4 (Revisi)

1025 Words
Motor merah dengan plat nomor yang sangat terkenal dikalangan para suster itu terparkir rapi di depan rumah sakit. Seperti kebiasaannya tiga bulan ini. Malas memparkirkan motor di tempat seharusnya. Walau agak menganggu, namun tak ada yang berani menegur. Lelaki itu bagai seseorang yang berbeda dengan keadaan sebelum tiga bulan terakhir. "Selamat siang, Dok." David mengangguk. Dokter spesialis jantung. Dokter yang katanya lebih baik dari sang kakak. Namun memiliki masalah hidup yang lebih berat dari kakaknya. Adrima Jack Archer. Adalah Kakak kandung seorang David yang juga bekerja di rumah sakit yang sama dengan David. Rumah sakit Kakek mereka. Kepribadian David dan Adrima sangat berbeda, dulu. David dengan sikap sabar dan penyayangnya. Sedangkan Adrima dengan sikap tegas dan mematikannya. Tapi setelah kejadian hari itu, sifat keduanya sama. Sama-sama dingin, mematikan, dan tegas di saat bersamaan. Tatapan David yang biasanya lembut, sekarang menajam. Tangan yang biasanya memberikan semangat itu kini mengepal mengerikan. Dan senyuman yang biasanya dihadirkan, lenyap dengan wajah datar. Tidak ada lagi David yang bersemangat, penuh keceriaan dan mau membalas sapaan. Lelaki itu berubah kejam. Ia tidak akan tinggal diam ketika ada orang yang mencaci istrinya. Yang mengatakan hal buruk tentang wanitanya. Karena setelahnya, jangankan mendengar hal itu lagi. Orangnya pun tidak ada. Bahkan tidak bisa ditemukan keberadaannya. "Baguslah, kamu sadar sama tugas kamu." David hanya melihat sebentar ke arah sang kakak. Malas menanggapi atau bicara langsung dengan Adrima. Karena ujungnya pasti akan berujung amarah. "Bagaimana dengan tawaran Kakek semalam? Kamu tidak mungkin menolaknya kan?" David menghentikan langkahnya. Mengeluarkan satu bungkus rokok dan melemparnya ke arah Adrima. Bermaksud agar Adrima diam dan lebih baik menyesap nikotin tersebut. Namun naasnya, rokok itu salah sasaran. Tangan Kakeknya yang entah kenapa bisa ada di sana. Maksudnya, kenapa bisa menangkap bungkus rokok miliknya. Sial! Bencana baru. "Kalian berdua, masuk ke ruangan masing-masing." Adrima mengangguk. Sedangkan David memutar bola matanya malas. Alih-alih mengikuti ucapan pria paruh baya itu, lelaki itu malahmelangkahkan kakinya mendekat pada sang kakek. Tangannya terulur, meminta rokoknya dikembalikan. "Masuk ke ruangan kamu." "Iya. Itu rokok Dave siniin," pinta David santai. Pria di depannya itu menghirup dalam-dalam oksigen lewat hidung. Tongkatnya terangkat mengetuk tangan David sebelum menarik cucunya itu untuk pergi dari lorong depan rumah sakit. Sepanjang jalan David meringis. Sebab sang kakek bukan lagi memegang lengannya, tapi telinganya. Ia seperti anak kecil yang ketahuan bermain air hujan sore hari. Tatapan para perawat dan juga dokter yang sedang lewat membuat David jengkel. Habis sudah martabatnya di hadapan semua orang. Hilang sudah wibawanya. "Kek.." "Kamu tuh bandel! Susah banget dibilanginnya!" David menarik senyum kecil di bibirnya. Kakeknya mungkin pernah berlaku jahat padanya dengan memaksa ia menikahi Megan sedangkan dirinya sendiri tidak menyukai gadis itu, dulu. Namun Kakeknya yang menjaganya sewaktu kecil kembali. Pria yang selalu memarahinya dan menarik telinganya ketika ia melakukan kesalahan, telah kembali. "Kenapa Kakek?" "Sekarang terserah kamu! Secepatnya bawa perempuan ke hadapan Kakek atau Kakek sendiri yang pilihkan." "Lagi?!" "Ya. Terserah. Semua keputusan ada di kamu. Dan untuk rokok ini Kakek sita. Apa kamu lupa kamu dokter?! Membawa rokok dan bau alkohol seperti ini, apa ini sosok dokter?!" Baiklah, David.. siapkan telingamu. *** Suara tawa terdengar begitu indah. Memasuki telinga David yang butuh amunisi seperti tawa gadis di depannya ini. Melihat bibir itu tertarik membentuk tawa, mau tak mau David ikut terkekeh kecil. Padahal gadis ini menertawakannya. "Dih, malah senyum," katanya pelan. David menggaruk tengkuknya sebentar sebelum mematikan rokok di tangannya ke dalam asbak. "Jadi ... kamu punya solusinya?" Tanya David. "Ya, itu sih terserah kamu. Keputusan ada di kamu. Lagian bukannya insyaf malah makin jadi! Harusnya kamu tuh makin deket sama Allah, bukannya ngejauh. Doain Megan. Supaya dia tenang di sana. Ini malah tambah dosa." "Bukan tambah dosa, Ra. Tapi menghilangkan rasa," jawab David sok puitis. Meira, gadis dengan hijab berwarna tosca itu menggeleng tak paham. Tangannya mengambil coklat panas di meja dan mulai menyesapnya. "Kamu yakin gak akan berubah?" "Buat apa?" "Kok buat apa?!" David menaikkan halisnya. "Ya emang bener, kan? Buat apa? Aku bisa ngurus diri aku sama anak-anak kaya gini juga." "Yakin?" Tanya Meira tidak percaya. "Iyalah." Meira tertawa mendengarnya. Ia menopang dagu menatap wajah David dengan seksama. "Kamu aja udah amburadul gini. Masih yakin ngurus anak sama diri sendiri?" "Wah, kamu nyepelein aku?" Meira kembali tertawa. "Gak nyepelein. Tapi.. lihat diri kamu sendiri, Dave. Gak bisa lepas dari rokok, alkohol, obat dan semua yang seharusnya gak kamu konsumsi. Kamu tau kalau itu semua gak baik dan malah semakin buat kamu jauh dari Allah." "Ra.." "Gini, Dave. Kamu punya rencana membesarkan anak-anak kamu tanpa istri baru, kan?" David mengangguk tanda ia mengiyakan. "Dan kamu yakin kalau kamu bisa jaga anak-anak tanpa bantuan siapapun, benarkan?" David kembali mengangguk. "Itu gak mungkin. Alasan pertama, kamu sendiri aja udah kewalahan sama rasa kehilangan kamu. Alasan kedua, setiap hari kamu kerja. Dan alasan ketiga, setiap malam kamu bahkan harus ke club. Jadi, jam berapa dan kapan kamu punya waktu buat ngurus anak kamu?" Meira mengangkat telapak tangannya ketika David akan berbicara. "Masih mau menyangkal dengan bilang ada Mbok Surti? Mereka sebenarnya anak siapa? Dan apa sebenernya rencana kamu? Kalau kamu masih mengandalkan Mbok Surti, itu artinya rencana kamu membesakan si kembar bukan dengan kamu sendiri. Tapi dengan Mbok Surti." David bungkam. Penjelasan panjang dari Meira ada benarnya. Lelaki itu mengerjap pelan. Pagi sampai sore ia di rumah sakit. Pulang, tidur dan mempersiapkan diri untuk pergi ke club malam. Dan.. kapan ia punya waktu bersama si kembar?  Meira, gadis yang pernah singgah di hatinya sebelum Megan itu benar-benar mampu membuatnya diam tak berkutik. Gadis itu mampu membuka pola pikirnya yang tiga bulan terakhir terasa sangat sempit. Meira memang bukan gadis baik. Dan David juga tahu kalau Meira pernah nakal pada masanya. Namun gadis itu memilih berhijrah. Bukan sepertinya yang semula taat berubah nakal. Mengusap wajahnya kasar, David memikirkan bagaimana caranya ia bisa membagi waktu kerjanya. Bahkan saat ini saja dirinya sudah tidak bisa ikut campur saat operasi berlangsung. Hanya boleh memeriksa atau mungkin mendata. Karena sang kakek takut jika bukan menyelamatkan, David malah membuat para pasien menuju sang illahi. "Jadi? Masih memepertahankan 'rencana' kamu itu?" Ujar Meira menyindir. David tersenyum kecil. Ia angkat tangannya guna mengacak puncak kepala Meira. Namun buru-buru ditahan gadis itu. "Gak boleh! Bukan mahram!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD