Pukul sebelas waktu setempat, Alisha dan Dika telah sampai di sebuah bangunan pondok penginapan di sebuah desa yang terlihat menakjubkan dengan gunung-gunung dan tebing-tebing berselimut salju putih yang melintang mengelilingi desa kecil itu.sebenarnya tempat yang didiami mereka berdua itu adalah sebuah rummah bertingkat dua yang memiliki gaya yang khas dengan perumahan gaya eropa kuno.
Alisha benar-benar merasa sedang di alam khayalan yang selama ini ia impikan dan pikirkan. Dan yang membuat Alisha begitu bahagia bahwa ini benar-benar nyata, bukan hanya sekedar lamunan semata.
Berkali-kali Alisha mengarahkan kamera di ponselnya dari atas balkon untuk membidik pemandangan gunung dan perumahan warga setempat yang unik untuk dikirimnya ke laman social media miliknya. Setelah merasa puas memotret pemandangan di luar, kini saatnya Alisha berselfie ria bersama Dika yang acuh dengan ponselnya sendiri.
Alisha menyuruh Dika untuk berdiri dan sejenak melepaskan ponselnya untuk ikut berselfie dengan latar belakang pegunungan es yang tinggi. Dengan senyuman tipisnya Dika menuruti keinginan istrinya untuk ikut berselfie, meskipun ia enggan.
“Tolong foto-in aku, ya?” kali ini Alisha meminta kepada Dika untuk memfoto dirinya yang tengah menikmati pemandangan di depan sana. Dengan patuh Dika mulai membidik Alisha yang sudah berpose dalam kamera ponselnya. Dika tersenyum kecil melihat hasil potretannya membuat Alisha ikut penasaran dan ingin melihatnya juga.
“Sana bergaya lagi.” Titah Dika saat Alisha hendak berjalan mendekatinya. Tanpa banyak bicara Alisha kembali ke pinggir balkon menumpukan tangannya di pagar pembatas seraya memandang pemandangan di depannya, kali ini Alisha bergaya seolah tak menyadari kamera.
Setelah merasa puas Alisha menyudahinya dan meminta kembali ponselnya dari tangan Dika. “Makasih.” ucap Alisha sembari tersenyum tak jelas memandangi layar ponselnya.
Dika kembali duduk di kursi ayunan yang besar yang terdapat di balkon, kembali mengambil ponselnya untuk bermain game yang sering ia lakukan jika mempunyai waktu luang di tengah-tengah aktifitasnya yang padat. Dika kini merasa kursi yang sedang didudukinya itu bergoyang sedikit karena Alisha ikut duduk di sampingnya.
Spontan Dika memiringkan kepalanya hendak bersandar di bahu Alisha dengan perhatian yang masih focus dengan game dalam ponselnya. Terdengar Alisha mendengus tak suka saat perhatian Dika lagi-lagi teralihkan oleh game-nya. “Kenapa kamu malah asik main game?! Kamu tidak mau menyia-nyiakan pemandangan indah itu?”
Dika seraya tersenyum misterius tanpa mengubah posisinya .“Tidak, aku punya pemandangan yang lebih indah dari itu dan aku selalu bisa melihatnya berada disekitarku.”
“Pemandangan apa?!” selidik Alisha yang merasa curiga dengan kata-kata Dika barusan. “My wife.” gumam Dika yang terdengar jelas di telinga Alisha.
Pipi Alisha merona mendengar kalimat yang diucapkan Dika tadi, namungerakan bibirnya yang mencebik membuat perhatian Dika teralihkan karena sepertinya Alisha tidak menyukainya. “Serius!” tekan Alisha seraya mendorong kepala Dika menjauh dari bahunya.
“Serius.” jawab Dika seraya kembali menegakkan tubuhnya dan menyimpan ponselnya di meja depan sebelum beralih menghadap Alisha. kedua tangan Dika kini terulur menangkup wajah Alisha agar ia bisa menatap istrinya yang tengah merona dengan intens. “Aku serius.” ulang Dika tanpa memutus tatapannya terhadap Alisha yang tengah bersemu malu.
“Kenapa enggak dilanjut game-nya?” tanya Alisha mengalihkan pembicaraan. Matanya bergerak gelisah tanpa mau melihat sosok tampan di hadapannya.
“Sudah menang.” Dika berkata dengan nada bangganya seraya melepas kedua tangannya dan mengajak Alisha untuk kembali ke dalam kamar.
“Sebaiknya kita masuk. Udaranya sangat dingin sampai membuat pipi kamu merah banget.”
Perkataan Dika sungguh-sunggu telah membuat pipi Alisha semakin merah merona. Meskipun beberapa kali Dika telah melayangkan kalimat yang mengandung romantisme, namun Alisha tidak bisa menolaknya bahwa ia masih saja tidak terbiasa dengan hal itu dengan reaksi tubuhnya selalu berlebihan.
Alisha memilih menundukkan kepalanya seraya berjalan mengikuti Dika dan membiarkan helaian rambutnya menghalangi wajahnya yang masih saja memerah.
****
Subuh pagi yang terlalu dingin bagi Alisha membuat ia ingin segera kembali mengurung dirinya di balik selimut tebal di ranjang sana. Setelah melakukan shalat subuh bersama Dika dan mencium tangan sang suami dengan khidmat, Alisha segera beranjak menuju kasurnya dengan mantel yang masih membungkus dirinya dengan erat.
Alisha menutup seluruh tubuhnya menggunakan selimut mengabaikan Dika yang terkekeh melihat dirinya yang begitu kedinginan. Sementara Dika yang telah selesai menertawakan tingkah Alisha membereskan kembali peralatan sholatnya dan berjalan menuju ranjang menghampiri Alisha disana untuk ikut bergabung. Namun sebelum Dika sampai, deringan pada ponselnya menunda langkah Dika dan berbalik menuju sofa di sudut dimana ia menyimpan ponselnya secara sembarang semalam.
Alisha sedikit mengintip dibalik selimut yang ia turunkan sedikit untuk melihat Dika yang tengah menerima telepon seraya membelakanginya. Sepertinya itu telepon dari rumah sakit ataupun rekan kerjanya yang lain membuat Alisha semakin penasaran dan mendudukkan dirinya dengan selimut yang masih membungkusnya hingga puncak kepala.
“Siapa, Dik?” tanya Alisha yang tengah bersandar di kepala ranjang, setelah menunggu beberapa saat akhirnya Alisha berani bertanya karena sepertinya Dika akan segera menyudahi panggilannya.
“Dokter Faisal, dia memberitahuku mengenai rencana mengenai praktek lab bulan depan.” ucap Dika setelah mematikan sambungan teleponnya.
Alisha sedikit bergeser memberi ruang kepada Dika yang kini duduk di sisi ranjang dekat dengannya. “Kapan ia akan pensiun? Aku pikir ia sudah terlalu renta untuk bekerja.” ucap Alisha mengingat seorang dokter tua yang masih mengabdikan dirinya terhadap rumah sakit yang sama dengan Dika. Ia cukup mengenal baik dokter itu sejak saat ia duduk di bangku SMA saat dirinya yang sakit dan dirawat di rumah sakit itu.
“Aku tidak tahu.” jawab Dika sembari mengedikkan bahu.
Dika mulai merebahkan dirinya di samping Alisha dan ikut bersembunyi di balik selimut menunggu rasa dingin sedikit menghangat untuk mereka memberanikan menghirup udara luar.
“Dik, jangan pernah tinggalkan aku.” ucap Alisha dengan sedikit mengiba dan terdengar nada manja yang masih sama seperti hari-hari pertama mereka bertemu.
Dika tersenyum seraya mengelus rambut Alisha dengan lembut. “Aku pasti akan meninggalkanmu, baik itu untuk pergi bekerja atau untuk hal lainnya. Tapi aku tidak akan lagi meninggalkan kamu tanpa kejelasan yang pasti, aku akan selalu memberitahumu dan mengatakannya dengan jujur. Aku tidak mau kamu terus menunggu seperti saat itu, aku sangat menyesalinya.”
Alisha tersenyum melihat senyuman hangat Dika yang menenangkan, ucapan yang Dika ungkapkanpun membuat hatinya menjadi hangat dan tenang meskipun ia sendiri bertanya-tanya kenapa dirinya tiba-tiba bertanya seperti itu kepada Dika.
Satu hal yang Alisha do’a dan harapkan agar semua firasat yang tiba-tiba muncul dalam benaknya tidak menimbulkan sesuatu yang mengkhawatirkan nantinya.