07

1665 Words
Dika kembali ke kamarnya seraya membawa segelas air putih dan menyimpannya di atas meja. Kemudian ia mengambil selimut yang sudah tersingkap di ujung ranjang untuk menyelimuti tubuh Alisha. Setelah memastikan Alisha tidur nyaman dengan selimutnya, Dika berjalan membuka lemari untuk berganti pakaian. Diambilnya kaos putih berlengan panjang dan celana tranning abu-abu miliknya untuk ia pakai sebelum tidur. Setelah selesai berganti pakaian, Dika segera merebahkan dirinya di samping Alisha yang kini tidur menyamping menghadap dirinya. Dika kemudian memejamkan mata untuk tidur tanpa mematikan lampu kamarnya, salah satu kebiasaan Alisha yang melarang dirinya untuk mematikan lampu saat tidur. Alisha bilang, ia sangat merasa tidak nyaman dan takut jika tidur di tempat yang gelap meskipun itu baik untuk kesehatan tubuh. Namun karena ia menghargai Alisha dan tidak ingin membuatnya takut, Dika akan melakukannya selama Alisha bisa tidur dengan nyenyak.   ****   Keesokan paginya, Dika maupun Alisha terbangun sedikit kesiangan, dengan cepat Dika berjalan ke kamar mandi yang tersedia di kamar sebelum melaksanakan kewajibannya melaksanakan sholat subuh berjama’ah bersama istrinya. Sementara Alisha yang masih terlihat mengantuk mencoba untuk bangun dan duduk menjuntaikan kakinya menunggu Dika selesai dengan urusannya di kamar mandi. Setelah menyelesaikan ibadah paginya, Dika segera bergegas memanaskan mesin mobilnya sebelum ia berangkat menjemput ayahnya. Sementara Alisha sendiri memilih untuk mandi pagi sebelum membuat sarapan pagi ini. Disela sarapan yang tengah mereka lakukan, pintu depan rumah mereka diketuk membuat Dika menghentikan sejenak sarapan paginya untuk membuka pintu terhadap tamu yang datang sepagi ini. Terdengar dengan samar sebuah percakapan membuat Alisha penasaran dan ingin menghampiri Dika di depan sana. “Ayah?” seru Alisha begitu melihat sosok ayah dari suaminya tengah berjalan bersama Dika ke dapur dan menghampirinya. Alisha langsung berjalan mendekati ayahnya dan mencium punggung tangannya dengan hormat. “Padahal Dika bermaksud untuk menjemput ayah sebelum berangkat ke rumah sakit, tapi ayah sudah datang sebelum Dika menjemput.” “Ayah tidak mau merepotkan, jadinya ayah datang cepat-cepat kesini.” Kekeh sang ayah membuat Alisha tertawa pelan dan mempersilahkan ayah mertuanya untuk ikut sarapan. “Kalau begitu kita sarapan dulu, yah. Alisha akan siapkan untuk ayah.” Alisha berjalan kembali ke meja makan untuk menyiapkan sarapan untuk ayah mertuanya, namun ayahnya itu melarang Alisha karena tidak akan ikut sarapan bersama mereka. “Tidak, ayah sudah sarapan sebelum kesini. Kalian lanjutkan saja sarapannya, ayah akan menunggu sambil nonton televisi.” tolak Ayah Dika sehalus mungkin, tidak ingin terlalu merepotkan anak serta menantunya. “Baiklah, Alish akan bawa camilan dulu untuk ayah.” ucap Alisha seraya berjalan menuju lemari tempat ia menyimpan stok camilan ringan jika mereka kedatangan tamu. “Terserah Neng Alish saja, kamu lanjutkan saja sarapannya, Dik.” Ayah Dika tak bisa lagi menolak saat Alisha dengan cekatan membawa beberapa wadah camilan dalam pelukan tangannya yang hendak ia simpan di atas meja ruang tengah untuk ayah mertuanya selama menunggu ia dan Dika menyelesaikan sarapan.   ****   Saat ini Alisha sedang menemani ayahnya yang ingin bersantai di halaman belakang. Setelah mengantar Dika yang akan pergi bekerja ke depan rumah, Alisha terlebih dahulu mengerjakan pekerjaan ringannya dalam membersihkan rumah, baik mencuci peralatan makanan atau mencuci pakaian seraya menjemurnya sebelum ia menghampiri sang ayah. Niat Herman, Ayah Dika yang semula ingin bersantai malah terganggu dengan pemandangan di sudut dinding pagar halaman yang terdapat beberapa tanaman hias yang siap tanam masih tersimpan tidak rapi di dalam polibag. Alhasil ia berjalan mendekati tanaman itu dan mengangkatnya satu persatu dengan hati-hati agar akar yang sudah merambat ke tanah tidak merusakinya. Setelah semua ia cabut dan ditempatkan di tempat sampingnya, Alisha datang dari dalam seraya membawa camilan dan minuman yang ia suguhkan untuk sang ayah. Herman menatap kedatangan Alisha dan berkata sembari melhat kembali tanaman yang akan dirombaknya, “Sayang sekali tanamannya tidak diurus, padahal ini beli, kan? Jadi membuang-buang uang jika tanaman ini semuanya mati.” Alisha yang baru saja duduk setelah menyimpan makanan serta minuman di atas meja hanya bisa meringis dan menjawab perkataan ayah mertuanya seadanya. “Soalnya Dika sibuk terus, yah. Belum sempat ngurus tanaman itu, tadinya Alisha aja yang ngerjainnya, tapi enggak tahu harus gimana.” Alisha memberikan cengiran lebar setelah mengatakannya. Dalam hati Alisha merutuki diirnya sendiri karena tidak bisa mengurus tanaman yang dibelinya sendiri. Ia hanya bisa menunggu Dika mempunyai waktu luang untuk mengurusi tanamannya itu. “Sekarang biar ayah saja yang urus, alat tanam sama pupuknya, ada? Terus tanamannya mau tanam di dalam pot atau langsung di tanah?” tanya Ayah Dika secara beruntun membuat Alisha kebingungan untuk menjawabnya. “Ehmm, ada di gudang itu yah, biar Alisha yang bawakan. Alisha inginnya ditanam langsung aja, yah. Enggak perlu pakai pot.” jawab Alisha malu-malu karena ia telah merepotkan ayah mertuanya yang tengah berkunjung itu. “Yasudah, biar ayah yang bawa saja. Kamu tetap duduk disana.” Herman kemudian berjalan ke arah sebuah bangunan di halaman belakang yang terpisah. Di dalamnya memuat beberapa peralatan mesin dan berkebun milik Dika yang tentu jarang digunakan. Pria berumur kepala lima berdarah sunda itu kembali sembari membawa benda-benda yang ditanyakan kepada Alisha tadi, tampak ia tak kerepotan sama sekali meskipun dalam paelukan tangannya ia membawa beberapa benda yang cukup berat. “Gimana kabar kehamilan kamu, neng?” tanya Herman saat ia meletakkan benda-benda itu di atas rerumputan yang terpangkas rapi. Alisha yang sedang melihat tanaman-tanaman dari dekat menolehkan kepala kepada ayah mertuanya untuk menjawab sembari sebuah senyuman hadir di bibir Alisha yang kini berseri. “Baik, yah. Minggu kemarin habis diperiksa dan semuanya baik-baik saja.” “Alhamdulillah, semoga kehamilan kamu terus baik sampai melahirkan nanti, rasanya ayah ingin cepat-cepat kembali menggendong bayi. Dulu saja Dika susah banget mau digendong sama ayahnya, maunya nempel terus sama ibunya.” ucap Ayah Dia dengan pandangan yang menerawang masa lalu. Mengingat sang istri tercinta yang sudah lama tiada meninggalkan dirinya dan anak satu-satunya. Mengingat masa lalu yang dilalui mereka dengan suka duka yang kini hanya tinggal kenangan belaka. Ia tidak menyesal jika saja Tuhan ingin mencabut nyawanya sekarang. Rasa rindunya terhadap sang istri semakin tak tertahan setelah berpuluh tahun hidup tanpa sosoknya. Herman menghela nafas berat begitu ia kembali tersadar dari lamunannya. Ia menjadi terbawa suasana saat membicarakan kehamilan menantunya. “Kalian berdua baik-baik, ya. Kamu harus terus berpegang pada Tuhan agar kamu bisa selamat dan menikmati peran kamu sebagai ibu yang sebentar lagi kamu rasakan. Dika pasti menjaga kamu dengan sangat baik, ayah harap kehidupan cucu ayah lebih baik dari apa yang dialami ayahnya saat kecil. Ayah sangat berdosa … ayah tidak bisa menjaga istri dan anak dengan baik. “ Harapan tulus dari sang ayah mertua menyentuh hati Alisha sehingga ia terisak kecil mengikuti ayahnya yang terlebih dahulu menangis perih menahan isakan. Alisha berjongkok di samping ayah mertua yang kini menunduk dengan punggung bergetar, Alisha mengelus punggung renta itu dengan pelan berharap dapat menenangkan dan menghentikan tangisan ayahnya. “Ayah adalah ayah hebat yang selalu sekuat tenaga menjaga istri dan anak ayah, ayah tidak pernah gagal, Tuhan sudah menakdirkan ibu untuk berpulang terlebih dahulu, dan Dika adalah bukti keberhasilan ayah menjadi ayah terbaik meskipun tanpa ada sosok ibu yang ikut mendampingi dan mendidik seorang anak.” Alisha menghela nafas saat mengingat rupa ibu mertuanya melalui sebuah foto yang selalu Dika tunjukkan kepadanya, sosok wanita cantik dan anggun dengan kulit putih dan kelopak mata tipisya yang menurun kepada Dika, sosok ibu yang menjadi harapan Dika hidup dan menjadi orang berguna meskipun sosok itu hanya bisa dilihat melalui sebuah foto. Alisha menepuk-nepuk bahu ayah mertuanya yang kini terkekeh seraya menghapus air matanya yang masih mengalir di wajah keriputnya. “Maaf, ayah jadi terbawa suasana.” ucap Herman dengan suara serak sehabis menangis. “Tidak apa, ayah harus tetap semangat. Sebentar lagi ayah akan punya cucu, ayah harus sehat selalu.” Alisha berkata dengan penuh harap dan dapat membangkitkan semangat ayahnya dari keterpurukannya yang merindukan mendiang istrinya. “Sudah, kamu duduk disana lagi, nanti kamu ikut kotor jika tetap diam disini.” Titah Herman seraya membuka kantong pupuk tanaman dan mengambilnya dengan skop tadi. Alisha yang hanya memperhatikan merasa tidak enak dengan perlakuan ayahnya yang dengan senang hati mau mengerjakan pekerjaan di rumahnya yang terbengkalai. “Sebenarnya ayah tidak usah mengerjakan ini, Alisha bisa menyuruh orang untuk membereskannya. Alish tidak mau ayah kelelahan, lagian ayah kan tamu, masa harus kotor-kotoran.” Herman tersenyum seraya membawa satu tanaman untuk ditanam di atas tanah yang sudah ia cangkul terlebih dahulu. “Ini kan rumah anak ayah, ayah berkunjung bukan sebagai tamu. Ayah berkunjung sebagai ayah yang merindukan anak dan menantunya. Lagi pula, ayah bosan jika hanya diam sambil nonton televisi” “Maafkan kami yang jarang berkunjung ke rumah ayah.” ucap Alisha merasa sangat bersalah karena ia san Dika sangat jarang berkunjung ke rumah ayahnya setelah menikah. “Ayah maafkan, ayah tahu kalian berdua sama-sama bekerja, meskipun rumah ayah dekat, kalian pasti akan lelah jika sering-sering pulang pergi.” “Maafkan aku, nanti kami akan sering-sering berkunjung, ayah.” sahut seseorang di ambang pintu kaca yang menghubungkan bagian dapur dan halaman belakang. “Dika? Kenapa sudah pulang? Bukannya nanti siang kamu pulangnya? Ini kan baru jam sepuluh.” tanya Alisha dengan penasaran sekaligus senangnya, senang karena Dika pulang lebih awal dari perkiraannya. Dika yang masih mengenakan jas dokternya menghampiri ayah beserta istrinya dan bersalaman dengan ayahnya meskipun lengan itu kotor. “Pimpinan unit lab bersama rekan kerja lainnya sedang mengadakan kunjungan sekaligus rapat tertutup di rumah sakit pusat. Dan hari ini lab sedang tidak beroprasi, aku ke rumah sakit untuk mengecek saja.” “Dan cuma kamu yang enggak ikut kesana?!” tanya Alisha tidak suka bahwa Dika kali ini mengabaikan pekerjaannya. Ya, meskipun ia tidak menampik bahwa ia merasa senang Dika pulang cepat. “Aku harus ikut kesana?” Dika balik bertanya membuat Alisha mendengus kesal, bahkan ia mengabaikan ayah mertuanya yang hanya diam memperhatikan. “Nanti kamu dicap sebagai dokter tidak baik, bagaimana?” “Disana mereka bekerja sampai malam, jika aku ikut, aku tidak bisa menepati janjiku kepadamu. Lagi pula Dokter Faisal sudah memberikan izinnya.” “Beneran, tidak apa-apa?” tanya Alisha yang masih ragu dengan perkataan Dika. “Iya.” Alisha hanya mengangguk, kini ia mengerti dan yakin jika pekerjaan suaminya itu tidak akan bermasalah jika hari ini ia tak mengikuti kunjungan itu. “Yah, Dika ganti baju dulu, nanti Dika bantu.” ucap Dika sebelum berbalik badan meninggalkan ayahnya dan Alisha di halaman belakang. “Dika, ikut.” rengek Alisha yang tiba-tiba ingin mengikuti Dika meskipun ia hanya ingin berganti pakaian. Alisha berharap Dika akan menghentikan langkahnya untuk menunggu dirinya berjalan menghampiri, namun laki-laki itu malam mempercepat langkahnya dan berkata dengan keras setelah ia memasuki area dapur. “Enggak.” “Sana, susul saja.” titah Ayah Dika sembari melanjutkan pekerjaannya. Alisha mengangguk malu kemudian berjalan menyusul Dika seraya menundukkan kepala menyadari bahwa ia baru saja merengek di dekat ayah mertuanya. Sangat kekanakan!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD