Saat sinar matahari samar-samar muncul menghangatkan udara di Interlaken ini, Alisha mencoba mengajak Dika untuk berkeliling desa menggunakan sepeda yang ia lihat di bawah saat mereka pertama kali datang ke pondok. Rumah bertingkat dua itu telah Dika sewa selama lima hari mereka berada disana. Tentu fasilitas pondok yang lengkap membuat Alisha dan Dika merasa nyaman berada disana.
Kini mereka berdua sedang memperhatikan air terjun yang begitu tinggi yang berasal dari sebuah tebing yang curam dengan volume air yang sangat deras hingga Alisha samar-samar dapat mendengar suara Dika yang pelan membuat Dika berulang kali menglang kata yang sama kepada Alisha.
“Kita lanjutkan lagi, ya?” teriak Dika sampai mengulang tiga kali sebelum mendapat anggukkan persetujuan dari Alisha yang sudah puas dengan beberapa hasil potretan dalam ponselnya.
Dika kembali melajukan sepedanya berkeliling tanpa mengetahui arah dan tujuan, karena Dika mengingat jalan pulan yang telah ia lalui, mereka tidak khawatir akan tersesat, apalagi Dika cukup menguasai bahasa daerah sekitar sehingga mereka tidak sungkan bertanya kepada masyarakat sekitar jika mereka tersesat.
Hari-hari selama berada di desa pegunungan itu mereka lalui dengan mengunjungi beberapa tempat yang sangat menarik dan tidak dapat ditemui di Indonesia. Tinggal berdua dengan menghabiskan rutinitas berkeliling membuat Alisha merasa tak sadar sudah berada dipenghujung hari mereka berada di Swiss. Alisha benar-benar masih ingin menikmati pagi di desa itu meskipun udara dinginnya kurang ia sukai, namun melihat pemandangannya yang menyejukkan mata membuat Alisha tak ingin beranjak dari sana.
Namun Alisha harus kembali ke realita kehidupan yang sebenarnya. Ia harus segera kembali dan mengajar di sekolah dengan anak-anak yang begitu merindukannya, terbukti dengan puluhan pesan yang masuk dari orang tua murid yang menanyakan kepulangannya karena anak-anak terus saja menanyakan kehadirannya. Alisha merasa terharu dengan sikap murid-muridnya yang menggemaskan namun kadang membuatnya sakit kepala itu. Sementara untuk suaminya, Dika harus kembali bekerja di rumah sakit dengan rekan-rekan sesama dokternya untuk melakukan penelitian dan pemeriksaan pasien.
Profesinya yang menjadi seorang dokter mikrobiologi klinik membuat Dika sangat sibuk di dalam lab dan juga ruang ICU untuk pemeriksaan pertama terhadap pasien yang masuk. Sering kali Dika pulang larut malam dengan keadaan lelah membuat Alisha tak tega melihatnya, namun bagaimana lagi, sudah menjadi tugasnya mengabdi untuk menjadi seorang dokter yang bertanggung jawab seusai dengan sumpah janji yang telah diucapkannya.
Saat ini mereka sedang berada di dalam mobil Dika yang dikendarai oleh Alex yang sengaja menjemput kepulangan mereka. Kondisi Alisha yang cukup tidak baik membuat Dika sedikit kelabakan saat melihat wajah pucat Alisha yang mengeluh merasakan sakit kepala dan mual. Tak hentinya Dika memijat kening dan tengkuk Alisha secara bergantian setelah mengolesinya dengan minyak hangat yang tersedia di dashboard mobil.
Berkali-kali Alex menatap Alisha dan Dika melalui kaca depannya, ikut merasa khawatir melihat kondisi Alisha yang sangat lemah dalam dekapan Dika. Kini mobil mereka telah sampai di halaman depan rumah Dika yang bersebrangan dengan rumah orang tua Alisha. Dengan segera Dika membawa Alisha keluar dengan cara menggendongnya. Mengabaikan Alex yang mengeluarkan barang bawaan mereka sendirian di belakang bagasi mobil.
“Ko, mana dede bayinya? Kata mama Kak Alish punya bayi.” Alana berkata dengan polos sembari menatap mamanya dan Dika bergantian.
“Iya om, Alex mau lihat!” seru Alexis semangat diikuti dengan anggukkan adiknya, Alexa.
Sambutan ocehan adik iparnya beserta anak-anak dari Alex sedikit Dika abaikan mengingat ia sedang menggendong Alisha ang masih kesakitan ke dalam rumah dengan diikuti anggota keluarga yang ada disana. Kemudian Alisha dibaringkan di atas ranjang kamar dan Dika segera membuka mantel tebal yang masih dipakai Alisha agar udara bisa terserap dan keluar kembali dengan normal.
“Sepertinya Alisha masuk angin, mama akan buatkan minuman hangat supaya membaik.” Mama Alisha segera berlari ke dapur rumah Dika yang semalam ia bereskan bersama anaknya sembari menunggu kepulangan mereka.
“Lish, apa masih pusing? Bagaimana dengan rasa mualnya?” tanya Kina yang duduk di dekat ujung kaki Alisha seraya memijatnya menggunakan minyak hangat.
“Sedikit.” lirih Alisha dengan lemah. Kepalanya yang terasa sakit membuat dirinya tak mampu hanya sekedar untuk membuka mata.
Mama Alisha kembali dari dapur dengan membawa nampan berisi dua gelas minuman untuk anaknya. “Terima kasih, ma.” ucap Dika seraya menerima gelas yang berisi wedang jahe untuk Alisha minum. Namun Alisha menolak minuman itu dengan gelengan kepala membuat Dika mengganti gelas yang berisi air putih hangat. Kali ini Alisha mau meminumnya hingga tersisa setengah.
“Ma …” gumam Alisha setelah kembali berbaring.
Mama Alisha menjawab seraya menghampiri Alisha dan duduk di samping wajah Alisha yang kini berbaring miring. Dika yang dudukberdekatan bergerak sedikit guna memberi ruang kepada mama mertuanya yang ingin memberikan perhatian seorang ibu kepada anaknya yang sedang sakit.
“Perut Alisha kamu olesi minyak hangat, Dik.” ucap Mama Alisha yang langsung dituruti oleh Dika yang masih terdiam memperhatikan.
Tak lama berselang, Alex datang dengan membawa sebuah kantong kresek besar dan menyimpannya di meja yang berada di dalam kamar. “Aku sudah membeli bubur ayam di depan komplek, setidaknya Alisha harus kembali mengisi perutnya.” Kata Alex seraya duduk dengan mata yang memperhatikan Alisha dengan tatapan kasihan.
Kemudian sosok kecil berjalan menghampiri Alex setelah tadi duduk di atas kasur menemani mamanya. “Papa, Lexa mau.” ucap Alexa dengan pelan menatap Alex dengan pandangan mengibanya membuat Alex merasa gemas dan membawa putri keduanya ke dalam pangkuannya dan menciumnya bertubi-tubi.
“Mama ambilkan wadahnya sekalian untuk Tante Alish.” kata Kina sembari beranjak pergi keluar kamar, namun hal itu segera dicegah oleh Alex yang masih memangku Alexa dengan perkataannya, “No, sweetheart, biarkan aku dan Lexa yang membawanya. Kamu tetap diam disini, benar begitu, baby?” Alexa yang mendengar penuturan Alex hanya bisa mengangguk meskipun ia sedikit kesulitan mencerna perkataan ayahnya barusan.
Melihat papa dan adiknya yang akan pergi ke dapur membuat Alexis ingin mengikuti dan berseru seraya meninggalkan ponsel yang sedang dimainkannya bersama Alana. “Alex mau ikut!”
“Ayo, princess.” ajak Alex di ambang pintu menunggu putri pertamanya yang berlari menghampirinya.
*****
“Bagaimana keadaan Alisha?” Alex bertanya saat melihat Dika berjalan menghampirinya yang sedang berada di halaman belakang rumah Dika. Ia terlihat sedang kesibukan menyuapi kedua anaknya yang ingin makan disana seraya bermain bersama dua kelinci besar peliharaan Alisha.
“Sudah lebih baik.” Dika menjawab sembari berjalan dan duduk di kursi rotan yang ada disana. Sesekali bibir Dika terangkat membentuk senyuman saat melihat Alex yang berlarian mengejar anak-anaknya yang ingin disuapi namun harus dikejar terlebih dahulu.
“Sepertinya sangat kerepotan.” ucap Dika saat Alex ikut duduk di kursi rotan di sampingnya dengan pandangan yang terus mengawasi kegiatan anak-anaknya.
“Sudah jadi rutinitas nyuapi mereka sambil berlari, semulanya Kina yang selalu melakukan itu, namun kini dia sedang hamil.” Alex mengedikkan bahunya sebelum bersandar di kursi dengan mangkuk bubur yang masih tersisa.
“Kamu harus bersyukur bisa memiliki mereka, apalagi sebentar lagi anakmu akan bertambah.” Alex tersenyum lebar mengangguk membenarkan perkataan Dika.
“Gue selalu mensyukuri hal itu.” gumam Alex sebelum raut mukanya yang tadi berseri perlahan memudar dan berganti dengan wajah murungnya. “Tapi, jujur aja, gue takut … gue takut nantinya anak-anak perempuan gue nemuin laki-laki b******k yang gak bener, gue gak mau kejadian masa lalu orang tuanya akan dialami mereka, gue gak mau anak-anak gue kena karma gue dulu. Gue gak mau nasib Kina yang hidup sama lelaki b******k ini keulang lagi.”
“Enggak ada hukum karma, selama kamu mendidiknya dengan benar dan ada batasan dalam pergaulan, mereka akan bisa melindungi diri selain dirinya yang juga dilindungi orang tuanya. Kadang perlindungan orang tua ada batasnya karena anak-anak harus mengeksplore pengetahuannya. Masa remaja emang ujian terberat bagi semua orang, semua hal yang diketahui secara sekilas selalu bertambah keingintahuannya membuat seseorag kadang diluas batas, dan sekarang kamu udah dewasa, kamu udah berhasil berubah. Menjadi suami dan orang tua yang baik juga susah, tapi kamu sudah berusaha melakukannya.”
Alex mengangguk menghembuskan nafas beratnya seraya memandang setengah melamun kepada kedua putrinya yang sedang bermain. Hingga suara jeritan Lexa diiringi gelak tawa Alex dan Dika membuyarkan lamunan sang ayah yang segera berlari menghampirinya. “Papa! Tomi ee’ di tangan Lexa!!” Alexa berteriak dengan tangisan frustasinya seraya mengibas-ngibaskan kedua tangannya yang tertempeli beberapa kotoran kelinci yang tak mau lepas.
“Loh, kenapa kamu pegang tubuh belakang Tomi, jadinya kamu nangku ee’ Tomi, kan.” Alex berkata dengan menahan tawa yang menggelegar melihat ekspresi wajah Alexa yang jijik melihat kotoran hangat milik Tomi yang mengotori tangannya yang di arahkan ke hadapan Alex.
“Kata cici, buntut Tomi ada mutiaranya!” sungut Alexa dengan wajah sembabnya, matanya memandang kesal kepada Alexis yang masih tertawa memegangi perutnya yang sakit. Sementara Alex, ia hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan anak pertamanya yang jahil terhadap sang adik.
Alexis terlihat bergidik ngeri melihat kotoran di tangannya sehingga meminta kepada sang ayah untuk menggendongnya dan membawanya membersihkan tangan melalui gerakan tangannya yang terulur.
Dengan sigap Alex meraih Alexis ke dalam gendongannya tanpa menyentuh tangannya yang kotor. Alex berjalan mendekati kran air yang terdapat di halaman belakang. Dengan aliran air yang deras, Alex mulai mengarahkan lengan Alexa mendekati air dan membersihkannya dengan sabun cuci tangan yang berada di dekatnya setelah kotorannya terlepas dari lengan Alexa.
“Sudah, jangan nangis lagi.” Alex memberikan usahap lembut di kepala Alexa setelah ia mengeringkan tangannya dan tangan anaknya menggunakan lap tangan yang tersedia. Kembali Alex menggendong Alexa yang menyembunyikan wajahnya di lekukan leher Alex karena merasa malu akibat kejahilan sang kakak. Apalagi disana terlihat Dika yang melihatnya dengan senyuman aneh.
“Mau makan bubur lagi?” tanya Alex saat ia sudah duduk di kursi dengan Alexa yang masih menyembunyikan diri. Dalam dekapannya Alexa menggeleng dengan isakan tergugu membuat Alex merasa kasihan dan tak tega.
“Alex, jangan jahil lagi.” Tegur Alex kepada Alexis yang kini berjalan menghampiri sang papa dan duduk di sebelahnya seraya memeluk Alexa yang masih menangis.
****
“Kenapa dengan Alexa?” tanya Alisha yang sudah merasa lebih baik. Kini ia sedang duduk di ranjang ditemani mamanya dan Kina, mengobrol mengenai kehamilan dan lain sebagainya. Kini saat melihat Alex dan Dika kembali ke kamar dengan anak-anak yang menekuk wajahnya membuat ketiga perempuan itu bertanya-tanya.
“Mama!” seru Alexa seraya mengulurkan tangannya meminta diturunkan ke pangkuan Kina yang langsung menerimanya. Setelah menurunkan Alexa, Alex sendiri mengajak Alexis untuk duduk di sofa bersamanya bergabung dengan Alana yang masih asik menonton video di dalam ponsel mamanya.
“Mama, cici jahat! Lexa mau mutiara, tapi cici malah ngasih ee’ Tomi!” adu Alexa dengan nada memprihatinkan membuat ketiga peremouan itu menahan diri untuk tidak tertawa keras.
“Ee’ Tomi kan sama bulat, meskipun hitam, tapi mutiara juga ada yang warnanya hitam.” jawab Alexis polos membuat tawa ketiga perempuan itu tak bisa dibendung lagi. Hal itu membuat Alexa terlihat meringis dan hendak menangis kembali, namun dengan segera Kina menenangkannya.
“Sudah, jangan nangis lagi. Nanti mama belikan mutiaranya.” ucap Kina seraya mengecup puncak kepala Alexa dengan sayang. Alexa mendongak menatap mamanya yang menjanjikan sesuatu dengan mata yang bersinar penuh pengharapan. “Lexa mau kalung, yang ada di sekolah cici.”
Alexa ternyata menginginkan mutiara yang sudah berbentuk kalung seperti yang sudah dilihatnya di sebuah penjual aksesoris kaki lima saat mengunjungi sekolah Alexa beberapa hari yang lalu.
“Kalau beli di toko? Lexa mau?” tanya Alex agar ia tak salah ketika mereka membelinya.
“Enggak mau, mau beli di sekolah cici.” jawab Alexa dengan gelengan kepala polosnya membuat Alex ikut menggelengkan kepala kecil melihat Alexa yang lebih menginginkan benda imitasi dari pada apa yang ditawarinya.
“Loh, kenapa enggak mau beli di toko? Disana mutiaranya lebih bagus.” Goda Mama Alisha.
“Gak mau, lebih bagus di sekolah cici!” kekeuh Alexa keras kepala, mungkin jika ia sudah besar dan mengerti Alexa akan lebih memilih dibelikan mutiara asli daripada mutiara yang terbuat dari plastic itu. Namun karena ia masih kecil, Alexa hanya mengandalkan matanya yang berbinar melihat aksesoris yang dipajang dengan berbagai model tanpa memperhatikan kualitas.
“Yasudah, besok kalau jemput cici di sekolah kamu beli.” Putus Alex sebelum ia memeriksa pekerjaan yang ia tinggal hari ini melalui ponselnya.
“Papa, Alex kan sudah bilang mau pulang naik bus sekolah sama teman-teman.” Protes Alexis yang tak ingin waktu pulang bersama teman-temannya terganggu dengan jemputan papanya.
“Kamu mau lihat adik kamu nangis lagi?” ancam Alex yang sudah merasa pusing dengan tingkah laku kedua anaknya. Dengan patuh Alexis menggeleng dan berjalan mendekati Alexa yang sedang bertanya kepada Alisha. “Tante, mana dede bayinya? Kata papa, tante sama Om Dika punya dede bayi. Mama Lexa juga punya, lihat perutnya sangat besar.”
“Bayinya masih kecil, sayang. Kalau punya Mama Kina kan sudah besar bayinya, sebentar lagi melahirkan dan Lexa bisa melihatnya nanti.” Alexa mengangguk-angguk mengerti mendengar penuturan Alisha. dengan pelan, tangan mungilnya mencoba untuk mengelus permukaan perut Alisha yang masih rata. Kini Alexis dan Alana mendekati Alisha dan ikut berlomba mengelus perut Alisha dengan sayang.