bc

dr.D

book_age16+
532
FOLLOW
3.3K
READ
possessive
family
doctor
drama
sweet
genius
icy
first love
teacher
like
intro-logo
Blurb

percintaan yang manis tentu saja tak selalu terjadi begitu saja dialami oleh setiap pasangan, banyak suka maupun duka akan menghampiri demi terjalinnya ikatan kuat diantara mereka.

Sebuah kenyataan pahit mengahmpiri seorang dokter muda, Dika Arya saat dirinya sedang menjalankan misi menjadi relawan di sebuah Negara yang tengah berkonflik, dirinya dibawa dan diasingkan oleh orang-orang tak dikenalnya karena menginginkan otak jenius Dika untuk melakukan sebuah penelitian terbesar mereka, 301, mereka menandai Dika dengan sebuah gelang elektik di lengan kirinya. Namun Dika tahu dirinya tak akan sanggup melakukannya dan mencoba melakukan segala upaya demi keluar dari penyiksaan mental yang diam-diam menggerogotinya. Satu hal yang selalu Dika terapkan pada otaknya, ada istri dan anaknya yang sedang menunggu kepulangannya agar dirinya benar-benar masih dianggap waras.

chap-preview
Free preview
01
Dika POV Acara pernikahan berlangsung dengan khidmat dan sakral di sebuah gedung di kota. Aku, Dika Arya, sang dokter muda kini telah resmi menjadi seorang suami dari Alisha Widyani Puteri, seorang pengajar muda yang setia menunggu dan mendampingiku begitu lama mengejar karir demi kehidupan selanjutnya yang lebih baik. Bukannya di kehidupan sebelumnya hidup ia tak baik,ia begitu beruntung hidup diantara keluarga yang harmonis dengan limpahan harta yang cukup. Namun aku hanya saja aku ingin membuktikan kemampuan diriku sendiri dan keseriusanku sebelum mengajak Alisha ke tempat dimana beberapa menit yang lalu telah diucapkan ijab dan kabul. Aku tidak ingin ia hidup menderita setelah secara resmi menjadi istriku. Aku menatap bahagia kepada sosok cantik yang juga tengah menampilkan wajah bahagia yang terpancar, wajah berseri dengan senyum yang tak pernah luntur menghiasi wajah itu selama acara berlangsung seharian. Meskipun penat dan lelah menghampirinya, senyuman perempuan itu tak pernah luntur di hadapan semua para tamu undangan. Aku merasa bahwa ia begitu sempurna dengan penampilannya saat ini, berdiri di sampingku sebagai seorang istri di hari pertama ia menyandang status barunya. Rasa bahagia membucah tat kala mengingat bagaimana kerasnya perjuangan tenaga dan waktu hingga terselenggaranya pernikahan ini. Kutatap sosok ayah yang semakin hari kian menua. Sosok yang selalu menemaniku, berjuang sendirian dengan separuh waktu dan hidupnya. Wajah rentanya semakin membuatku iba dan tak menerima jika waktu kebersamaan kami tiba-tiba saja direnggut oleh Tuhan. Disaat itu, ayah yang sedang duduk memakan makanannya balik menatapku dan memberikan acungna jempol. Aku tersenyum, dan mengisyaratkan agar ayah kembali melanjutkan kegiatan makannya. Kini aku dan Alisha yang masih berdiri di atas pelaminan diarahkan untuk melakukan sesi foto berdua ala pengantin. Gaun putih yang Alisha kenakan terlihat begitu pas bersanding denganku yang memakan setelan putih resmi. Alisha yang manis tampak bahagia dengan gaun yang dikenakannya, membuat dirinya seperti princess disney yang selalu ia impikan. Dan tentu aku membuatnya nyata hari ini. Namun dia bukanlah putri dalam negeri dongeng, ia adalah putri sekaligus ratu yang nyata yang menjadi pelengkap lelaki biasa sepertiku. Jujur saja, sejak tadi aku tak dapat menghentikan mataku untuk melirikk sosok cantik Alisha yang selalu di sampingku, hingga beberapa temanku berteriak dan bersiul menggodaku yang katanya ‘sudah tak tahan.’ Ck, memang jika urusan menggoda orang lain, mereka jagonya. Wajar, mereka masih lajang dan belum menemukan jodohnya disaat usia semakin bertambah tua. Dan perlu diingat, aku bukan lelaki m***m yang selalu mengedepankan pikiran dan tindakan m***m terhadap perempuanku. Aku benar-benar mengagumi kecantikan dan keanggunan yang dimilikinya hari ini, ditambah dengan status istri yang sudah tercata di pencatatan sipil membuatku hanya ingin menatapnya seharian setelah ijab Kabul tadi, jika aku tak ingat dengan acara resepsi setelahnya. Berbagai arahan serta gerakan dari sang fotografer menambah riuh ruangan luas ini dikarenakan kekakuan dari postur tubuhku yang selalu menggagalkan jepretan setiap foto. Ah, entah kenapa tubuh ini terlalu kaku untuk berhadapan dengan lekukan gemulai dari tubuh Alisha. “Rileks, Dik. Senyum biasa yang seperti kamu lakukan sedari tadi, enggak usah terlalu kaku.” Istriku mencoba menenangkan, meskipun aku tahu dirinya pun sedikit tegang dan malu akibat kedekatan yang berlebihan saat ini, apalagi tepat di hadapan para tamu undangan. Kedua lengannya dengan cantik merangkul leherku yang menunduk. Postur tubuhku yang jauh lebih tinggi darinya membuat ia harus susah payah berjinjit meskipun ia memakan sepatu hak tinggi. Namun aku yakin, hal itu tak mampu merusak hasil potretan kami. “Kamu cantik, Lish” ujarku dengan mata yang masih menatap lekat Alisha meskipun sesi foto untuk pose tersebut telah usai. Dengan polesan make-up yang sederhana dan tak terlalu mencolok, Alisha tampil dengan kecantikan yang anggun karena ditambah dengan hiasan mahkota yang terpasang indah di atas kepala dengan beberapa helai anak rambut yang menggantung di bagian sisi kiri dan kanan . Pipi Alisha yang berpoles warna merah samar kini semakin terlihat jelas akibat rona alami yang keluar akibat pujian yang sudah beberapa kali aku layangkan kepadanya. Dan entah kenapa mulut ini selalu tak terkendali untuk melayangkan kalimat-kalimat pujian yang jarang sekali aku layangkan kepada kekasihku itu. “Ekhm, mas sekarang cium kening mbaknya.” sela sang fotografer yang kembali mempersiapkan kameranya untuk memotret pasangan di depannya. Aku kembali menatap Alisha setelah sejenak menoleh ke arah fotografer di depan untuk memastikan, “Boleh?” tanyaku meminta persetujuan. Alisha hanya tersenyum seraya mengedikkan bahunya pertanda bahwa ia tak mempermasalahkan. Dengan canggung aku bergerak lebih merapat kepada Alisha dengan tangan yang sedari tadi memegang kain gaun di pinggang Alisha. Dengan memejamkan mata dan bibir yang melengkung ke atas Alisha menikmati setiap debaran jantungnya dan jantungku yang terasa berdetak lebih cepat dari biasanya. Begitu pula denganku, jantung ini sama kerasnya berdetak seirama dengan sosok di hadapanku itu. Setelah mengatur dengan posisi pas, sang fotografer kembali membidikkan kameranya dengan hasil yang terbaik. Aku menghela nafas lega setelah melewati sesi yang telah membuatku malu sekaligus berdebar karena disaksikan oleh orang banyak. Kulihat Alisha menginstruksikan kepada Alana, adik kecilnya, agar mau membawakan air untuknya. Tak lama, gadis kecil itu datang menghampiri dengan dua gelas air putih dan memberiku satu. Kami berdua duduk sejenak untuk menghilangkan pegal di kaki. Tak lama kemudian, terlihat sang fotografer menunjuk bibirnya sebagai arahan pose selanjutnya. Dengan susah payah aku menelan ludah menatap bergantian kepada Alisha dan sang fotografer. Sebelumnya tidak pernah kami berciuman di bibir. Aku tidak berani, dan aku menghormati kehormatan Alisha sebagai gadis suci. “Lish?” tanyaku bernada lirih, “Itu, boleh?” tanyaku selanjutnya. Alisha yang sedang menatap para tamu di depan menoleh dan menatap dengan tanda tanya mengenai pertanyaan tidak jelas dari Dika. “Itu …” “Ekhm, apa foto berdua kalian sudah selesai? Kami juga ingin berfoto.” sela seseorang dari sebelah kiri Alisha membuat perempuan itu berdiri dan menengok ke arah suara yang entah sejak kapan sudah berada di atas pelaminan bersama kami. “Alex?” sapa Alisha yang dibalas senyuman seraya dengan munculnya dua sosok kecil di balik kaki Alex. Untuk sesaat, rasanya aku tak rela membagi senyum manisnya kepada orang lain meskipun itu untuk saudaraku. “Bu guru Alisa …” Anak pertama Alex menyapa Alisha dengan senyuman cerianya sembari melambai dengan tangan yang tengah memegang sebuah boneka Barbie. “Halo Alexis.” jawab Alisha dengan gerakan tangan meminta anak itu mendekat. Dengan senang hati Alexis mendekat dan memeluk Alisha yang tengah jongkok diikutiku di sampingnya. Kemudian seorang anak kecil yang merupakan adik Alexis kini menampakkan diri setengah menengok dengan kedua tangan yang memegang erat celana kain yang Alex kenakan sembari menarik-nariknya agar sang papa segera menoleh kepadanya. “Papa, ayo ke mama.” rengek anak kecil itu membuat Alexis menoleh dan kembali menghampiri adiknya dan menenangkannya. “Kurasa kalian belum selesai, beritahu aku jika sudah selesai.” ucap Alex yang dijawab anggukkan oleh kami berdua. “Baiklah, ayo kita hampiri mama.” Dengan cekatan seperti tanpa beban, Alex memangku kedua putrinya dan berjalan ke arah Kina yang sedang berdiri di depan meja sedang memilih makanan dengan kondisi perut besarnya. Ah adikku itu, sudah menjadi papa untuk yang ketiga kalinya. Aku hanya tidak percaya Alex yang bengal akan tunduk terhadap istrinya yang lembut. Apalagi dengan hadirnya buah hati mereka. Ia semakin menghargai perasaan wanita itu dan juga anak-anaknya. “Mereka lucu sekali.” ungkap Alisha dengan wajah takjubnya disaat melihat interaksi antara kedua saudara itu, Alexis dan Alexa yang merupakan kedua putri dari seorang Alex Imanuel Chandra, anak dari Bibi Rosa yang merupakan adik dari almarhumah ibuku. Meningat masa SMA yang begitu penuh dengan kekanakan dan kenakalan, Alisha menatap kagum sekaligus pandangan tak percaya jika seorang Alex akan menjadi seorang papa yang baik dan bijaksana bagi kedua anaknya, ditambah dengan bayi yang sedang Kina kandung saat ini. Alisha sendiri suka menggelengkan kepala ketika mendengar Alexis yang merupakan salah satu muridnya di taman kanak-kanak itu selalu bercerita mengenai papanya yang baik dan perhatian, namun kadang manja dan menjengkelkan kepada mamanya. Dan akupun ikut tahu tabiat Alex karena cerita itu Alisha sendiri yang menceritakannya kepadaku. Bahkan sesekali kami melihat interaksi berlebihan yang dilakukan Alex kepada sitrinya maupun anak-anaknya. Aku melirik sekilas ke samping dimana Alisha masih menatap kedua anak dalam pangkuan Alex. “Alex juga?” sahutku dengan nada tak suka. Meskipun aku tahu bahwa Alisha hanya memuji kedua anak perempuan tadi, namun aku hanya menunjukkan rasa ketidaksukaanku terhadapnya yang terus menatap pergerakan Alex menuju wanita hamil disana. Kemudian Alisha menoleh sembari tersenyum melihatku yang menahan kesal. “Alexis dengan Alexa, mereka sangat lucu dan menggemaskan.” ucap Alisha memperjelas dan diiringi dengan kekehan ringan. Akupun menatapnya dalam diam membuat ia mengangguk dengan wajah yang sengaja ia buat seimut mungkin. “Maaf, mbak, mas? Bisa dilanjut?” sela sang fotografer dari tempatnya membuat diriku beserta istriku terkejut sekaligus malu karena mengabaikan fotografer yang sedari tadi menunggu kami melakukan kegiatan sesi foto lagi. Kembali kami berdua memasang pose saling berhadapan dengan kedua tangan yang saling mengait erat di tubuh hadapannya, mengabaikan kekesalan yang tengah melanda perasaanku sejenak. Dengan pandangan yang menyorot meminta persetujuan, aku kembali bertanya, dan tiba-tiba saja kegugupanku hadir kembali menyelimutiku. “Ehm, itu … boleh juga?” “Apa?” tanya Alisha tak mengerti. Aku hendak menjawab, namun ucapan fotografer yang sedang berancang-ancang untuk mengambil foto membuatku tak berpikir panjang dan langsung mendekatkan diri melakukan tugasku. Cup Dengan wajah terkejut sekaligus meronanya Alisha mencoba tenang dan diam menunggu hingga sang fotografer selesai mengambil gambar. Terdengar suara letupan percikan api dan lantunan lagu romantis yang menghiasi altar pernikahan, menyamarkan suara dentuman jantung dari masing-masing tubuh yang tengah menempel akibat perlakuan intens yang pertama kali mereka lakukan sekarang. Aku menenangkan jantungku seraya menunduk karena malu sekali dengan tindakan spontan itu. Walau hanya beberapa menit, namun saranya begitu mendebarkan. “Good, sekarang masnya duduk di kursi sambil dongak sedikit ke belakang dan tatap mbaknya. Untuk mbak cukup berdiri sambil pegang kedua bahu mas dan tatap kembali masnya. Jangan lupa masnya senyum yang lebar, ya?” titah si fotografer sedikit menyindirku dengan pandangan yang masih terpaku kepada kamera sedang melihat hasil jepretannya barusan. Kembali aku dan Alisha melakukan apa yang sudah diarahkan untuk mendapatkan foto dengan hasil terbaik. Hingga setelah selesai untuk sesi foto berdua, Alex kembali datang bersama istri dan kedua anaknya, meminta untuk berfoto bersama karena tadi mereka belum sempat melakukannya dikarenakan Alexa yang menangis ingin keluar bersama sang papa dari ruangan yang ramai itu. “Semoga cepat isi ya, Lish.” ucap Kina sembari mengelus perutnya yang besar berharap kehamilannya yang ketiga itu menular kepada Alisha yang kini telah resmi menjadi seorang istri dariku. “Aamiin, do’akan saja. Semoga kehamilan kamu juga sehat terus dan bisa melahirkan dengan lancar.” balas Alisha yang kini menatap takjub Kina yang sudah menjadi seorang ibu bagi kedua anaknya dan juga calon anak ketiganya. “Jangan sampai nanti malam gagal, Dik.” ucap Alex seperti seorang ayah kepada anaknya yang tengah memberi nasihat. Membuatku mendengus kesal dibuatnya. “Memangnya kapan aku terlihat gagal, hah?” tanyaku dengan nada sombong dan seringai jahil seraya menepuk-nepuk punggung Alex disaat tengah berpelukan. Alisha terlihat tak suka dengan arah pembicaraan kami ini, hingga akhirnya ia memutuskan untuk memukul pelan bahuku membuatku spontan meringis sembari menatap Alisha menuntut penuh tanda Tanya. “Jangan m***m-m***m!” peringat Alisha dengan mata memicing mengingatkan, namun aku mengabaikannya dan kembali berbincang dengan saudaraku itu menganai urusan bisnis yang tengah dijalani oleh Alex. “Pada dasarnya laki-laki memang begitu, Lish.” ucap Kina yang terdengar olehku dan aku lihat Alisha menganggukkan kepala setuju. Hei, sudah aku bilang aku bukan lelaki m***m! Semuanya tersenyum hangat. Hubungan yang telah sekian lama terjalin itu menemukan titik kedamaian masing-masing, melihat aku dan Alex yang harmonis dan bersahabat membuat Alisha tersenyum saat aku meliriknya sejenak. Mengingat jika masa lalu kami dapat dikatakan sangat tidak akur dan penuh permusuhan untuk dua orang yang bersaudara. Alisha sangat senang ketika perlahan aku mulai diterima di keluarga besar yang dulunya sempat membuang diriku dan ayah, kini kami telah bersatu membentuk keluarga yang damai dan harmonis, dan aku lihat Alisha lebih bahagia lagi karena mulai hari ini ia telah resmi menjadi bagian dari keluarga kami. ***** Author POV Suasana bandara terlihat ramai meskipun waktu menunjukkan pukul satu dini hari, jadwal penerbangan yang padat membuat pesawat-pesawat silih berganti berdatangan membawa ratusan penumpang bersama awak kabin. Melalui kaca transparan di hadapannya Alisha memperhatikan lapangan luas yang menjadi tempat pesawat-pesawat itu mendarat untuk menaik atau menurunkan penumpang, atau bahkan hanya sekedar mengisi bahan bakar. Dengan cekatan Alisha merapatkan mantel berwarna cokelat yang membungkus tubuhnya guna menghalau udara dingin menerpa tubuh Alisha secara berlebihan. Apalagi mesin pendingin di ruangan ini diatur begitu kuat hingga menembus rongga dadanya. Penerbangannya ke Swiss setelah satu bulan usia pernikahan bersama Dika membuat Alisha sedikit kerepotan namun juga membahagiakan, jam terbang yang menurutnya terlalu dini cukup membuatnya kelelahan setelah sebelumnya menjalani aktifitas padat di siang hari, namun Alisha begitu menikmatinya karena sebentar lagi ia akan pergi ke tempat yang menjadi impannya sejak dulu, tempat dengan pemandangan alam bak negeri dongeng membuat Alisha tak sabar untuk menginjakkan kaki disana. “Sudah waktunya, ayo kita pergi.” ajak Dika setelah kembali dari mengurus barang bawaan mereka yang diperiksa terlebih dahulu. Alisha mengangguk beranjak berdiri dan mengikuti Dika yang tengah menggandeng tangan kanannya dalam diam. Suasana dalam pesawat begitu hening meskipun membawa ratusan orang di dalamnya, terlihat orang-orang memilih kembali memejamkan mata sebelum mereka tiba di bandara tujuan. Berbeda dengan Alisha yang memilih melihat keluar jendela meskipun diluar hanya terlihat awan hitam, Alisha berpikir mungkin saja ia bisa melihat sesuatu yang dilalui, UFO misalnya. Alisha tertawa kecil mengingat pemikiran kekanak-kanakannya. Maklum saja, ini pertama kalinya ia pergi menaiki pesawat. “Kenapa?” tanya Dika yang duduk di samping Alisha tengah memejamkan mata, namun karena mendengar tawa kecil dari Alisha, Dika kembali membuka mata untuk mengetahui apa yang tengah istrinya itu lakukan. Alisha menggeleng geli dan menatap Dika yang terlihat penasaran, “Aku sedang berpikir, mungkin aku bisa melihat UFO di luar sana karena aku terus menatap jendela.” Alisha terkekeh mendengar ucapannya sendiri. Kini Dika ikut tertawa, namun begitu pelan karena takut membangunkan orang-orang, tangannya mengusap lembut rambut panjang Alisha, “Sebaiknya kamu tidur, bukannya besok kamu mau jalan-jalan?” tanya Dika yang dibalas anggukkan antusias dari Alisha. “Kamu juga tidur, ya?” pinta Alisha yang juga dibalas anggukkan yang sama. Akhirnya mereka tertidur menyisakan seuara mesin dari pesawat yang menemani mereka. ***** Malam hari di kota Basel, Alisha kini tengah berdiri di depan jendela menghadap ke sebuah sungai Rhein yang terkenal dan menjadi salah satu sungai utama di benua Eropa. Matanya dengan berbinar cerah menatap setiap pemandangan di depannya yang begitu indah meskipun malam sudah larut. Alisha benar-benar tidak menyesal unttuk menerima ajakan kesini bersama Dika yang tengah memberikan hadiah berupa liburan bersama dirinya. Pukul dua siang tadi Alisha dan Dika telah sampai di hotel yang telah mereka pesan dari beberapa hari lalu sebelum penerbangannya ke Swiss, dengan senang hati Alisha mengajak Dika untuk berkeliling kota mengabaikan rasa lelah dan kantuknya yang seketika hilang setelah melihat pemandangan kota yang sangat indah itu. Setelah menyusuri sungai Rhein menggunakan perahu dan mengunjungi red house mereka kemudian pergi ke pasar tradisional yang terdapat di kota tersebut. Seharian itu mereka gunakan untuk berkeliling kota bersama. Alisha benar-benar tidak menyia-nyiakan waktu yang tersisa disana karena esoknya ia dan Dika akan pergi ke kota Interlaken yang menjadi kota terlama didiami Alisha dan Dika selama di Swiss. “Sudah malam, kenapa belum juga tidur?” tanya Dika yang baru kembali setelah meminta izin kepada Alisha untuk menerima telepon dari rumah sakit tempat ia bekerja. “Sebentar lagi, pemandangannya indah sekali, aku tidak ingin menyia-nyiakannya.” ucap Alisha tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela. Dika menggelengkan kepala melihat tingkah Alisha yang terlalu berlebihan, diraihnya Alisha dalam pelukannya dan mengecup puncak kepala Alisha dengan penuh kasih sayang. “Pemandangan di Interlaken lebih bagus, jadi persiapkan mata kamu untuk memandanginya terus dengan tidur sekarang juga.” Ucapan Dika berhasil membuat Alisha menoleh cepat dan menatap Dika dengan binar penuh ketertarikan. “Ya, seharusnya aku mempersiapkan diri. Kalau begitu ayo kita tidur.” ajak Alisha seraya menarik Dika menghampiri ranjang di tengah-tengah kamar. “Dik, kamu tahu enggak, tadi ada laki-laki yang nabrak aku pas lagi di pasar nunggu kamu ke toilet,” Alisha memulai bercerita, membatalkan niatan Dika untuk segera tidur. “Mungkin dia sedang terburu-buru.” ucap Dika menimpali dengan malas, kini Dika berbaring miring menghadap Alisha setelah tadi ia tidur terlentang. Alisha mengangguk mengiya-kan, namun raut wajahnya terlihat kesal dan tak menerima dengan kejadian tadi siang yang membuat barang hasil belanjannya berburai menyebar ke sekeliling jalan tempat ia berdiri. “Dika, buka matanya!” “Apa? Aku sudah bilang kan, kamu harus tidur?” tanya Dika sembari berusaha membuka mata sipitnya yang terasa rapat akibat rasa kantuknya. “Buka mata dulu.” Dika-pun mencoba untuk membuka matanya dan melihat Alisha sedang menyerahkan sesuatu tepat di depan wajahnya, karena masih memburam Dika mencoba mengucek matanya hingga penglihatannya kembali jelas. “Ini …” Dika berkata tertahan dengan mata yang menatap bingung benda tersebut dan Alisha secara bergantian. “Hmm, aku positif.” ucap Alisha pelan dengan pipi bersemu merah. Diraihnya benda persegi panjang yang menunjukkan dua garis merah yang berhasil membuat Dika terkejut sekaligus bahagia. Dengan spontan Dika mengecup puncak kepala Alisha dan mengelus perut rata istrinya dengan pelan. Sekali lagi Dika memastikan penglihatannya dengan benar mengenai benda tersebut. “Terima kasih, Lish. Ya Tuhan, terima kasih.” ucap Dika penuh syukur membuat Alisha menangis haru. Dipeluknya tubuh Dika dengan erat sembari ikut membisikkan ungkapan terima kasihnya kepada Tuhan yang telah mempercayai mereka untuk menjadi orang tua. “Kapan kamu melakukan tes-nya?” tanya Dika tanpa menguraikan pelukan mereka. Tangannya terulur mengelus rambut Alisha yang lembut. “Ehm, kemarin pagi-pagi, aku udah coba lima kali, tapi aku cuma bawa satu buat kejutan.” Alisha mendongak sembari memberikan cengiran lebarnya kepada sang suami. “Kenapa kamu enggak bilang dari kemarin? Aku bisa menunda rencana kita kali ini.” “Huh, aku sudah menduganya, makanya aku mengatakannya saat kita sudah sampai di Swiss.” Kembali Alisha melayangkan cengiran lebar kepada Dika guna menghalau kemarahan suaminya itu. Terbukti dengan Dika yang hanya menghela nafas kasar sembari merapatkan diri memeluk Alisha. “Kamu harus jaga suhu tubuh, saat ini mulai memasuki musim dingin, aku tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk menimpa kamu atau bayi kita.” Dika mencoba mengingatkan Alisha mengenai kondisinya saat ini, dengan senang hati Alisha mengangguk dan menuruti perkataan Dika. “Sekarang tidur, kita memiliki jadwal kereta besok pagi.” lanjut Dika yang kembali dipatuhi oleh Alisha. Mereka-pun tertidur dengan kehangatan yang menyelimuti diantara pelukan mereka.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Sacred Lotus [Indonesia]

read
53.9K
bc

MANTAN TERINDAH

read
10.0K
bc

Jodoh Terbaik

read
183.1K
bc

Way Back Into Love || Indonesia

read
13.1K
bc

The Perfect You

read
297.6K
bc

FINDING THE ONE

read
34.4K
bc

Long Road

read
148.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook