PART 5 - TERCIDUK LUAR BIASA.

1298 Words
Ternyata lift yang membawa mereka ber-empat langsung membawa Reifan ke lantai tempatnya bekerja. Saat pintu itu terbuka, Reifan disambut baik oleh sekretarisnya, Desi. “Selamat sore pak.” Wanita dengan pakaian resmi setelan semi jas itu berdiri memberi hormat. “Sore.” Reifan menjawab sambil lalu. Desi yang tersenyum, tiba-tiba bungkam ketika melihat dua orang satpam membawa seorang gadis ke dalam ruangan atasannya. Pasalnya selama bekerja, baru kali ini Desi melihat atasannya membawa wanita dengan cara yang tidak biasa. Apalagi wanita yang dibawa atasannya ini disumpal mulutnya, dan tangan dicekal Pak Satpam. Mirip korban penculikan. Pak Reifan gak lagi culik orang kan? “Hmmm Desi,” panggil Reifan. “Ya Pak.” Reifan menoleh ke arah Desi dan Freya bergantian. Ia tahu sekretarisnya ini bingung akan sikapnya ini. “Wanita ini mencuri dompet saya di jalan.” Freya menggeleng keras. Tentu saja dia tak bisa bersuara dengan mulut tersumpal sapu tangan dan kedua lengan dicekal pak satpam begini. Dasar curang! Beraninya main keroyokan! “Jadi saya sedang negosiasi dengan dia. Tolong jangan ganggu sebelum saya rapat dengan PT Multi Anugerah, sebentar lagi.” “Baik Pak.” Reifan memberi kode pada satpam untuk membawa Freya ke dalam ruangannya. “Oke tinggalkan kami,” titah Reifan ketika mereka sudah ada di dalam ruang kantornya. Ketika kedua satpam tadi keluar ruangan, dan secara cepat Reifan menutup pintu. Tidak akan ada yang berani masuk jika ia sudah memberi perintah pada sekretarisnya barusan. Freya melihat dengan jelas ruangan kantor yang terlihat luas dan elegan. Ia ingat tadi naik lift sampai lantai sepuluh. Seumur-umur, baru ini ia naik gedung bertingkat tinggi. Ia berdiri sambil menatap setiap sudut ruangan kantor milik Reifan. Lemari dengan penuh buku tampak menempel di dinding ruangan. Satu set kursi dan meja yang tampaknya milik Reifan berada di samping kaca yang menampilkan pemandangan kota jakarta. Ada satu set sofa yang sengaja disediakan untuk menerima tamu atau relasi kerja, seperti yang biasa Freya lihat di sinetron televisi, juga ada kulkas besar berdiri di pojok ruangan. Matanya pun memindai dua buah pintu lagi yang entah untuk apa. Mungkin kamar pribadi dan kamar mandi. Bagus amat kantornya. Kapan gue kerja di kantor kaya gini ya? “Hmmmm.” Deheman keras dari belakang tubuhnya membuat Freya tersadar. Ia segera melepas sumpalan di mulutnya. Kenapa gue jadi bengong sih? Menoleh dan mendapati lelaki yang membawanya dengan paksa, sudah melepaskan jas dan menggulung kemeja lengan panjangnya sebatas siku. Tampak bulu-bulu halus terlihat di tangan Reifan, ketika lelaki itu melakukan gerakan melonggarkan dasi yang terlihat mencekik. Sebenarnya gerakan lelaki ini terlihat sangat sexy. Tapi sayang, Freya tidak sedang ada di dalam keadaan memuji lelaki yang aslinya memang berwajah tampan ini. Ia membenci lelaki ini dengan amat sangat. Terlebih perlakuannya padanya hari ini. “Silahkan duduk. Mau minum apa?” Seolah lupa jika sudah memperlakukan dirinya bak pencuri. Apalagi lelaki ini dengan mudah menyebutnya pencuri dompet? Astaga! Memang dia kekurangan uang sampai disebut pencuri? Reifan melirik jam di lengannya. Masih ada setengah jam sebelum pertemuan. Oke, ia akan bicara dengan baik-baik. “Mau dingin apa panas?” Lelaki itu membuka kulkas yang tersedia di dalam ruangannya. Enak banget sih kerja di tempat ini? Freya masih saja memuji ruangan ini. Melihat wanita yang ada di dalam satu ruangan dengannya, masih saja membisu, Reifan meraih dua botol minuman dingin. “Duduk? Apa kau tidak lelah berdiri?” Reifan bahkan sudah duduk di sofa dengan elegan. Satu tangan ia lebarkan ke kepala sofa dengan kaki kanan menopang pada lutut kaki sebelah kiri. Berdecak kesal, Freya ikutan duduk. Tapi ia tetap menjaga jarak. “Minum.” Sambil membuka botol di tangan, Reifan menyodorkan botol yang lain ke hadapan Freya. Tak peduli pada tampang Freya yang masih menatapnya penuh permusuhan, Reifan membuka botol dan meneguk perlahan minuman dingin di tangannya. Freya melihat bagaimana jakun Reifan bergerak turun naik seiring dengan gerakan lelaki itu meneguk minuman. Secara mendadak ia meneguk ludahnya. Matanya kini menatap bulu-bulu halus yang tumbuh di seputar dagu dan rahang Reifan. “Hmmmm.” Kembali Reifan berdehem. Membuyarkan khayalan Freya yang tidak-tidak ketika melihat bulu-bulu halus di seputar wajah lelaki itu. Menyeka sudut bibirnya sambil menaikkan satu alisnya, Reifan meletakkan botol di tangannya ke atas meja. “Jadi berapa yang kau butuhkan?” Pertanyaan Reifan membuat Freya mengernyit heran. “Apa maksudmu?” Freya jelas tak mengerti. “Sebutkan berapa yang kau butuhkan, asal jauhi Edwin.” Reifan membenci kembali melakukan hal ini. Mengeluarkan uang pada wanita simpanan Edwin. “Dengar ya bapak ....” Freya menoleh cepat, melihat pada papan nama di atas meja. “Reifan Gerald Delvaro. Itu namamu kan?” Reifan mengangguk. “Kau tadi menawari aku apa?” Freya takut telinganya salah mendengar. “Aku menawarimu sejumlah uang, asal kau jauhi Edwin.” Edwin-Edwin-Edwin terus. Siapa sih itu orang! “Aku sudah katakan aku tidak mengenal lelaki mata keranjang itu!” “Kau benar-benar ingin memancing emosiku?” Reifan mencekal lengan Freya. Freya yang ketakutan bergerak ke arah sudut sofa. “Ka-kau mau apa?” “Aku tanya sekali lagi, dimana Edwin berada?” Freya menggeleng cepat. “Aku sungguh tidak tahu.” Gerakan Reifan terus mendesak Freya. Kini lelaki itu memenjarakan tubuh Freya di sudut sofa. “Kau tahu apa yang bisa aku lakukan jika aku marah?” Desisan Reifan terdengar menakutkan. Freya meneguk ludahnya, namun matanya dengan kurang ajar menatap bibir tebal Reifan yang terus bergerak-gerak. Belum lagi hidungnya mencium aroma parfum yang pastinya bukan merk sembarangan. Dan lagi-lagi ia menghirup udara di sisa-sisa napasnya demi aroma ini. Astaga, Freya mengutuk dirinya. Bisa-bisanya ia mengendus aroma yang keluar dari tubuh lelaki yang kini tengah mendesak tubuhnya. “K-kau mau apa? Aku bahkan sudah bicara jujur tadi.” Reifan menundukkan wajahnya demi menatap sepasang mata yang tampak ketakutan ini. Ia menyeringai. Kedua sudut bibirnya tertarik sedikit ke samping, demi mendapatkan sorot ketakutan dari lawannya. Sungguh, ia sama sekali tidak menyangka wanita di depannya ini masih saja bertahan pada pendiriannya. “Sebutkan angka yang kau mau dan berikan aku alamat lelaki b******k itu,” bisik Reifan. Angka? Kenapa otak Freya mendadak nge-blank. “Apa yang harus aku katakan? Aku jelas-jelas tidak tahu.” Oke, tampaknya kesabaran Reifan sudah habis. Jadi alih-alih kasihan pada wanita yang kini sudah tampak kesempitan karena terus didesak ke ujung sofa, Reifan kembali membuat Freya meringis ketika dagunya dicapit. Tangan Reifan mendekatkan wajah Freya ke arahnya. Menekan dengan keras hingga Freya mendesis menahan sakit di dagu. "Lepas! Kau menyakitiku." Tak lagi peduli pada erangan Freya, Reifan kian memangkas jarak, hingga mereka semakin berdekatan. “Berapapun harga yang Edwin tawarkan akan aku ganti berkali-kali lipat, asal kau katakan dimana dia kini?” Napas Reifan bahkan terasa di wajah Freya. Wanita itu pasrah, dia menyerah. Memilih menutup mata dan menunggu apapun yang akan terjadi. Namun apa yang Freya lakukan justru membuat Reifan mematung. Pasalnya ketika mata Freya menutup itulah, Reifan justru melipat kening. Di dekat wajahnya, tampak wajah wanita yang memiliki lekuk sudut yang sangat menarik. Alisnya tebal tersisir rapi. Bulu matanya lebat dan tampak lentik, dengan kelopak mata yang terpejam. Hidungnya yang tak begitu mancung, tapi nampak kokoh berdiri. Belum lagi dagunya yang lancip dan sebaris warna pink yang berkilat dan menggoda. Warna pink ini yang sudah mencuri ciuman pertamanya sebulan yang lalu. Kini mata Reifan justru terpaku di sana. Di bibir mengkilat dan berwarna pink itu, hingga. Pintu ruangannya terbuka begitu saja dengan sangat kasar. “Reifan?” Reifan menoleh cepat, begitu pun Freya. Mereka berdua sama terkejut, ketika pintu ruangan itu terbuka lebar, dan seorang lelaki dengan rambut hampir memutih semua, berdiri diambang pintu dengan diekori sekretaris Reifan yang bernama Desi, yang juga ikut masuk dengan mata terbelalak. Freya sudah kalut dengan posisinya seperti ini, dan lebih kalut lagi ketika mendengar suara dari lelaki yang parahnya belum juga menjauh dari tubuhnya. “Kakek?” Mata Freya membola. Astaga! Mereka terciduk luar biasa!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD