Alisha memasuki kamar dan mendapati Dika baru saja selesai berganti pakaian dengan pakaian santainya. Alisha berjalan menghampiri Dika setelah ia menutup pintu kamarnya. Dika melirik sekilas saat menyadari kini ada orang lain selain dirinya di dalam kamar ini.
“Kamu marah?” tanya Alisha begitu ia duduk di tepi ranjang, memperhatikan Dika yang tengah memilah pakaian kotornya untuk di bawa ke kamar mandi.
“Enggak.” jawab Dika singkat membuat Alisha mencebik kesal dan beranjak meraih pakaian yang Dika pegang untuk ia bawa masukkan ke keranjang pakaian kotornya.
Alisha kembali dari kamar mandi dengan kedua tangan yang bertumpu di pinggang. Menghadap Dika yang masih terdiam seraya menatap istrinya heran. “Kamu marah sama aku?!” tanya Alisha kembali dengan sewot.
“Enggak.”
Mendengar kembali jawaban Dika yang singkat dan terkesan tidak peduli kepadanya membuat Alisha beranggapan bahwa Dika sedang marah kepadanya. Dan Alisha merasa kesal sehingga ia ingin menangis melihat Dika tak acuh kepadanya.
“Tuh, kan. Jawabnya enggak terus, pasti marah!” sungut Alisha dengan punggung yang sudah bergetar menahan tangisan.
“Enggak, udahlah, aku mau ke belakang bantu ayah.” Dika yang belu menyadari perubahan sikap Alisha hanya mengedikkan bahu karena nyatanya memang dia tidak sedang marah kepada Alisha, ia hanya sedang tidak ingin banyak bicara.
Dika kemudian berjalan menuju pintu hendak meninggalkan Alisha di amar jika saja ia tidak mendengar isakan pilu dari istrinya. Alhasil ia kembali berbalik dan menenangkan Alisha yang menangis sembari membelakanginya. “Hiks … kamu marah beneran.”
“Enggak, Alisha. Kenapa bisa aku tiba-tiba marah sama kamu? Sudah jangan nangis lagi.”
“Kamu jawab enggak terus! Kue buatan aku juga kamu enggak dimakan-makan!” beginilah jika Alisha dalam kondisi perasaan yang sedang tidak baik, segala yang dianggapnya menjadi permasalahan akan diluapkan secara bersamaan hingga Dika merasa pusing sendiri.
“Kue yang mana?” tanya Dika tertahan, ia tak ingin bentakannya keluar dan menyebabkan Alisha semakin bersedih. Disekanya air mata yang mengalir di pipi istrinya meskipun ia masih memalingkan wajah darinya.
Alisha menjawab dengan setengah merajuk disela isakan tergugunya. “Kue ulang tahun semalam!”
“Oh …” Dika menerawang mengingat kue tart yang semalam Alisha persembahkan untuknya dan sampai saat ini balum ia makan. Bahkan belum dua puluh empat jam aku membiarkannya.
Alisha kini melirik Dika dengan tatapan sinisnya, isakannya bahkan ini terdengar kembali. “Kenapa ‘oh’ doang?!”
“Yasudah, aku akan mengeluarkannya dari kulkas sebelum kita makan bersama.”
“Ck, jadi siapa sebenarnya yang sedang marah?” batin Dika berkecamuk memikirkan Alisha yang tengah merajuk itu.
Kemudian Dika beranjak seraya mencekal lengan Alisha agar ia ikut berdiri mengikutinya. “Ayo.” Ajakan Dika ternyata diabaikan oleh Alisha yang masih duduk dan memalingkan wajah kesal.
“Kamu masih mau disini? Aku harus segera ke belakang bantu ayah.”
Terlihat kini Alisha mulai menatap Dika hingga perlahan Alisha mulai bangkit dari duduknya. Dika segera menggenggam ebelah tangan Alisha lalu berjalan keluar dari kamar membuka lemari pendingin dan membawa kue tart semalam untuk dibawa ke halaman belakang sebelum mereka memakannya.
“Biarkan hangat dulu, kamu duduk disini saja.” kata Dika setelah menyimpan kue tart tersebut di atas meja, tak segera ia makan karena masih dingin akibat disimpan di lemari pendingin. Kemudian Dika menyuruh Alisha duduk di kursi sementara ia akan menghampiri ayahnya dan membantu pekerjaan yang seharunya menjadi pekerjaannya.
Kini Alisha diam menuruti perkataan Dika, membuat Dika tak sungkan untuk segera menghampiri ayahnya yang sedang mengurus tanamannya. Alisha sendiri menatap punggung Dika dengan tatapan sendu, Kenapa dirinya bisa secengeng ini, meskipun memang ia sering menangis, tapi untuk hal kecil tadi kenapa ia sampai menangis sesenggukkan seperti dari?! Sungguh Alisha juga tidak mengerti kenapa seperti itu. Apa mungkin efek hormone kehamilannya? Ya mungkin saja, pikir Alisha.
Setelah sampir satu jam memperhatikan akhirnya Dika menghampiri Alisha yang masih setia memperhatikannya. Disodorkannya gelas minuman untuk sang suami yang kelelahan setelah bekerja hingga mengeluarkan banyak keringat itu. Dika menerimanya dengan senang hati lalu menenggaknya hingga tandas di samping Alisha yang duduk seraya memperhatikan.
“Kenapa? Perasaan tadi kamu perhatikan aku terus.”
Alisha memalingkan wajah lalu menyiapkan lagi air minum untuk ayah mertuanya yang baru saja selesai mencuci tangan. “Enggak.” Jawab Alisha singkat membuat Dika tak mempedulikannya. Ia memilih mengambil pisau di atas meja dan memotong kue tart dengan toping coelat yang sudah meleleh karena terpapar sinar matahari terlalu lama.
“Enak?” tanya Alisha begitu Dika selesai menyuapkan kue tart ke dalam mulutnya pertama kali. Dika mengangguk lalu menyerahkan garpu yang sudah terdapat kue tart lagi agar Alisha ikut mencobanya.
Setelah potongan kue dalam piringnya habis Dika kembali memotong dua potongan kue tart untuk dirinya dan sang ayah dalam piring yang berbeda. Kembali ia menyuapi dirinya sekaligus Alisha yang terus membuka mulut menerima suapan darinya.
Beberapa saat kemudian muncul suara teriakan anak kecil dari dalam rumah yang segera mendekati halaman belakang, Alisha tersenyum lalu beranjak untuk melihat adiknya yang terlihat ceria berlari menghampirinya dengan aroma khas setelah mandi.
“Kak, itu apa?” tanya Alana setelah ia melihat sisa cokelat yang menempel di sudut bibir Alisha. Alisha hanya tersenyum seraya mengelapnya menggunakan tangan sebelum mengajak Alana untuk ikut memakan kue tartnya.
Tak lama berselang keuda orang tua Alisha datang membawa kantong kresek yang berisi banyak sayuran dan bahan masakan lainnya. Ia kemudian menghampiri orang-orang yang sedang berada di halaman belakang setelah menyimpan barang bawaannya di meja makan.
“Pak Herman, lama tak berjumpa. Bagaimana keadaannya?” sapa Ayah Alisha kepada besannya yang sudah satu bulan lebih sejak anak-anak mereka menikah tidak pernah bertemu lagi.
“Alhamdulillah baik, bagaimana dengan keadaan bapak? Dika mengatakan bahwa bapak baru saja pulang dari Surabaya.” kata Herman saat ia mendengar cerita dari anaknya saat kemarin siang menelepon.
Ayah Alisha menyahut sambil ikut duduk di kursi panjang di sebelah istrinya yang sedang memotong kue untuk Alana yang merengek menginginkannya. “Baik, proyek kemarin juga lancar, rencananya bulan depan mau pensiun, saya sudah terlalu tua.”
“Semoga semuanya lancar dan selalu sehat, ya pak.” Herman berharap dalam hati dan mengangguk seraya menerima piring yang berisi potongan kue dari Alisha dan menawarkannya kepada Ayah Alisha sebelum ia memakannya. “Dimakan pak, kuenya. Neng Alisha yang buat kemarin, katanya kue ulang tahun buat Dika .”
“Sudah nambah umur ternyata mantu saya.” ucap Ayah Alisha dengan nada jenaka, menepuk-nepuk bahu Dika yang duduk di dekatnya membuat orang dewasa di sekitarnya tertawa.
Setelah merasa kenyang dengan kue tartnya, Alisha mengajak mamanya untuk memasak karena siang nanti keluarga kecil Alex pun akan datang dan ikut makan bersama. Hal itu Alisha ungkap sebagai rasa syukur akan bertambahnya usia Dika dalam keadaan baik dan sehat. Meskipun hanya keluarga dan kerabat dekat, Alisha merasa senang karena waktu berkumpul mereka akan terasa lengkap dan menyenangkan.
Sementara para lelaki, mereka tetap diam di halaman belakang seraya membicarakan berbagai hal dengan berbagai camilan yang tersedia di hadapan mereka.
Pukul satu siang hari, Alex beserta Kina dan kedua anak mereka datang seraya membawa beberapa bingkisan buah dan makanan lainnya. Pada saat itu pula Alisha beserta mamanya dan Alana selesai masak dan siap menggelarnya di atas karpet di halaman belakang yang telah dibereskan oleh Dika dan ayahnya.
Terlihat Alexa terus berada di dalam gendongan Kina dan tak mau sedikitpun untuk turun dari pangkuan Kina membuatnya terlihat sangat kerepotan dengan perut besarnya.
“Lexa kenapa? Gendongnya sama tante, yuk? Kasihan dede bayinya gara-gara kakaknya digendong mamanya terus.” ucap Alisha melihat Alexa yang hari ini terlihat sangat manja sekali terhadap mamanya, mungkin karena sebentar lagi adiknya akan lahir jadi ia semakin manja sebelum perhatian mamanya bertambah dengan hadirnya sang adik.
Bayi berusia empat tahun itu menggeleng seraya menyerukkan kepalanya di lekukan leher sang mama. Membuat Kina tersenyum seraya mengelus punggung Alexa dan membawanya ke halaman belakang, menghampiri Alex yang sudah bergabung dengan para laki-laki disana.
Kina memilih untuk mendudukkan dirinya dan Alexa di atas karpet yang sudah terdapat beberapa makanan di atasnya. Kina menawarkan buah-buahan yang tadi dibawanya kepada Alexa, namun anak itu kembali menggeleng dan kembali memeluk tubuh mamanya dengan erat hingga Kina merasa tercekik.
“Lexa, sama papa. Nanti kita main lagi sama Tomi, mau?” bujuk Alex yang sudah duduk di sebelah Kina yang sedang menenangkan Alexa yang terlihat gusar. Kembali Alexa menggelengkan kepala, namun kali ini diiringi teriakan keras dan menolak ajakan papanya untuk bermain dengan kelinci yang berada di dalam kandang.
“Gak mau! Nanti ee’ lagi.”
Tak menyerah, Alex kini meraih sedikit paksa tubuh Alexa agar duduk dalam pangkuannya. “Terus kenapa Lexa manja terus, kasihan mama, disini saja duduknya sama ayah.”
“Papa jangan bawa Tomi lagi, Lexa gak suka.”
“Iya, kan Tominya ada di kandang, lagi makan. Lexa enggak mau kasih makan?” sahut Dika yang kini duduk di dekat Alex dengan kaki yang diselonjorkan ke depan.
“Enggak.”
“Kadonya sudah dikasih ke om?” bisik Alex melihat anaknya yang masih saja cemberut. Moodnya hari ini benar-benar buruk, mungkin Alexa trauma dengan kejadian tangannya yang kotor oleh kotoran kelinci.
“Belum.” sahut Alexa dengan manja.
“Kenapa belum? Lihat Om Dika ngambek karena belum dikasih kado.” Dika menatap heran kepada ayah dan anak yang kini tengah cekikikan sembari meliriknya sekali-kali. Sepertinya mood Alexa sudah membaik karena dirinya kini tengah berbisik-bisik bersama ayahnya dengan senyum lebarnya sebelum anak kecil turun dari pangkuan ayahnya dan mendekati Dika.
Dika yang tengah melihat istrinya berjalan menghampiri merasakan kaos yang dipakainya ditarik-tarik oleh seseorang. Dika pun menoleh dan mendapati Alexa yang tersenyum lebar seraya menyerahkan sebuah bingkisan kepadanya.
“Selamat ulang tahun, om. Kata papa, om tua, Lexa mau dede bayi yang banyak.”
Alex tergelak dengan tawanya mendengar kalimat yang diucapkan anaknya itu sangat jauh dari apa yang tadi ia bisikkan. Seharusnya Alexa berkata bahwa ia mengharapkan bayi yang banyak dari Dika yang usianya sudah tua. Seperti dirinya yang memiliki kakak dan adik yang entah kapan akan bertambah lagi.
Sementara Dika hanya menatap bingung kepada sepasang suami istri yang sedang tertawa, dan wajah seorang anak kecil yang sedang memandangnya dengan tatapan polosnya. Namun meskipun ia masih bingung, Dika mulai menerima barang pemberian Alexa dan mengucapkan terima kasih membuat Alexa sangat senang dan menubruk d**a papanya untuk kembali dalam pangkuannya.
Dika memperhatikan bingkisan yang terlihat tidak rapi itu dengan lekat, hingga kemudian Alex menyela dan berkata bahwa anak-anaknya lah yang memaksa ingin membingkis kado itu.
“Ngomong-ngomong itu anak-anak sendiri yang bingkisnya, jadi ya gitu hasilnya. Alexa sama Alexis pilih parfum sebagai hadiah, katanya mereka gak suka bau obat-obatan yang melekat di baju lo.” Alex terkekeh diakhir kalimat membuat Dika ikut terkekeh sembari mencium bau bajunya yang katanya bau obat.
Bau obat yang dikatakan Alex ternyata tidak ada benarnya, bajunya tidak bau tapi sedikit aroma parfum yang ia pakai sebelum bekerja masih melekat di tubuhnya. “Memangnya om bau obat?” tanya Dika memastikan, ia tak mau orang-orang di sekitarnya merasa tak nyamanjika bau obat-obatan atau bau khas rumah sakit menempel di tubuhnya.
Alexa menggeleng semangat sembari menatap penuh pengharapan sebelum berkata dengan polosnya, “Om wangi! Lexa suka baunya. Lexa mau om ganti parfumnya dan parfum punya om buat Lexa.”
Alex dan Kina melongo mendengar perkataan Alexa barusan. Pantas saja anak itu bersikeras untuk membeli parfum sebagai hadiah kado ulang tahun Dika. Ternyata bukan maksud untuk memberi, Alexa hanya ingin melakukan barter dengan omnya.
Sedangkan Dika tertawa keras mendengar penuturan Alexa yang polos itu. Dia tak habis pikir kenapa Alexa bisa secerdas itu untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya.
“Sayang, kamu bisa beli parfum yang sama dengan Om Dika jika mau, itu kan hadiah, masa minta gantinya?” kata Kina berusaha meluruskan pemikiran Alexa yang masih mengharapkan sebotol parfum yang sering tercium dari pakaian Dika yang wangi.
Namun ana kecil itu menggelengkan kepalanya, “Lexa mau parfum punya Om Dika!”
Alex dan Kina merasa bingung harus bersikap bagaimana lagi menghadapi anaknya yang keras kepala ini. Dika sendiri bingung harus bagaimana, tidak mungkin, kan ia memberikan parfum pemberian Alisha kepada Alexa? Meskipun ia yakin mulut Alisha akan memperbolehkan, namun Dika tahu bahwa istrinya itu pasti keberatan.
“Ada apa ini?” seru Alisha begitu ia duduk di debelah Dika dan menatap Alexa dengan wajah memerah menahan tangis.
“Mau parfum-” rengek Alexa yang segera ditahan oleh Alex dengan membekap mulutnya.
“Nanti kita beli yang sama seperti punya Om Dika, ya?” bisik Alex pelan di telinga Alexa berharap anak keduanya itu mau mengerti, namun Alexa tetap menggelengkan kepala seraya menangis kencang. Alexa menepis tangan papanya yang akan memeluknya, hingga ia bangkit seraya berjalan mendekati mamanya dengan tangisan yang belum reda.
“Jangan nangis, nanti dede bayi dengar, nanti ikut nangis, tahu kakaknya sedang menangis.” ucap Kina beriringan dengan gerakan dari dalam perutnya yang menyentuh kaki Alexa yang duduk di pangkuannya.
“Lihat, dede bayinya gerak gara-gara dengar kakaknya nangis.”
“Tapi mau parfum.” rengek Alexa disela isakannya. Ia mendongak untuk melihat keadaan mamanya setelah bayi di dalam perutnya bergerak. Alexa tak mau membuat mamanya kesakitan saat bayinya bergerak seperti beberapa waktu lalu.
“Iya, nanti kita ajak Om Dika pilih parfum yang sama, ya? Sudah jangan nangis lagi.” Bujuk Kina yang akhirnya berhasil, Alexa mau menuruti perkataannya hingga beberapa saat kemudian tangisannya mereda dan setelah itu Alexa tertidur nyenyak dalam pangkuan Kina.
“Pasti repot banget, ya ngurus dua anak kecil yang lagi aktif gini.” Sahut Alisha setelah sekian lama ia hanya memperhatikan mereka. Ia sedikit merasa kasihan melihat Kina yang sedang hamil besar kerepotan dengan kedua anaknya yang masih kecil. Dengan spontan tangannya mengelus sendiri perutnya yang sudah membentuk sedikit tonjolan. Berharap anaknya nanti akan menjadi anak yang baik dan mau mendengarkan perkataan orang tuanya.
“Aktif nangis, ya?” kekeh Alex seraya mencium kening Alexa dan sesekali mengusap kening yang penuh keringat itu.
Akhirnya setelah membiarkan Alexa tidur dalam pangkuan Kina, Mama Alisha memanggil dua anak kecil yang sedari tadi bermain di dalam rumah bersama ponsel milik masing-masing. Makan bersamapun dimulai dengan sedikit candaan dan pembicaraan mengenai tingkah Alexa yang sedang tertidur.