bc

My Evening Primrose (Indonesia)

book_age0+
4.0K
FOLLOW
70.5K
READ
forced
arrogant
dominant
boss
drama
tragedy
bxg
like
intro-logo
Blurb

[21+]

Tertarik pada seorang gadis cilik membuat Julius Meyer Romanov mengklaim dirinya sebagai seorang p*******a. Hingga pria itu harus rela tinggal selama bertahun-tahun di Norwegia demi menghindari sumber kekacauan hidupnya; Eleanor Primrose. Namun saat Julius memutuskan kembali lagi ke tanah kelahirannya, Italia, semuanya menjadi kian runyam. Julius tidak bisa menahan diri ketika Eleanor telah tumbuh menjadi gadis cantik yang mulai dikerubungi banyak laki-laki. Dalam kobar api yang membakar d**a itu, apa yang akan Julius lakukan demi memadamkannya?

To burn with desire and keep quiet about it is the greatest punishment we can bring on ourselves.

chap-preview
Free preview
Chapter 1 : Flower Road
Tak ada tempat seindah Alberobello. Setidaknya itu menurut Eleanor Primrose. Atau karena dia sendiri yang tak pernah mau keluar dari kungkungan Provinsi Punglia, Italia itu—untuk menemukan daerah yang juga luar biasa di luar sana. Namun pada kenyataannya, kota kecil yang berada jauh di selatan Italia itu memang cantik. Bagaimana tidak? Rumah-rumah penduduk di cat seragam, berwarna putih. Atap-atapnya dibuat mengerucut sehingga tampak unik. Jalanan yang asri karena ditumbuhi hijaunya pepohonan, kuncup-kuncup bunga bermekaran di pot tanah liat, dan udara tanpa polusi, adalah hal-hal yang tak bisa Eleanor abaikan setiap harinya. Surga ini berada di atas bukit dan dikelilingi oleh perkebunan zaitun yang luas. Sebagian dihiasi perkebunan kopi dan teh. Tentu saja, mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani dan peternak. Oh ya, di sini ada beberapa peternakan yang cukup sukses. Tetapi yang paling besar di antara mereka adalah milik keluarga Romanov. Dan Eleanor tinggal di sana sejak dia masih bayi—begitulah Sarah memberinya informasi. Kini dia ikut bekerja bersama perempuan yang telah mengasuhnya sedari kecil itu, di perkebunan bunga mawar. Secara harfiah, Romanov Farm House merupakan rumahnya. Mereka berdua diberikan rumah kecil yang nyaman dekat perkebunan, bersisian dengan rumah-rumah pekerja lainnya, atas kebaikan hati keluarga Romanov karena Sarah—Bibinya, sudah bekerja untuk perkebunan mereka selama hampir 30 tahun. Salah satu pekerja yang awet, oleh sebab itu pengabdiannya dihargai. “La zia[1], kenapa mereka tidak mencoba menanam bunga lain?” Seperti biasa, sore itu Eleanor bersama Sarah datang ke Rose Hill untuk menyiram ribuan pot mawar yang masih berkuncup. Beberapa pekerja laki-laki nampak berada di pinggir, berjibaku dengan tanah gembur, hendak menanam mawar putih kembali. Sebab, beberapa hari lalu mawar itu telah dipanen.  “Rasanya aku bosan melihat mawar sepanjang hidupku.” Sambungnya. Sembari tetap memerhatikan bagaimana Sarah menabur kapur ke dalam pot. Tujuan pemberian kapur tersebut agar ph tanah naik, menambah unsur-unsur Ca dan Mg, memperbaiki mikroorganisme serta bintil-bintil akarnya. Tanah berpori-pori akan dibutuhkan oleh akar mawar. “Hanya dengan Rose Hill saja mereka sudah sekaya itu,” komentar Sarah. “mawar-mawar ini dikirim ke kota untuk dijadikan bahan pembuat parfum. Semua orang suka parfum, maka darinya bunga ini akan selalu dibutuhkan untuk itu. Percobaan budidaya bunga yang lain akan mendatangkan beberapa resiko, mungkin itu sebabnya mereka hanya menanam mawar. Pengusaha tak mau rugi.” “Kalau aku pengusaha, aku akan datangkan berbagai macam bunga dari seluruh penjuru dunia untuk ditanam di kebunku.” “Baguslah, terus bermimpi.” Bibir Eleanor mengerucut, “apa salahnya bermimpi punya kebun sendiri?” “Salah, karena kita tak punya uang sebanyak itu untuk membeli kebun. Walau hanya sepetak.” Sarah selalu begitu. Pesimis, dan mengalah pada takdir. Padahal siapa tahu suatu saat nanti mereka punya perkebunan sendiri. “Kenapa melamun? Lanjutkan potong daun-daun layu itu.” Tegur Sarah, Eleanor mengerjap sebelum kembali pada batang-batang mawar, dan menggerakkan guntingnya untuk memangkas daun yang layu. Akhirnya, dia tenggelam pada pekerjaannya. Bosan ternyata bukan kata yang tepat untuk kesannya setiap hari melihat mawar. Eleanor terlalu mencintai tumbuhan. Rasa cinta itu mendorongnya untuk mendatangkan kawan-kawan si mawar. Entah apa, dan pokoknya apa saja. Lavender yang ada di dalam buku sekolahnya dulu juga terlihat cantik berwarna ungu. Lalu tulip, anggrek, Eleanor ingin menanam itu semua. “Sudah selesai?” Sarah menghampirinya sembari meletakkan ember kapur. Eleanor menggumam sebagai jawaban, sibuk melap keringat di atas dahinya dengan punggung tangan. “Bawa karung itu ke tempat pembuangan, aku akan pergi melapor untuk pekerjaan hari ini.” Perempuan itu melepas sarung tangannya, Eleanor mengikuti. “Akhirnya selesai juga.” Tambahnya. “Aku pergi.” “Hati-hati di jalan—jangan sampai jatuh, dan jangan sampai sampahnya tercecer.” Teriakan Sarah mengiringi langkah Eleanor yang agak kesusahan mengangkut karung itu. Meski isinya hanya limbah mawar, tapi untuk ukuran tubuhnya yang ramping, membawa-bawa benda itu tetap saja menyusahkan. Eleanor berdiri di halaman Rose Hill dan menaungi matanya untuk menatap ke depan sana. Pembuangan yang cukup jauh. Dengan segenap kekuatannya, dia membuang napas dan langsung menggeret karung dengan cepat. Anak tangga bangunan Rose Hill dilewati, lalu pagar berupa tanaman perdu, jalanan bertanah merah yang dilapisi batu kerikil—untung saja bukan musim hujan. Eleanor setengah berlari di bawah hujan daun-daun kecil dari pohon besar di kanan kiri jalan. Berguguran, berwarna kuning. Harum daun teh di sekeliling membuatnya lupa diri. Tinnn—tinnn— Tinnn—tinnn— Eleanor tidak sempat menghindar ketika badan mobil menabrak tubuhnya. Bahkan, dia tak sempat melihat proses itu. Kapan ada kendaraan di hadapannya? Yang dia tahu sekarang hanyalah, dia habis jatuh berguling dan pantatnya nyeri. Karung terlepas, isinya acak-acakan. Hal pertama yang dilakukannya adalah mengerang sakit. Pada saat itu terdengar pintu mobil terbanting. Lalu ada semacam bayangan yang meneduhkan mendekatinya.  “Hei, kenapa tidak menyingkir setelah klakson memperingatkanmu?” Suara itu terdengar jengkel. “Rem mobilnya tidak cukup bagus untuk tidak menabrakmu sedikit.” Eleanor terduduk di atas kerikil, sembari meniupi lututnya yang berdarah. Ah, sudah jatuh, dimarahi pula. Itu semua memang salahnya sih yang tak lihat-lihat jalan. Dan juga klakson mobilnya sudah jelek sampai tidak kedengaran seperti klakson mobil begitu. Maklum, sepertinya mobil tua. “Eh, maaf—aku bawa itu tadi,” Eleanor menunjuk karung yang isinya terburai. Lalu mengangkat wajahnya dan bertatapan dengan sepasang mata biru yang seperti pantai lepas. Berada di garis yang sejajar karena pria itu menekuk satu kakinya. Astaga. Eleanor tidak berkedip. Atau mereka berdua memang sama-sama tidak berkedip? “Maaf, Sir—sungguh tidak sengaja, maaf karena—” “Lututmu terluka.” Pria itu nampaknya berhasil mengatasi keterkejutannya dan mengendalikan situasi. Lalu tertarik pada luka di atas lutut Eleanor. “Eh—” kakinya spontan beringsut ketika disentuh. “Kenapa? Lukamu perlu diobati.” Suara yang dalam itu seperti sihir yang berputar-putar dibawa angin. Dan angin membawa aroma citrus di tubuh tegap itu menari di indera penciuman Eleanor. “Oh, itu, tidak perlu—aku bisa mengobatinya di rumah nanti.” “Tsk, ayo masuk ke dalam mobil.” “Apa? Tidak—maksudku,” Eleanor mengamati keadaan di sekitar. Apakah akan baik-baik saja jika dia bicara dengan—dengan— Demi Tuhan, pria ini Julius Meyer Romanov. Wajar saja jika tubuh Eleanor berkeringat dingin sekarang. Seumur hidup, baru kali ini dia berbicara empat mata dengan sang pemilik Romanov Farm House. Sosok yang paling ditakuti sekaligus dikagumi oleh pekerja-pekerjanya lebih dari pemilik terdahulu, mendiang Ayahnya. Bagaimana mungkin ketenangan akan menguasai dirinya? “Kau pekerja di perkebunanku?” “Ehm—ya.” Dijawab dengan agak ragu. “Tinggal bersama Bibi Sarah di rumah yang disediakan oleh—” “Kalau begitu naik ke mobil. Orang-orang akan menyangka aku bos yang gila membiarkan pekerja yang masih kecil sepertimu, tertabrak oleh mobilnya.” “Eh, tapi—” “Membantah?” Eleanor menundukkan kepalanya saat ditatap dengan begitu tajam. Sepasang mata biru itu membuatnya ketakutan. Eleanor tidak berkata apa-apa lagi ketika lengannya dipegang. “Kau bisa berdiri?” Sayangnya ringisan adalah jawabannya. “Oke, kalau begitu diam.” Tapi tidak, Eleanor menjerit kaget saat tubuhnya terangkat dari tanah. Dia digendong Julius, didudukkan di samping kemudi. Pria itu menyusul kemudian dengan gesit lantas menyalakan mesin. Mobil berjalan kembali di atas kerikil, agak tak nyaman dilewati. Sedikit terguncang. “Sir, sampahnya—” Eleanor menengok ke belakang sekaligus merasa heran kenapa dia tak bisa menyelesaikan setiap kata-katanya, sekadar untuk bicara normal. “Hebat, kau masih memikirkan sampah itu.” Pria di sampingnya yang fokus mengemudi berbicara dengan nada sarkas. Eleanor takut lagi. “Sampah itu bisa diurus pekerja lain, yang penting kau. Pikirkan dirimu sendiri.” “Ini hanya luka kecil saja.” “Sampai membuatmu tak bisa berdiri? Jelas-jelas kakimu terkilir.” Dan Eleanor bersumpah takkan membuka mulut lagi sampai mereka tiba di tempat tujuan. Ternyata bosnya itu bukan tipe orang yang mudah diajak bertukar pikiran. Mobil itu berhenti di samping istal kuda. Beberapa pekerja yang akan pulang menjelang petang itu terkejut akan kedatangan bos besar mereka. Terburu-buru badan mereka membungkuk, sebagian menyapa. Si bos hanya mengangguk singkat. Eleanor yang masih berada di dalam mobil merasa tidak enak, dia menutup sebagian wajahnya menggunakan telapak tangan. “Sedang apa?” “Eh,” gugup itu lagi, Eleanor merutuk. Tak bisa berkata-kata saat Julius membantunya turun dari mobil dan mendudukkannya di bangku di sisi istal, sementara pria itu mencari kotak P3K di dalam mobil. Dan kembali dalam tiga menit. Julius mengeluarkan kapas, alkohol, betadine dan plester. Pria itu berlutut di depan Eleanor dan mulai bekerja. “Aw!” “Tahan.” “Perih.” “Anak cengeng.” Eleanor cemberut. “Aku bukan anak-anak.” Tangan yang tengah menekan-nekan kapas basah itu mendadak berhenti. Julius mendongakkan kepalanya untuk menatap mata Eleanor lamat-lamat. Waktu terasa berhenti. “Berapa umurmu?” “13 tahun.” Julius mendecih. 13 tahun, dan gadis kecil itu sudah merasa sebesar apa memangnya? Jelas masih anak-anak. “Sejak kapan kau mulai bekerja?” “Sejak masih sekolah dan sampai lulus tingkat pertama, sekarang ini.” Eh, kenapa suaranya makin melemah? “Di Rose Hill, aku merawat bunga mawar.” “Kau berhenti sekolah?” “Bibiku tak punya uang.” Bahunya terangkat. Julius menutup lukanya dengan plester. Kembali ke mata Eleanor, seperti bicara tanpa kata-kata. Ketika kedua tangannya menyentuh betis yang halus itu, yang diterima olehnya adalah sebuah penolakan. “Tidak mau,” Eleanor merengek. “Sir, aku sangat menghormatimu—tapi tolong biarkan ini, aku tahu rasanya akan sangat sakit sekali.” “Kau mau kakimu sakit selamanya?” Julius nampak berang, Eleanor menggeleng dengan bingung. “Kalau begitu kemarikan.” Tak ada istilah pelan-pelan ketika Julius mulai menarik kaki Eleanor, mengurutnya di bagian yang agak bengkak. “Oh Tuhan!” Eleanor mencengkeram lengan Julius untuk meredam kesakitannya. Air matanya muncul begitu saja tanpa bisa dicegah. Dan saat proses pembetulan kakinya yang terkilir itu selesai, Eleanor terengah-engah. Merasa malu karena sudah menyentuh pria itu tanpa minta izin terlebih dulu. Eh, dasar refleks bodoh, kenapa juga sih Eleanor harus punya refleks segala? “Maaf.” Julius mengabaikannya. “Bisa berdiri?” Eleanor mencoba, dan merasa kakinya baikan dari sebelumnya. Oh, syukurlah, jadi dia tak perlu cemas karena bisa membuat Sarah khawatir serta repot nantinya. “Kuantar ke rumahmu.” “Eh, tidak-tidak—aku sudah cukup mendapatkan bantuan. Terkilirnya tidak parah juga.” Eleanor berdiri dan mencoba melangkah. “Aku akan berjalan ke rumah agar cepat sembuh. Terimakasih, Sir, atas kebaikan hatimu.” Julius tidak bereaksi apa-apa. Pria itu hanya berdiri seperti patung Michelangelo yang mengawasi langkah demi langkah Eleanor. Meski tertatih, namun tidak terlihat sangat mengkhawatirkan. Rambut panjang gadis kecil itu berkibar tertiup angin, berkilau disiram cahaya matahari yang bakal terbenam. Hingga sosoknya sudah tak terlihat lagi, Julius baru tersadar. Pria itu melirik bangku tadi, dan menemukan beberapa carik kertas tertinggal. Lusuh. Dia mengambil dan memeriksanya. Daftar belanjaan: Lavender. Tulip. Petunia. Peony. Julius mengeryit, apa-apaan ini? Kertas kedua dan ketiga berisi gambar-gambar yang handmade. Yaitu cara membudidayakan tumbuhan-tumbuhan itu. Lalu di bagian paling bawah kertas, di halaman terakhir, tertulis dengan pena merah, di sana tertera : Eleanor Primrose. Sudut mulut Julius tertarik beberapa inci. Bayangan gadis kecil itu menyambangi benaknya. Lagi. “Rose,” bisik suara huskynya, pria itu menghirup aroma dari kertas yang digenggamnya. Begitu menikmati momen tersebut. “Eleanor Primrose.” Bisiknya sekali lagi. *** [1] Bibi. [2] Terimakasih, Bibi.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Hello Wife

read
1.4M
bc

Everything

read
278.5K
bc

HURTS : Ketika Hati Yang Memilih

read
115.7K
bc

The Prince Meet The Princess

read
182.1K
bc

Beautiful Madness (Indonesia)

read
222.3K
bc

His Secret : LTP S3

read
651.6K
bc

Just Friendship Marriage

read
508.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook