sudah tahu dimana dia bekerja. Aku akan datangi lagi tempatnya bekerja besok. Awas saja kalau dia masih belum mau memberitahu dimana Edwin berada. Aku cincang tubuh mereka sampai halus dan kulempar ke laut." Reifan teringat kakeknya. Pasti kakeknya itu akan ke tempat Marsha. Reifan harus segera berangkat ke sana sebelum kakeknya mencium yang tidak beres terjadi pada rumah tangga Marsha. Sementara itu, mobil Alphard yang Freya tumpangi sudah sampai di bengkel semoga ramai. "Terima kasih ya kek." "Mainlah ke rumah Marsha. Kakek masih di sana satu minggu ini. Maklum kakek biasa tinggal di luar kota. Jadi jarang kemari. Ini tiba-tiba saja kangen sama Marsha." "Iya kek, nanti aku mampir kalau ada kesempatan. Maklum aku kan kerja." Baskoro terkekeh. "Padahal kamu gak usah kerja Freya. Reifan pasti bisa memberimu kehidupan yang layak." Kening Freya melipat. Ia mencoba untuk tidak mengambil kesimpulan yang salah. Lalu pintu terbuka dan Freya turun. "Sampai ketemu lagi Freya." Pintu mobil tertutup begitu saja. Dan mobil itupun melaju dari hadapan Freya. "Gue kira ada istri CEO mana yang sudi mampir ke bengkel gue!" Freya tersentak. Jamal sudah berdiri di belakang tubuhnya. "Siapa dia, hah!" Kening Freya melipat dan tangannya refleks menyentuh dahi Jamal. "Lo gak sakit kan Mal." Lekas Jamal menghempaskan tangan Freya. "Gue tanya siapa dia? Lo gak aneh-aneh kan di luar sana Yaya!" Mendengar itu, Freya keheranan. Ia bertolak pinggang. "Jamal, lo gak lagi berperan pacar yang tiba-tiba cemburu kan?" Refleks telunjuk Jamal menoyor kening Freya. "Sembarangan!" "Sekalipun menurut kang kredit lo itu cantik, gue gak akan ngiler Yaya! Tapi gue juga kudu pastikan lo gak macam-macam di luar sana! Apa kata Mak gue nanti? Dikira gue gak jaga lo." Tatapan Freya berubah sendu. "Ya ampun Jamal gue terharu." "Sini peluk gue." Jamal merentangkan kedua tangannya. "Ogah! Lo bau oli!" Freya memilih duduk di bangku samping Jamal. Jamal terkekeh, lalu beranjak ke kursi dan duduk sambil menatap Freya lagi. "Gue serius siapa itu kakek tua tadi yang anter lo." "Mal, gue ketemu cowok itu lagi." Mata Jamal menyipit. "Cowok yang mana?" "Ck, Jamal! Itu lho cowok yang bikin bengkel lo hancur lebur." Jamal sontak berdiri. "Hah, serius lo! Dimana?" "Di supermarket. Lo tahu? Dia culik gue Jamal. Dia masih kenalin gue ternyata! Ya ampun padahal udah sebulan kejadian itu berlalu. Kok dia masih inget aja sih!" "Terus-terus?" "Dia bawa gue ke kantornya. Ya Tuhan Jamal, ternyata dia orang kaya." "Serius lo?" "Lima rius! Itu tadi kakeknya yang anter gue pulang. Hari ini dua kali gue naik mobil mewah. Gila tajir banget ya mereka. Dapat duit dari mana sih ya?" "Astaga Yaya! Kenapa lo gak ngomong kalau tadi kakeknya itu orang!" Freya mengerjap. "Memang kenapa?" "Tau gitu gue mint ganti rugi ama dia, karena cucunya udah hancurkan bengkel gue kemarin." Freya bangkit dari duduknya. "Terus gue gimana dong Mal." "Gimana apanya?" Jamal asli pusing lihat Freya yang mondar-mandir di depannya. "Gue tadi berhasil kabur dari cowok itu, si-siapa ya namanya tadi? Tar gue coba-coba inget!" Freya memukul keningnya. "Ah Reifan, namanya Reifan. Cowok yang hancurin bengkel lho ini namanya Reifan." "Ya, Reifan. Terus?" "Tadi gue kabur karena dia harus meeting. Jadi gue balik sama kakeknya. Dia-dia nyangka gue sembunyikan lelaki bernama Edwin." "Edwin? Siapa lagi itu?" Jamal makin bingung. "Edwin itu adik iparnya si Reifan. Dia suami si Marsha. Dan entah kenapa si Reifan ini nuduh gue sembunyikan si Edwin." Freya menghentikan langkahnya dan mendekati Jamal. "Terus nasib gue gimana dong Mal? Si Reifan pasti akan datang ke super market besok." "Benar juga sih." Freya menjambak rambutnya sambil menunduk frustasi. "Masa gue kudu berhenti lagi sih kerjanya Mal?" "Ya jangan dong! Lo udah betah kan kerja di sana." "Argh ....! Freya menatap Jamal dengan tatapan setajam silet. "Ini semua gara-gara lo Jamal. Andai lo gak suruh gue kerja di klub malam itu! Gak bakal nasib gue mengenaskan begini. Ini semua salah lo!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD