“Sebaiknya kita periksa terlebih dahulu kandungan kamu di klinik terdekat disini. Keberangkatan kereta masih satu jam lagi, kita bisa menunggunya sembari ke klinik.” saran Dika sembari memainkan ponsel mencari sebuah klinik yang tak jauh dari area hotel yang sedang mereka tinggali sebelum pergi ke kota selanjutnya, Interlaken.
Saat ini mereka tengah berada di dalam kamar hotel bersantai sejenak menunggu keberangkatan kereta setelah mereka sarapan di dalam kamar pula. Alisha yang sedang berias di depan cermin menoleh kepada Dika yang sedang duduk di sisi ranjang menatap Alisha yang sedari tadi tak acuh akan keberadaannya.
“Baiklah.” jawab Alisha dengan senyum hangat membuat pagi di musim dingin ini tak terlalu dirasa oleh Dika yang melihatnya. Entah kenapa setelah menikah, dirinya merasa perasaan kasih sayangnya terhadap Alisha semakin bertambah dan membucah dalam hati, rasa ingin melindungi serta membuatnya tersenyum manis setiap hari muncul dalam diri Dika, hal itupun diiringi dengan rasa posesif dirinya terhadap Alisha. Apalagi setelah melihat dan mengetahui hasil tes kehamilan yang menunjukkan bahwa kini Alisha tengah mengandung benihnya membuat semua perasaan itu menggulung menyesakkan dadanya dan ingin menyalurkannya segera mungkin.
“Kita pergi sekarang?” tanya Alisha sembari beranjak dari kursi bundarnya dan menghampiri Dika mengulurkan tangannya agar Dika ikut berdiri.
“Lebih cepat lebih baik.” jawab Dika menerima uluran tangan tersebut.
Sebelum keluar kamar, terlebih dahulu Dika mengambil dua buah mantel di atas kursi dan memakaikan satu ke tubuh Alisha yang senantiasa diam dan menurutinya. Tak lupa Dika memakaikan topi rajut hangat beserta syal tebalnya agar Alisha tak merasa kedinginan di luar sana.
Setelah itu barulah Dika memakaikan mantel miliknya ke tubuhnya dengan rapi sebelum membuka pintu dan meninggalkan kamar.
“Kita jalan kaki atau pakai kendaraan?” tanya Alisha saat mereka berjalan di lobi hotel yang tak begitu ramai dikarenakan udara yang dingin.
“Aku sudah menyewa sepeda dari pihak hotel, jaraknya tidak terlalu jauh jadi aku menyewa sepeda, tidak apa-apa?” ujar Dika seraya bertanya memastikan apakah Alisha keberatan dengan keputusannya untuk menggunakan sepeda ke klinik di udara yang dingin. Sebenarnya tadi Dika tak berpikir panjang untuk menggunakan sepeda, namun melihat cuaca yang sedikit buruk membuat Dika ragu akan pilihannya itu.
“Tak apa, lagi pula aku sudah lama tidak jalan-jalan pakai sepeda.” jawab Alisha dengan gembira karena sudah lama ia tak pernah bersepeda lagi setelah lulus kuliah. Karena sebelumnya setiap hari ia pergi menggunakan sepeda yang dibonceng oleh Dika sendiri semasa SMA dan kuliah.
Tetesan salju mulai berjatuhan begitu Alisha berjalan mengikuti Dika yang sudah menaiki sepeda yang sudah disediakan, beruntungnya topi rajut yang ia kenakan mengalangi tetesan salju mengenai langsung kulit kepalanya.
Sedikit tergesa namun hati-hati, Dika melajukan sepedanya di tengah-tengah hujan salju yang tidak terlalu lebat. Meskipun ia sedikit kedinginan, namun Alisha sangat menikmatinya, apalagi ia bersepeda di bawah salju bersama Dika di kota yang indah itu.
Menyusuri jalanan yang berjarak lima puluh meter dari hotel, akhirnya mereka sampai di depan klinik. Dika segera menepikan sepedanya di tempat parkir yang teduh dan berjalan membuka pintu klinik diikuti Alisha di belakangnya.
Sebelum lebih masuk ke dalam klinik, terlebih dahulu Dika mengajak Alisha untuk menghangatkan tangannya yang terasa kaku karena dingin. Bersamaan mereka mengarahkan kedua tangannya ke arah benda yang dapat menguarkan udara hangat ke sekitar ruangan.
“Seharusnya aku tidak lupa membawa sarung tangan untuk kita berdua.” ucap Dika dengan nada penyesalan yang kentara. Alisha tersenyum memaklumi, karena ia pun lupa akan satu benda penghangat di musim dingin itu. “Tak apa, aku baik-baik saja, tapi lihat tangan kamu, sampai memerah karena udara terlalu dingin. Kita bisa membelinya di toko souvenir saat kembali ke hotel nanti.”
“Ya, ingatkan aku untuk mampir membelinya.” ucap Dika yang dibalas anggukkan oleh Alisha. Setelah merasa baikan Dika mulai mengajak Alisha untuk mendaftar dan segera memeriksakan kondisinya, mantel yang sebelumnya ia pakai perlahan Dika buka karena suhu di ruangan begitu hangat dan tidak sedingin di luar tadi, menyisakan kemeja putih yang terpasang rapi di tubuhnya.
Hal itu berbeda dengan Alisha yang masih menggunakannya karena ia sudah merasa nyaman dengan mantel tebalnya.
“Perlu aku bantu buka mantelmu?” tanya Dika memberi tawaran melihat Alisha yang masih mengenakan mantelnya begitu mereka akan memasuki ruang dokter.
“Tidak perlu, aku nyaman memakainya dan tidak mau membukanya.”
“Setidaknya sekarang harus dibuka sebentar agar dokter tidak kesusahan saat memeriksamu nanti.” ucap Dika membuat langkah Alisha terhenti dan berpikir sejenak, Dika pun ikut berhenti saat tangannya hendak membuka knop pintu, ia melihat Alisha yang kemudian tersenyum dan menganggukkan kepala pertanda bahwa apa yang Dika ucapkan ada benarnya.
“Baiklah.”
Setelah Alisha membuka mantel terlebih dahulu, Dika kemudian membuka pintu dan disambut dengan ramah oleh seorang dokter wanita bersama asistennya. Dika kembali menutup pintunya dan menghampiri sang dokter yang langsung menanyakan keluhan yang dialami lalu memeriksa keadaan Alisha.
Beberapa menit berkonsultasi dengan sang dokter, Dika dan Alisha keluar dari ruangan dengan wajah berseri. Pemeriksaan tadi meyakinkan dua orang tersebut bahwa sebuah janin telah tumbuh di rahim Alisha. Sebuah janin yang akan membuat mereka menjadi orang tua yang bahagia di hari ini dan nanti.
Sebelum keluar dari klinik, Dika terlebih dahulu membayar administrasi sementara Alisha menunggu di kursi panjang lobi klinik. Sembari menunggu, Alisha kembali memakai mantelnya dan memainkan ponsel yang ia abaikan selama seharian saat di Swiss. Ia pun membalas satu persatu pesan yang masuk kepadanya, baik itu dari keluarga maupun teman-teman serta rekan kerjanya.
“Ma, Alish mau beritahu sesuatu.” Setelah membaca dengan seksama pesan dari mamanya dan membalasnya, Alisha kembali menekan satu persatu tombol keyboard di ponselnya, merangkai kalimat yang pas untuk disampaikan kepada mamanya dengan senyuman yang tertahan.
“Kenapa Lish, kamu baik-baik saja disana? Dika bagaimana kabarnya? Enggak terjadi hal yang buruk, kan?” balas sang mama dengan sederet pertanyaaan yang menunjukkan kekhawatirannya karena jarak mereka yang sedang berjauhan.
“Alish sama Dika baik ma, gimana kabar mama disana?” Alisha balik bertanya tanpa memberikan kejelasan membuat Alisha menebak bahwa mamanya yang sedang di rumahnya itu menggerutu kesal.
“Mama baik, semuanya juga baik. Kamu sama Dika cepat pulangnya, jangan lama-lama!”Alisha terkekeh membaca balasan pesan dari mamanya. Kemudian Alisha merogoh isi tas jinjingnya dan mengeluarkan sebuah gambar yang baru saja ia dapatkan sewaktu pemeriksaannya tadi.
Alisha mulai memfoto gambar yang berlatar ruangan klinik itu dan mengirimkannya kepada sang mama. Rupanya mamanya itu merespon dengan cepat, terbukti di detik foto itu terkirim mamanya langsung membalas dengan kalimat bahagia dan ucapan selamatnya.
“Ya ampun Lish, itu punya kamu?”
“Syukur Alhamdulillah, mama senang melihatnya. Sebentar lagi mama bakal dapat cucu, kamu jaga baik-baik diri kamu sama kandungan kamu, apalagi disana sedang musim dingin.”
“Iya ma, terima kasih.” Alisha kembali mengetik pesan dengan lengkungan bibir yang tak pernah luntur di pagi hari ini.
“Lish,” sapa Dika begitu ia sampai di hadapan Alisha dengan sebuah kantong kresek putih berisi vitamin untuk Alisha.
Alisha mendongak dengan senyumannya dan segera menyimpan ponselnya di saku mantel sebelum menggandeng lengan Dika dan keluar dari klinik.
“Kamu tunggu dulu disini, aku kesana sebentar.” sela Dika begitu mereka keluar dari klinik seraya menunjuk sebuah toko souvenir di sebelah kiri bangunan klinik.
Alisha hanya mengangguk seraya menatap Dika yang mulai berjalan meninggalkannya di depan area klinik. Tidak lama Alisha menunggu, Dika telah kembali dengan sebuah payung di tangan yang menghalangi tubuhnya dari tetesan salju, dan Alisha lihat bahwa Dika kini telah memakai sarung tangan di kedua tangannya. Dengan langkah lebar Dika menghampiri Alisha dan menyimpan payung itu sejenak untuk memasangkan sepasang sarung tangan lagi di kedua tangan Alisha.
“Ayo pergi.” ajak Dika setelah ia selesai memasang sarung tangan Alisha. Tangannya kembali meraih gagang payung dan membagi payung tersebut dengan Alisha.
Namun sebelum berjalan lebih jauh lagi, Alisha tiba-tiba mengatakan bahwa ia merasa kembali lapar setelah melihat kedai pizza di seberang. Dengan patuh Dika mengabulkan permintaan Alisha dan mengabaikan sepedanya sejenak di tempat parkir area klinik.
“Aku pikir wanita hamil yang selalu merasa lapar tiba-tiba itu hanya omongan belaka, ternyata benar.” ucap Dika sembari merangkul bahu Alisha erat saat mereka akan menyebrangi jalanan yang lengang.
“Ya, kamu harus siap-siap jadi suami siaga kalau aku tiba-tiba selalu kelaparan.” kekeh Alisha seraya menatap rahang Dika dari samping dan mengabaikan jalanan di depannya. Dengan erat, tangan kanannya merangkul mencengkram mantel seraya merapat dengan Dika agar payung yang mereka gunakan bisa melindungi tubuh mereka dari tetesan salju yang dingin.
“Sepertinya begitu.” jawab Dika sembari menatap Alisha yang ketahuan masih menatapnya. Dengan senyuman tipis Dika memperlambat langkahnya diiringi dengan langkah Alisha yang ikut melambat.
“Sudah sampai.” beritahu Dika membuyarkan lamunan Alisha yang masih mengagumi pahatan wajah Dika yang terlihat semakin dewasa.
“Ehm, kalau begitu ayo kita masuk.” ujar Alisha sembari mengalihkan tatapannya dengan rona merah yang menghiasi pipinya. Entah kenapa Alisha bisa dengan terang-terangan memperhatikan wajah suaminya dengan lekat di tempat umum seperti ini.
“Selamat pagi.” sapa seorang pelayang laki-laki begitu mereka membuka pintu dan memasuki kedai dengan udara yang menguar hangat ke tubuh.
“Selamat pagi.” Dika membalas sapaan dengan menggunakan bahasa jerman yang sama.
Sementara Alisha hanya diam memperhatikan suasana kedai yang tak terlalu ramai.
“Cuaca yang sedikit buruk, kami memiliki rekomendasi makanan yang dapat menghangatkan tubuh kalian setelah berjalan di luar tadi.” Kali ini seorang pelayan wanita paruh baya menghampiri Dika dan Alisha yang baru saja duduk di meja ujung dekat dengan jendela depan. Wanita paruh baya itu menyerahkan buku yang berisi menu di kedai ke atas meja.
“Kamu mau pesan apa?” tanya Dika sembari membagi buku menu itu untuk Alisha lihat dan pilih.
“Aku mau ini,” Alisha menunjuk satu persatu menu makanan beserta minumannya dengan lengkap. Setelah selesai dan pelayan mencatatnya, Dika membuka ponselnya untuk mengecek jadwal keberangkatan kereta mereka menuju Interlaken.
“Sepertinya keberangkatan kita akan tertunda beberapa jam, cuaca yang buruk dan ada badai salju di beberapa titik menghalangi jalur kereta.” beritahu Dika sembari menyimpan ponselnya di atas meja, Dika menatap lekat Alisha setelah ia selesai dengan urusan ponselnya.
Alisha yang sedang asik menatap suasana di luar melalui jendela mengangguk seraya mengalihkan pandangannya dan menatap Dika yang terlihat menunggu jawabannya. “Kita bisa menunggu.” ucap Alisha sembari tersenyum simpul.
“Ya, ehm Lish, kamu pegang dompetku? Aku tidak memenukannya di mantelku.” tanya Dika saat ia ingin membayar menu pesanannya, kedua tangannya terus mencari keberadaan benda itu disetiap saku pakaiannya dan juga kantong kresek berisi vitamin milik Alisha, namun tetap saja dompet hitam miliknya tak juga ditemukan.
“Pagi ini aku belum pernah memegang dompetmu, jangan-jangan terjatuh saat kamu di toko souvenir atau saat berjalan menuju kemari?” tebak Alisha karena tidak mungkin Dika kehilangan dompetnya di klinik jika suaminya masih bisa membeli sarung tangan dan payung setelahnya.
Dika mengangguk mendengar tebakan Alisha, kemungkinan besar memang dompetnya terjatuh setelah ia beranjak dari kasir di toko souvenir.
“Aku akan mencarinya, kamu diam disini dan tunggu makanannya datang.” ujar Dika sembari memakai kembali mantelnya yang sudah ia lepas. Dika hendak pergi dari meja duduknya, namun seruan Alisha serta cekalannya menahan Dika yang akan pergi.
“Dik, tunggu. Pakai ini dulu.” titah Alisha sembari mengeluarkan belitan syal di lehernya dan memasangkannya ke leher Dika yang sudah membungkuk di depannya akibat tarikan yang cukup kuat.
Alisha mencoba mengabaikan Dika yang terus menatapnya dengan lekat saat dirinya tengah memasangkan syal di leher suaminya itu. Tatapan Dika sungguh membuat Alisha salah tingkah dan ingin segera menyelesaikan pekerjaannya.
“Ssudah.” ucap Alisha dengan gugup sembari memberanikan diri menatap mata Dika yang belum putus memandang dirinya. Cukup lama mereka bertatap-tatapan hingga akhirnya Dika memutuskan untuk mengakhirinya dengan senyuman sekaligus kecupan singkat di pipi kiri Alisha. “Terima kasih, aku tidak akan lama.” kata Dika seraya berjalan menuju pintu, Dika membukanya dan pintu langsung terdorong menutup sendiri hingga Alisha lihat Dika telah berada di luar menyebrangi jalan sembari menunduk untuk menemukan dompetnya yang sekiranya jatuh.
Alisha menghela nafas saat melihat Dika telah memasuki toko souvenir yang sempat Dika masuki tadi. Dirinya mulai kembali memindai isi kedai itu, kini suasana kedai benar-benar sepi karena hanya ada dirinya dan seorang pria yang memakai pakaian serba hitam di sudut seberang sana. Beberapa pelayan kedai yang tadi nampak kini menghilang entah kemana membuat Alisha was-was dan takut seketika.
Entah penglihatannya yang salah atau ia terlalu penakut, laki-laki yang duduk cukup jauh dari mejanya itu seperti tengah memperhatikannya sedari tadi. Meskipun secara sekilas Alisha lihat bahwa laki-laki itu mempunyai paras yang tampan, namun tatapannya yang tajam dan menyimpan sebuah kejahatan saat memperhatikannya membuat Alisha ketakutan dan berharap Dika segera kembali untuk menemaninya.
Untuk mengurangi rasa takut dan gugup yang melandanya, Alisha mencoba mengabaikan laki-laki yang kini secara terang-terangan menatapnya itu dengan memainkan ponselnya. Ia membuka pesan w******p yang datang dari Dina dari beberapa menit yang lalu.
“Bu guru,baru sehari pergi honeymoon udah dapet bayi dua minggu.”
Alisha tertawa kecil mengingat mungkin Dina mengetahui kabar kehamilannya dari pesan status mamanya yang baru saja ia lihat.
“Tapi kan nikanya udah sebulan!” balas Alisha yang sedikit tersinggung akan pesan Dina. Padahal ia bukan korban MBA atau semacamnya.
Tidak ada balasan lagi, Alisha pun memilih untuk menghubungi mamanya untuk melakukan video call. Setelah tersambung Alisha melambaikan tangannya di depan kamera ponsel dan mengucapkan kata rindunya kepada sang mama. Hingga kini Alisha benar-benar mengabaikan laki-laki asing yang masih satu ruang itu.
Seorang pelayan kemudian berjalan menghampiri meja Alisha dengan nampan berisi makanan pesanannya, Alisha tersenyum singkat kepada pelayan itu sebelum ia kembali berbicara kepada mamanya.
Tak lama berselang lama, pintu kedai kembali terbuka dan menampilkan Dika yang langsung tersenyum mengarah kepadanya. Dika berjalan ke arahnya dan duduk di kursi dengan meja yang sudah berisi makanan yang masih utuh dan belum disentuh oleh Alisha.
“Dompet kamu ketemu?” tanya Alisha begitu Dika duduk di kursi sampingnya. Terlihat Dika mengangguk seraya memperlihatkan dompetnya dari dalam saku mantel kepada Alisha. “Ternyata dompetnya jatuh di pintu keluar, untung saja pelayan toko melihatnya dan menyimpannya dengan baik.”
“Syukurlah,”
“Kenapa belum dimakan?” tanya Dika melihat satu porsi pizza medium yang dipesan bersama secangkir cokelat hangat dan teh hangat milik Dika. Dika kemudian mengambil teh hangat miliknya dan meminumnya perlahan.
Terlihat Alisha mengikuti gerakan Dika dengan membawa cangkir cokelat hangatnya dan ikut meminumnya.
“Setelah ini kita kembali ke hotel?” tanya Alisha sebelum ia menyuapi Dika dengan potongan pizza yang ada di tangannya. Dika mengangguk dengan mulut terbuka dan menggigit pizza tersebut sebelum sisanya dimakan oleh Alisha sendiri.
“Ini benar-benar enak.” kata Alisha sembari mengambil potongan pizza lagi dan memakannya dengan lahap tanpa memperdulikan Dika yang memperhatikan dan menunggu Alisha untuk kembali menyuapinya seperti yang pertama tadi. Namun sepertinya Dika harus makan sendiri kali ini karena Alisha tak kunjung juga memberikan makanannya, Dika pun mengambil satu potong dan memakannya sembari tersenyum melihat Alisha yang sangat antusias memakannya.
“Aku ingin membawa satu box lagi ke hotel, boleh?” tanya Alisha meminta izin kepada Dika. Dengan senang hati Dika menuruti keinginan Alisha seraya mengacak rambut panjangnya yang nampak tak keberatan sama sekali.
Perhatian Alisha kini benar-benar terfokus dengan rasa pizza di mulutnya yang belepotan sehingga mengabaikan sosok yang selalu memperhatikan dalam diam interaksi keduanya dari sudut kedai.