Menginjak bulan kedua dalam kehamilannya, Alisha mengunjungi rumah sakit tempat Dika bekerja. Ia berangkat menggunakan taxi online setelah selesai mengajar di sekolah taman kanak-kanak pukul sebelas siang. Rencananya Alisha akan menemui Dika terlebih dahulu sebelum pergi melakukan pemeriksaan yang nantinya ditemani Dika.
Sesampainya di depan rumah sakit, ia melihat Dika sudah menunggunya di depan pintu masuk dengan jas putih kedokterannya yang melekat. Dika segera berjalan menghampiri Alisha begitu ia melihat Alisha turun dari taxi yang berhenti di depan sana.
“Hai, bagaimana kalau kita makan dulu di seberang sana, aku belum makan lagi selain sarapan tadi.” Ajak Dika setelah menerima ciuman tangan dari istrinya dan dirinya mengecup puncak kepala Alisha singkat.
“Jadi kamu nolak bawa bekal itu mau makan di luar?” tanya Alisha dengan tatapan menyelidik. Karena pagi tadi, tak biasanya Dika menolak untuk dibawakan bekal untuk makan siangnya.
Dika memberikan cengiran khasnya begitu mereka berjalan kaki menuju rumah makan di depan seraya mengusap rambut Alisha yang menjadi sedikit berantakan, namun Alisha membiarkannya karena ia menikmatinya. “Hm, aku rasa kita jarang makan siang di luar.”
“Yasudah, ayo. Sampai kapan jam istirahat kamu?”
“Sampai jam dua belas nanti. Setelah itu aku akan kembali ke lab.”
Mereka makan siang tak membutuhkan waktu yang lama, karena tahu sendiri jadwal Dika yang harus kembali ke lab tepat waktu. Setelah selesai makan, mereka berdua bergegas kembali ke rumah sakit untuk menemui dokter kandungan yang cukup dikenal oleh Dika. Dokter Anna yang berusia lima puluh tahunan terlihat ramah menyambut kedatangan mereka.
“Selamat siang, dok.” sapa Dika yang dibalas kembali oleh sang dokter yang duduk menghadap meja kerjanya seraya mempersilahkan pasangan itu untuk duduk di kursi hadapannya.
“Sepertinya liburan kalian sudah membuahkan hasil.” kekeh sang dokter yang mengetahui berita cutinya Dika yang akan pergi berlibur bersama istrinya setelah satu bulan menikah. Sepertinya berita itu cukup menyebar luas dikalangan dokter dan staff rumah sakit lainnya membuat Dika merasa malu karena kehidupan pribadi dirinya terlalu diekspose. Bahkan berita tentang pernikahannya cepat sekali menyebar setelah semua rekan kerjanya menanti akan berita membahagiakan itu. Seluruh pekerja di rumah sakit itu menyambut dengan suka hati meskipun terdapat beberapa perawat yang sedikit kecewa mengetahui dokter muda yang dipujanya sudah melengkungkan janur kuning di rumah perempuan yang dipinangnya.
“Sebenarnya aku mengetahui saat satu hari setelah kami sampai disana. Sementara Alisha menyembunyikannya sejak satu hari sebelumnya dariku karena tak mau liburannya tertunda.”
“Beruntung kau tidak apa-apa, bukan?” tanya Dokter Anna kepada Alisha yang dijawab dengan anggukkan sekaligus senyuman bahagianya. “Tapi saat pulang dia kelelahan dan masuk angin.” sela Dika sepat yang langsung ditenangkan oleh Alisha dengan engusap pelan lengan kirinya.
“Dimana pertama kali kalian memeriksanya ke dokter?” tanya Dokter Anna sembari menyiapkan sebuah kertas dan buku catatan kehamilan dari balik mejanya.
“Kami mengunjungi klinik di Basel dan hasilnya menyatakan sudah berumur dua minggu, dan jika dihitung lagi kini sudah berumur empat minggu.” Jawab Dika dengan perasaan hangat saat mengingat kali pertama ia melihat janin yang tumbuh di dalam rahim Alisha melalui rekaman USG.
“Ah, aku tak menyangka kalian akan secepat ini. Tapi lebih cepat lebih baik, bukan? Kalau begitu kita sekarang lakukan pemeriksaan, mari ikut aku.”
Dokter Anna segera membimbing pasangan itu agar menghampiri ranjang pemeriksaan. Segera Alisha merebahkan dirinya saat Dokter Anna sedang mempersiapkan proses pemeriksaannya. “Janinnya berkembang dengan baik, detak jantungnya normal, tidak ada masalah. Setelah itu kita periksa ibunya, ya.”
Kali ini Dika terlihat berseri dan selalu memberikan kecupan di puncak kepala Alisha maupun usapan kecil di perut Alisha yang sudah tertutup pakaian lagi dengan satu tangan yang setia menggenggam tangan istrinya. Tak seperti saat pertama kali pemeriksaan, Dika terlihat sangat kaku dan sesekali tersenyum tipis mendengar penjelasan dokter yang tak dimengertinya.
Alisha kembali bangun dari pembaringannya dan menunggu Dokter Anna yang akan memeriksa tekanan darah dan pemeriksaan kesehatan lainnya. Alisha menghembuskan nafas lega karena bayinya tumbuh dengan sehat dan baik, ia harap ia bisa melalui kehamilannya dengan keadaan yang selalu sehat agar bayinya nanti terlahir dengan sehat dan sempurna.
Setelah selesai melakukan pemeriksaan, Alisha dan Dika berpisah di pertigaan lorong rumah sakit yang mengarah ke pintu keluar dan juga lab mikrobiologi tempat Dika bekerja hari ini. “Hati-hati, jangan lupa keselamatan kerja kamu gunakan, jangan ceroboh.”
“Kamu juga hati-hati di jalan nanti, jangan lanjut kemana-mana, langsung pulang saja.” Dika ikut memberi pesan seraya mempersilahkan Alisha untuk pergi terlebih dahulu, Dika memperhatikan sampai Alisha keluar dari rumah sakit dan kembali melanjutkan langkahnya menuju lab setelah memastikan Alisha keluar.
****
Pukul sebelas malam lebih, pintu depan rumah Alisha terbuka. Dika yang baru saja sampai di rumahnya berjalan menyusri ruangan tengah yang gelap setelah mengunci kembali rumahnya. Suasana yang sepi menandakan bahwa istrinya itu sudah terlelap di kamar mereka saat ini. Perlahan Dika membuka pintu kamarnya tanpa menimbulkan suara gaduh, kamar yang sama gelapnya membuat Dika keheranan karena tidak biasanya Alisha tidur dengan lampu yang dimatikan, apalagi jika ia tidur sendirian.
Mencoba untuk tenang, Dika menyampirkan jas putihnya di punnggung sofa seraya menyimpan tas kerjanya. Dengan lengan kemeja yang disingkap hingga siku, Dika mencoba menghampiri ranjang yang terlihat tak biasa, terlihat sangat rapi meskipun Alisha sedang tidur disana.
Namun sebelum Dika berhasil menyingkap selimut itu, terang cahaya lampu menyala seketika membuat matanya yang belum siap berusaha menghalanginya dari cahaya itu.
Dika membalikkan tubuhnya saat telinganya mendengar suara nyanyian seseorang, disana, di ambang pintu, Alisha berdiri dengan membawa sebuah kue tart dengan lilin-lilin yang menyala. Dika kembali membalikkan tubuhnya dan menyingkap dengan kasar selimut di ranjang. Dirinya benar-benar tak menyangka jika di balik selimut itu hanyalah sebuah bantal dan guling yang di susun, bukan istrinya yang ia sangka. Malah saat ini ia menatap Alisha yang sudah berada tepat di hadapannya dan menyuruh Dika untuk meniup lilinnya melalui gerakan mulutnya.
Dika menurutinya dengan perasaan harunya disaat menyadari bahwa Alisha tengah berusaha merayakan ulang tahunnya yang ke tiga puluh. Padahal dirinya sendiri tidak ingat bahwa hari ini adalah hari lahirnya. Dengan lembut, Dika menghela Alisha untuk mengizinkan Dika memeluknya. Alisha dengan sennag hati merentangkan tangannya membiarkan kuenya masih dalam pegangan sebelah tangannya.
“Selamat ulang tahun, papa.” Bisik Alisha di telinga kanan Dika membuat laki-laki itu tersenyum dan mengecup kedua pipi istrinya dengan sayang.
“Terima kasih, mama. Aku harap kita akan selalu berada dalam lindungan Tuhan, dimanapun dan kapanpun.”
“Ya, Tuhan akan mendengarkan do’a kita yang telah memohon.” Lirih Alisha dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Dilepaskannya pelukan Dika dan segera menyimpan kue di tangannya ke atas meja terdekat sebelum dirinya kembali memeluk Dika lebih erat, membuat keduanya sama-sama sesak oleh perasaan harunya.
Alisha kini terisak dalam dekapan Dika, entah kenapa setelah mendengar permohonan Dika di hari ulang tahunnya sangat menyentuh dirinya, kalimat yang jauh lebih dari kalimat romantic yang pernah Alisha dengar.
“Kenapa kamu menangis, hm?” tanya Dika seraya menjauhkan tubuhnya tanpa melepaskan pelukan mereka. Alisha menggeleng seraya menangis tergugu, kemudian sudut bibirnya mencoba untuk tersenyum saat melihat raut khawatir nampak di wajah sang suami.
“Aku tak nyangka kamu semakin tua.” kata Alisha seraya terkekeh. Tanpa bisa dicegah, tangannya kini terangkat mengusap rahang Dika yang bersih.
“Aku masih muda, Lish. Jika aku tua, kamu juga ikutan tua.”
“Aku masih dua tujuh ya!” tekan Alisha seraya mengalungkan kedua lengannya di pundak Dika.
“Aku heran, kenapa dulu kenapa kamu yang pinter biologi bisa sekelas sama aku padahal kamu udah tua.” Alisha bertanya-tanya mengenai alasan Dika yang saat itu baru menginjak bangku sekolah di SMA. Mereka satu kelas, bahkan satu bangku. Saat itu Alisha berada di kelas IPS. Jika diingat lagi akan Dika yang pintar dalam pelajaran sains, kenapa saat itu dirinya malah memasuki kelas social? Sangat tidak sinkron, bukan? Alisha ingin tahu mengapa hal itu dilakukan oleh Dika, namun laki-laki itu tidak pernah menjawabnya sampai Alisha lupa sendiri.
“Aku belum cerita?” tanya Dika yang lupa akan hal itu.
“Belum, tapi aku udah tahu jawaban kamu. Kamu waktu itu kan gak mau jauh-jauh sama aku, kan? Jadi kamu ambil kelas bersamaku.” kata Alisha dengan nada percaya diri yang tinggi.
“Percaya diri kamu ternyata ada benarnya?” terang Dika ragu-ragu membuat Alisha sontak melebarkan matanya menatap tak percaya kepada Dika yang tengah mengalihkan pandangan. “Jadi, benar?” desak Alisha membuat Dika perlahan melepaskan pelukannya dan duduk di sisi ranjang yang kemudian diikuti oleh Alisha.
“Dik?” tanya Alisha sekali lagi, menginginkan pengakuan yang lebih jelas dari mulut suaminya.
“Ehm … bagaimana pandangan mama kamu saat aku baru saja menikahimu di umur kamu yang ke dua tuju?” dika mengalihkan percakapan sekenanya. Dirinya kini sangat gugup melihat tatapan mengolok Alisha saat mengetahui alasan konyol saat itu.
Bukan konyol sebenarnya, hanya saja saat itu Dika yang sebelumnya kehilangan arah dalam melakukan pendidikan formal di sekolah tiba-tiba saja menerima tawaran dari Dokter Faisal agar dirinya bersekolah. Dirinya yang sebelumnya hanya bekerja sebagai penjual gorengan akhirnya mau menerima tawaran sekolah di sekolah menengah atas. Entah kenapa saat itu pikirannya hanya tertuju kepada Alisha yang baru saja dikenalnya, seorang siswi SMA yang selalu berusaha mendekati dirinya saat jualan kaki lima di alun-alun kota.
“Emm, mama sih, enggak apa-apa, bahkan kelihatan santai, beda sama ayah yang seperti ketakutan karena aku tidak kunjung menikah. Bahkan pernah saat itu ayah ngajak Om Agung mau nekat datangi kamu buat nagih janji kamu.” Alisha berkata diiringi dengan kekehan ringan mengingat saat mengingat kekhawatiran ayahnya yang berlebihan.
“Serius?” tanya Dika tak percaya, Alisha mengangguk meyakinkan membuat Dika perlahan menghembuskan nafas lega karena akhirnya ia sudah menepati janjinya kepada orang tua Alisha.
“Dik, ayah kamu bilang besok bakal kesini, ayah sudah bilang sama kamu?” Alisha balik bertanya seraya memainkan kancing kemeja paling atas milik Dika yang sudah terbuka.
“Ya, beliau tadi SMS, besok pagi aku sempatkan untuk jemput ayah.”
“Kamu besok bakal kerja? Kirain mau libur.” Keluh Alisha kecewa, ia kira akhir pekan besok akan Dika luangkan dengan penuh di rumah mengingat ayahnya akan berkunjung.
“Aku ada jadwal praktek sampai siang. Setelah selesai aku langsung pulang ke rumah. Lagi pula, baru saja aku ambil cuti panjang, masa aku cuti lagi. Aku enggak mau merepotkan Dokter Faisal.”
“Besok siang kayaknya bakal masak besar deh, aku ajak Kina sama Alex, ya? Sekalian sama mama dan ayah, soalnya ayah sekarang lagi di perjalanan, mau pulang. Kira-kira besok jam Sembilan baru sampai.”
“Asal kamu jangan kelelahan, ya?” pinta Dika seraya merapikan bantal sebelum meminta Alisha berbaring di ranjang.
“Iya, papa. Kamu pokoknya jangan pulang telat, biar besok bisa ikut makan bersama, ya?” ucap Alisha dengan nada manjanya. Kemudain Alisha merebahkan dirinya dengan Dika yang masih duduk seraya memperhatikan dengan sebuah senyuman dan anggukkan.
Lalu perhatian Alisha terpaku pada kue tart yang masih utuh di atas meja. Dengan menyangga kepala dengan tangan yang menyiku Alisha menghadap seraya bertanya kepada Dika, “Eh, kuenya enggak mau dimakan dulu?”
“Kalau besok bagaimana? Aku sudah ngantuk, enggak mungkin makan kue habis itu langsung tidur.”
Alisha mengangguk menurut, dirinya sangat senang dengan sikap Dika yang selalu menghargainya dengan selalu bertanya kepadanya terlebih dahulu jika menenukan sesuatu, bahkan jika itu hanya sekedar memakan makanan seperti ini.
Alisha kemudian bangun kembali untuk menyimpan kue tart itu ke dalam lemari pendingin, namun segera dicegah oleh Dika agar dirinya sendiri yang menyimpannya sembari mengambil air putih di dapur karena ia merasa haus.
Alisha menatap punggung Dika yang hendak keluar dari kamar dengan senyum bahagia dan mata sayunya, ia sudah mengantuk karena sebenarnya sejak tadi ia menahan keinginannya untuk tidur karena ingin memberi kejutan di malam ulang tahun suaminya tercinta.