3 (Revisi)

1050 Words
David menggosok telinganya kesal. Suara Kakeknya yang sedari tadi bicara tidak ia dengarkan. Pikirannya masih tertuju pada foto yang terselip di dalam dompetnya. Foto Megan. Lelaki itu beberapa kali berdehem saat Kakeknya mulai membentak. Pengaruh obat dan juga minuman haram itu ternyata masih melekat. Padahal David baru meminumnya sedikit. Benar-benar sedikit. Hanya lima gelas. Tapi kepalanya sudah pusing. Mungkin ditambah ocehan Kakeknya yang tiada akhir. "Kamu dengerin Kakek ngomong gak sih?!" David mengerjap. Ia duduk tegak. Suara Kakeknya kali ini lebih besar dan sangat membahana. David lantas menangguk. Mengiyakan saja. Tidak tahu harus menjawab atau memberi opini apa saat ini. Ia saja tidak mendengarkan sang kakek bicara. Bagaimana bisa ia mengeluarkan pendapat? "Iya." "Yaudah, Kakek tunggu calon istri kamu minggu depan," ujar pria paruh baya itu dan bangkit perlahan menggunakan tongkat kayu di tangan kanannya. Sesaat David loading. Namun tak lama kemudian, lelaki itu mendapat sinyal bahaya saat ia mengerti maksud sang kakek. "Lho? Kok malah calon istri?!" Tanya David tidak terima. Tuk. Tongkat kayu sang kakek mendarat sempurna pada kepala David.  Hal itu jelas membuat David langsung mengusap kepalanya dengan mata yang membulat kesal. Bibirnya juga mengerucut. "Sakit, Kek!" Ringis David. "Iya, iya aja! Kamu gak dengerin omongan Kakek, kan?! Tadi Kakek ngomong apa aja?" David hanya menyengir lebar. "Pusing Kakek ngurus cucu kaya kamu! Udah, lupain aja semuanya. Kalau hidup kamu gini-gini aja, mau kaya gimana majunya? Kenan sama Kinan butuh Ibu. Mereka butuh sosok pendamping. Kamu memang selalu ada buat mereka, tapi ada hal lain yang mereka butuhkan." "Tapi Kek.." "Kamu sendiri merasakan, bukan? Bedanya kamu itu masih beruntung ada Kakek sama Nenek. Kamu juga pernah jadi Kenan sama Kinan. Kamu tau posisi mereka kaya gimana. Kamu tau keadaan mereka kalau sudah dewasa gimana. Kamu yakin bakal biarin mereka tumbuh dewasa kaya kamu?" David bungkam. Lelaki itu menghela napas panjang. Apa yang Kakeknya ucapkan memang benar adanya. Jika saja saat itu Kakek dan Neneknya tidak mengangkat ia menjadi cucu kesayangan, David yakin hidupnya tidak akan seindah ini. Tidak diakui oleh keluarga kandungnya karena terlupakan. Tidak diperkenankan merasakan kebahagiaan layaknya anak pada umumnya hanya karena kembaranya yang saat itu koma. Tapi.. David yakin dia bisa melakukannya. David yakin bisa menjadi seorang ayah sekaligus ibu bagi kedua anaknya. David yakin bisa berperan baik dan menjaga si kembar. Ia tidak akan lengah. "Kalau kamu pikir mengurus anak itu mudah, maka pemikiran kamu itu terlalu dangkal!" David mendongkak. Ia menatap sang kakek yang hanya mempu menggelengkan kepala melihatnya. David bukan anak yang keras kepala. Namun terkadang David sangat menjengkelkan jika keinginannya sendiri tidak dipenuhi. Memang tidak memaksa tapi perlakuannya selalu menjengkelkan dan mengungkit semuanya. "Sekarang saja si kembar diurus hampir 24 jam sama si Mbok. Kamu kira si Mbok gak capek ngurus anak dua sama rumah segede ini? Umurnya gak muda lagi. Disuruh nyewa baby sitter, bilangnya takut kepincut. Kamu tuh maunya apa sih, Dave?" "Kakek ... Kakek harus percaya sama David. David janji bakal jagain si kembar sekuat dan sebisa David." "Iya. Kamu bilang kaya gitu, tapi malemnya ilang buat clubbing. Mana David yang taat agama?! Mana David yang percaya kalau Tuhan selalu sama kita? Kakek gak pernah punya anak sedangkal kamu otaknya." "Yaiyalah, kan Dave mah cucu, bukan anak, Kek." "Jawab aja kamu!" *** "Ada masalah hidup apalagi sih lo? Perasaan berantakan banget hidup lo, Dave. Padahal semuanya udah lo dapetin," ejek seorang lelaki yang kini tengah memperhatikan lembaran kertas di tangannya. David hanya mengedik kecil. Tangannya mengambil sebuah botol kaca yang berisi alkohol itu. Menuangkannya ke dalam gelas cantik dengan pegangan satu dan tipis. Berbentuk tabung kecil. "Lo mabuk di sini, gua seret lo pulang!" Ancam lelaki itu lagi seraya menjauhkan botol itu dari jangkauan David. David berdecak melihatnya. Ia tegak habis minuman itu yang berada di gelas sebelum akhirnya mulai menyalakan ujung rokok. Menghisap nikotin itu perlahan. Merasakan kepulan asap yang mulai memenuhi rongga pipinya. Matanya yang memerah dan sayu itu terpejam. Terasa sangat menenangkan. "Mau sampe kapan lo kaya gini?" David hanya mampu menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa. Enggan membalas ucapan sang sahabat yang mulai melantur menurutnya. Niatnya kemari untuk bercerita sepertinya harus batal. Apalagi setelah mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Graha. "Tadi Kakek nelepon gua. Dia bilang kalau lo baru aja disuruh nikah lagi. Bener?" Tanya Graha memastikan. Lelaki itu melepaskan kacamatanya dan menaruhnya di atas meja. Mulai membereskan segala barang-barang David yang tergeletak begitu saja di lantai dan sofa. Mulai dari bungkus rokok, botol-botol alkohol dan beberapa plastik bekas kemasan cemilan. "Hem. Dan sebenernya gua mau cerita hal itu sama lo." "Terus? Kenapa kagak jadi?" "Lo nya nyerocos terus. Males gua bahasnya juga." Graha tertawa mendengarnya. Lelaki itu membuang seluruh sampah ke box ujung pintu sebelum akhirnya ikut bergabung bersama David. Menepuk beberapa kali bahu lelaki itu seraya tersenyum penuh arti. "Gini, Dave. Hidup lo itu bukan cuman diri lo sendiri. Ada si kembar, Kenan Kinan. Lo gak mungkin biarin anak lo kaya gini, kan? Lo juga gak mungkin buat anak lo hidup tanpa sosok Ibu, kan?" "Menurut lo?" Ujar David malah balik bertanya. "Iya. Lo bakal biarin anak-anak lo seperti yang gua bilang." "That's right!" David terkekeh kecil. Sedangkan Graha memejamkan mata seraya mengurut keningnya kecil. Bingung harus melakukan apa lagi agar David sadar. Semenjak kematian Megan, David semakin tidak terkendali. Megan Dribin. Wanita yang sempat menjadi istri David itu memang cukup menarik. Graha akui hal itu. Sebab, dirinya pun pernah menaruh rasa pada gadis polos itu. Kecantikan Megan memang sangat luar biasa. Wajah pucatnya yang terhias dengan mata sipit dan bibor tipis mampu menggoda semua lelaki yang berada di sekitar. Namun sayangnya, umur gadis itu tidak panjang. Tidak ada yang tahu masalah kematian. Karena sesungguhnya semua sudah diatur dan dicatat sebegitu apik. Sekeras apapun kita menolaknya, hasilnya akan sama. "Come'on Dave.. coba dulu aja kenalan sama cewek. Gak usah yang gimana-gimana. Yang penting nyaman di lo aja." "Gua gak butuh cewek buat nemenin sisa hidup gua. Sendiripun gak akan jadi masalah. Kenapa harus nikah? Si kembar gak akan gua biarin kekurangan kasih sayang." "Itu yang lo omongin. Tapi kenyataanya? Sekarang aja udah tiga bulan. Anak lo udah tiga bulan lamanya gak dapet perhatian lebih dari lo. Dan lo masih nyangkal kalau lo bisa kasih semua rasa sayang lo sama si kembar? Hidup itu bukan tentang ego, Dave. Tapi juga keluarga." David meremas bungkus rokoknya keras. Sialan, kenapa sekarang ia malah bimbang?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD