03

1963 Words
Dika POV “Nona, ini pesanan anda.” sahut seorang pelayan sebelum Aku dan Alisha pergi meninggalkan kedai. Alisha yang hanya mengerti pergerakan sang pelayan hanya mengangguk dan menerima kantong makanan yang berisi kotak pizza pesanannya, namun kemudian keningnya mengerut saat melihat pelayan itu menyerahkan satu cup cokelat hangat lagi untuknya padahal ia maupun diriku tidak memesan minuman. “Maaf, kami tidak memesan minuman cokelat hangat itu.” ucapku menggunakan bahasa Jerman yang digunakan di tempat itu saat menyadari kebingungan Alisha dan juga diriku. Pelayan perempuan itu sedikit menengok ke belakang sebelum berbicara kembali kepada kami, “Ah, kami memberikan bonus kepada pelanggan yang datang dicuaca sedingin ini.” "Toko ini sedang memberikan bonus." ucapku memberitahu Alisha. Alisha mengangguk dan mulai menerma cup minuman cokelat hangat itu seraya mengucapkan terima kasih menggunakan bahasa inggris. “Terima kasih, kami permisi dulu.” ucapku kemudian sembari menggiring Alisha keluar dari kedai. “Mereka sangat baik dan ramah.” Alisha berkata dengan antusias mengingat keramahan pelayan di kedai itu. Akupun hanya tersenyum menanggapinya. Saat ini Alisha tengah duduk dalam boncenganku menuju hotel kembali. Beruntungnya salju sudah tidak terlalu banyak yang turun dan jalanan tidak licin karena sudah dibersihkan oleh petugas setempat. “Kamu terlihat sangat senang.” kataku sembari sedikit menoleh ke belakang dan melihat Alisha yang sedang memeluk kantong pizza-nya dengan sebelah tangan sedangkan tangan yang lain terasa memegang mantelku dengan erat. “Tentu, apa kamu juga senang?” tanya Alisha yang dijawab dengan anggukkan olehku. Kami sampai di depan bangunan hotel dan segera memasukinya agar segera sampai di kamar yang berada di lantai lima. Sesekali aku memeriksa jam yang melingkar di tangan agar tidak terlambat untuk datang ke stasiun. Setelah berada di dalam hotel, kulihat Alisha langsung mendudukkan dirinya di sofa dan mengeluarkan makanan beserta minumannya di atas meja. Dengan segera Alisha membuka pizza yang masih menguarkan uap hangat itu. Ia kembali memakannya dengan lahap setelah sebelumnya ia memakan habis pizza di kedai tadi. “Kamu masih mau memakannya? Sebaiknya tunda sejenak, kita harus segera pergi ke stasiun kereta. Kamu bisa memakannya saat sudah berada di dalam kereta.” saranku seraya berjalan tergesa menghampiri lemari dan membuka koper untuk memasukkan barang-barang yang sempat dikeluarkan karena kebutuhan semalam. “Tapi nanti pizza-nya keburu dingin, Dik.” ucap Alisha yang memprotes dengan mulut yang penuh dengan pizza. “Dari pada terlambat, Lish.” Aku berjalan menghampiri Alisha dan hendak mengambil handuk yang tersampir di sofa, melihat Alisha yang masih memegang potongan pizza-nya membuatku mengambil sisa pizza-nya lalu kumasukkan ke dalam mulut. Hal itu membuat Alisha merengut tak suka dan memandangku penuh permusuhan. Tanpa merasa bersalah kuacak rambutnya yang semakin membuat wanita itu merajuk. Kemudian aku kembali menghampiri koper di atas ranjang dan memperhatikan Alisha yang tengah membungkus kembali kotak pizza-nya dan memilih bersidekap dalam diam memperhatikan diriku yang begitu cepat merapikan barang-barang ke dalam koper. Setelah dirasa selesai aku kembali menghampiri Alisha dan mengulurkan tangan untuk diterima olehnya. Dengan patuh walaupun dengan wajah kusut Alisha menyambut tangan itu dan pergi keluar dari hotel setelah memastikan tak ada barang yang tertinggal. Aku kemudian mengunci kamar hotel sebelum diserahkan ke petugas hotel. Kami berjalan menyusuri lorong dengan gerak cepat. Alisha nampak sama sekali tak kerepotan meski dengan setia tangannya memeluk engan kiriku dan membawa tas kecil beserta kantong pizza-nya, berbeda dengan diriku yang membawa koper beserta tas besar. Aku tidak mengeluh dan merasa direpotkan karena aku tidak mau menambah beban istriku. Rasanya juga nyaman melihat Alisha yang selalu menempel erat di sisiku. Membuatku tak khawatir untuk selalu mengawasinya dari tatapan pria asing. “Apa stasiunnya sangat jauh?” tanya Alisha begitu kami menaiki sebuah taxi yang sudah dipesan sebelumnya. “Tidak terlalu jauh.” jawabku sembari menoleh ke sisi disaat pundakku merasakan sebuah beban, terlihat Alisha menyenderkan kepalanya di pundakku dengan tangannya yang setia mengait di lengan Dika. Tak lupa juga kotak pizza yang setia berada di atas pangkuannya. “Kamu lelah?” tanyaku saat melihat mata sayu Alisha yang akan kembali memejamkan mata. Alisha hanya menjawab dengan gumaman yang menunjukkan bahwa ia memamg merasa lelah dan mengantuk. Padahal baru beberapa jam yang lalu Alisha membuka matanya dari tidur. Mungkin karena cuaca yang dingin ditambah aktifitas yang padat, dan tak lupa dengan kehamilannya membuat Alisha cepat merasa lelah. Aku membenarkan posisi kepala Alisha menggunakan tangan yang terbebas agar kepala Alisha tidak terlalu menunduk ke depan yang akan menyebabkan leher kaku disaat terbangun nanti. Kubiarkan Alisha tidur sementara aku diam menatap jalanan yang kami lewati. Begitu sampai di stasiun, aku segera membangunkan Alisha yang langsung terjaga dan menanyakan sesuatu, “Dik, mana pizza-nya?” tanya Alisha dengan kepala yang mengedar mencari makanan yang dibawanya sedari tadi. “Sudah aku habiskan.” kataku sembari menahan tawa saat melihat Alisha yang kebingungan. Dan mendengar pengakuanku membuat Alisha membulatkan mata terkejut dan tangannya dengan cepat mengayun memukul bahuku. Aku yang sedari tadi menahan pegal dan kesemutan membuatku meringis dan menghindar seraya meminta Alisha menghentikan pukulan itu. Namun Alisha tak mau berhenti membuatku terpaksa memberikan kantong pizza itu setengah melempar kepadanya. Alisha merengut melihatku yang melempar makanan itu dengan asal. Aku mengabaikannya karena bahuku masih terasa sakit. Kulihat Alisha segera memeriksa kondisi pizza-nya dan sepertinya ia tidak akan memaafkanku jika benar aku memakannya habis. Alisha menghembuskan nafas lega saat melihat pizza-nya masih utuh dari yang terakhir ia makan. Kemudian ia melihatku yang masih meringis seraya mengusap bahu yang digunakan sebagai penyangga saat dirinya tidur. Sepertinya Alisha mengerti keadaanku, dengan perasaan kasihan dan khawatirnya Alisha ikut mengusap bagian bahuku yang terasa sakit itu. “Kamu sih, nyebelin!” gerutu Alisha tak mau mengaku salah dengan tangan yang masih mengusap bahuku. Aku hanya tersenyum meringis saat mencoba menggerakkan engsel bahuku yang masih kaku. “Ekhm …” Deheman cukup keras dari sopir taxi di luar sana membuat gerakan tangan Alisha terhenti dan menengok dari kaca jendela bahwa sopir itu sedang menunggu kami keluar dari mobilnya. Dengan sigap Alisha membawa tas beserta kantong pizza-nya keluar dari mobil dan menyuruhku untuk ikut turun juga bersamanya. Aku memita maaf kepada sopir itu dan memberikan sejumlah uang kepadanya. Setelah menyerahkan uang pembayaran sekaligus tip, taxi itu pergi. Kembali kubawa tas beserta koper untuk masuk ke dalam stasiun bersama Alisha di sampingku. Mengabaikan Alisha yang kekeuh ingin membawa tas besarnya karena tidak ingin membuat bahuku semakin sakit. Aku menyerahkan tiket masuk kepada petugas dan kami langsung memasuki kereta yang baru saja tiba dan berhenti. tepat sekali kami datang sehingga kami tak perlu lama menunggu atau terlambat datang. Setelah menemukan kursi duduk yang sesuai, aku menyuruh Alisha untuk segera duduk sementara aku menyimpan tas di bagasi atas kereta. Setelah selesai, Alisha kembali berdiri membuatku keheranan. “Aku ingin duduk di sisi ini agar aku tidak tidur di bahumu yang masih sakit.” “Jadi kamu mau membuat kedua bahuku sakit?” tanyaku dengan nada jenaka, bermaksud menggodanya. Alisha mencebikkan bibirnya kesal, membuatku segera menyetujui permintaannya. “Baiklah, aku akan duduk disana.” Tunjukku ke kursi yang berada di dekat dengan jendela. Alisha menghela sedikit agar aku bisa melewatinya. Setelah duduk dengan nyaman, Alisha ikut mendudukkan dirinya dan kembali menyimpan kepalanya di bahu kananku. “Sepertinya benar, kamu mau membuat kedua bahuku pegal dan kesakitan.” Aku terkekeh melihat Alisha yang kembali merajuk kepadaku dan mulai menjauhkan kepalanya. Alisha mengabaikanku dengan kembali membuka pizza-nya dan memakannya dengan perasaan kesal. Aku menghela nafas lelah, Alisha benar-benar merajuk sekarang. Dan aku tak tahu bagaimana caranya agar Alisha berhenti merajuk. Dengan perlahan aku mencoba menyenderkan kepala di bahu Alisha, aku mendongak untuk menatap Alisha yang ternyata masij memasang wajah masamnya. Dengan gemas aku menegakkan kembali tubuhnya dan membawa kepala Alisha untuk bersandar di bahuku. Tentu dengan rajukan yang masih tersisa, Alisha memberontak untuk menjauh. Namun aku tak mau melepaskannya begitu saja hingga kami membuat keributan kecil di dalam gerbong kereta. “Shutt … mereka memperhatikan kita.” bisikku di telinga Alisha yang mulai lemah terhadap gerakan berontaknya. Dengan posisi yang masih kurengkuh, Alisha melahap kembali pizza yang ada di tangannya dan mencoba untuk menikmati posisinya saat ini. “Kamu membuatku kesusahan!” gerutu Alisha disela kunyahannya. Aku hanya terkekeh merespon ucapan kekesalannya itu. Kereta mulai melaju dengan halus tanpa menimbulkan guncangan sedikitpun. Kepala Alisha sedikit bergerak mencari tempat yang lebih nyaman di atas permukaan dadaku. Kemudian kami terdiam satu sama lain tanpa ada yang memulai kembali pembicaraan. Hingga kemudian Alisha mulai bersuara menyuarakan isi hati dan pikirannya dengan sedikit ragu. “Dik…” Aku bergumam menanggapi, menunggu Alisha untuk melanjutkan ucapannya. “Gimana kalau … ada zombie disini? tanya Alisha seraya mengeratkan pegangan tangannya di permukaan lengan mantel yang kupakai. Aku terkekeh pelan seraya melihat pemandangan bersalju yang dilewati melalui kaca jendela. “Itu hanya ada di film.” ucapku menenangkan Alisha, aku masih teringat saat Alisha mengajak dirinya untuk menonton dari laptopnya sebuah film zombie yang berlatar di sebuah kereta. Tak hentinya Alisha berteriak ketakutan saat film tersebut diputar, bahkan setelah selesai, Alisha terlihat masih sangat ketakutan dengan seluruh tubuh yang bergetar menggigil ketakutan hingga terbawa mimpi. “Kalau beneran ada, gimana?” tanya Alisha yang masih penasaran dengan apa yang ada dipikirannya meskipun ia tengah gelisah sekaligus ketakutan. “Kita lawan, lakukan seperti yang dilakukan pemeran utama saja.” Dengan sembarang aku menjawab. Meski aku tak yakin dengan perkataanku sendiri. “Ish, pasti kamu ikut jadi zombie, kamu kan enggak jago berantem.” Aku tertawa saat mendengar Alisha mengatakan aku berkelahi dengan zombie. Membuatku ikut membayangkan bagaimana jika aku berkelahi dengan zombie tersebut, ada-ada saja istrinya itu. “Sudah, jangan banyak berpikir yang enggak-enggak, deh. Kamu lagi hamil, aku enggak mau kamu stress karena mikirin zombie.” ucapku seraya mengeratkan rengkuhanku terhadap tubuh Alisha. “Hmm, lepasin, aku mau makan lagi.” Alisha mencoba keluar dari kukunganku dan kembali fokus dengan pizza dalam pangkuannya meskipun pizza itu sudah terasa dingin. “Minuman cokelatnya dimana, Lish?” tanyaku saat aku merasa haus dan ingin minum sesuatu. Dan aku teringat dengan cokelat hangat yang diberikan pihak kedai kepada mereka. “Sebentar, eh kok enggak ada? Enggak ada, Dik. Pasti tertinggal di kamar. Gimana, dong?" tanya Alisha gelisah. Mungkin ia menyayangkan minuman cokelat gratisnya tertinggal dengan sia-sia. “Air yang ada di tas kamu, masih ada?” tanyaku mengingatkan Alisha akan air mineral yang ia bawa dalam tas kecilnya yang selalu Alisha bawa. “Sebentar,” Alisha mulai membuka tasnya dan mengambil botol mineral yang airnya tersisa setengah, segera ia memberikannya kepadaku yang menunggu. Tak lama berselang, seorang perempuan muda dengan seragamnya menghampiri kursi kami dengan sebuah nampan yang berisi dua buah cup minuman. Kemudian ia menyela Alisha yang sedang memakan pizza-nya dengan ramah, “Maaf mengganggu waktu kalian, kami sedang merayakan hari jadi perusahaan transportasi kami dan untuk hari ini kami memberikan minuman secara gratis untuk setiap penumpang.” Alisha menoleh kepada Dika yang ikut mendengarkan, dirinya yang tidak mengerti memilih diam dan mempersilahkan kepadaku untuk menjawabnya. “Ah, begitu. Terima kasih atas minumannya.” ucapku sebelum perempuan itu menyerahkan satu cup minuman kepada Alisha dan kepadaku setelahnya. Alisha yang masih kebingungan menatap bergantian Dika dan cup minuman di tangannya yang menguarkan aroma cokelat yang khas. Setelahnya perempuan itu kembali ke gerbong semula ia datang. Alisha kembali menanyakan perihal apa yang sudah dibicarakan olehku. “Sebenarnya ada apa, Dik? Kenapa dia memberikan minuman untuk kita? Apa kamu yang memesan?” “Mereka sedang merayakan ulang tahun perusahaan dan sedang membagikan minuman gratis bagi penumpang, hanya untuk hari ini saja.” Alisha terdiam sejenak sebelum ia melihat kepada penumpang lain yang juga tengah dihampiri oleh petugas kereta yang membawa beberapa jenis minuman. Alisha mengangguk tanda mengerti kemudian membuka cup cokelat panasnya dengan sedikit kekehan. “Sepertinya hari ini kita banyak dapat minuman secara cuma-cuma.” ucap Alisha sebelum mencicipi cokelat panasnya secara perlahan. “Rasanya sama seperti yang di kedai tadi, Dik. Mau coba?” tawar Alisha yang diterima olehku setelah sebelumnya ia meminum minuman teh hangat pemberian itu. Aku menyerahkan cup tehku kepada Alisha dan aku mulai meminum cokelat panas milik Alisha. Secara bergantian kami meminum masing-masing minuman kami. “Tehnya pun rasanya sama.” ucapku setelah selesai mencicipi cokelat panas milik Alisha, dan kembali dengan teh hangat di tanganku. Alisha mengangguk membenarkan perkataanku, ia masih meresapi rasa teh hangat yang terasa pas dan nikmat dalam lidahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD