Chapter 2 : Bittersweet Rain

2075 Words
Kabar mengenai kedatangan Julius Meyer Romanov di Alberobello nyatanya cepat tersebar. Dari mulut ke mulut pekerja, menjadi buah bibir. Pria itu kembali ke rumahnya setelah nyaris setahun tinggal di laut Norwegia untuk mengurus bisnis rintisan sendiri—jauh dari peternakan dan perkebunan keluarga. “Dia tidak akur dengan Ibu tirinya. Itu alasan yang umum, semua orang tahu. Satu-satunya alasan dia pergi dari Italia adalah karena wanita itu.” Para pekerja di kebun zaitun itu mulai menggunjing. “Kalau aku jadi dia, aku juga akan membenci wanita itu habis-habisan. Seseorang yang hanya ingin menikmati harta Tuan Romanov.” “Ssshh, wanita itu adalah bosmu.” “Bos katamu? Hei, gaji kita dikeluarkan oleh Tuan Romanov muda. Bukan Ibu tirinya yang menyebalkan dan suka menghamburkan uang itu.” Ternyata, tinggal di perkebunan sejak kecil tak serta merta membuat Eleanor tahu segalanya. Buktinya, sangat sedikit hal yang diketahuinya tentang keluarga Romanov. Putra Tuan Romanov sendiri jarang berada di Alberobello, bahkan sejak dulu Ayahnya masih hidup. Dan sekarang, Eleanor tahu alasan di balik itu. Ah, jadi pria itu tak suka dengan Nyonya Rowland? Pikirannya memutar kembali kejadian beberapa hari lalu. Di mana untuk pertama kalinya dia bertemu, bertatapan, dan bicara dengan sang pemilik Romanov Farm House. Oh benar, pria itu nampak mengintimidasi. Ekspresi wajahnya keras, memunculkan kesan jika kepribadiannya memang kurang bersahabat. Cara bicaranya membuat Eleanor tak berhenti merinding. Dan paras itu— Entah kenapa wajahnya terasa panas. Eleanor tak tahu rupa Tuan Romanov sewaktu muda, tapi putranya ini benar-benar—tampan, mempesona. Dengan mata sebiru laut Circassia. Rambutnya hitam jelaga, lebat. Kulitnya coklat terbakar sinar matahari dengan pas. Garis wajahnya tegas, rahang yang kokoh. Seorang Italia yang mewarisi keelokan Amerika Latin dari Ibunya—beberapa pekerja tadi bilang begitu, Ibunya Amerika Latin, meski entah bagian mana. Argentina, barangkali? Pria yang sangat matang. Eh, kenapa Eleanor terus memikirkan pria itu—bosnya? Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusir bayangan apapun yang mengganggu pekerjaannya memanen buah zaitun. Oh, itu pasti karena dia tak pernah melihat laki-laki ganteng sebelumnya, Eleanor menyeringai atas pemikirannya itu. Perkebunan zaitun itu berada di atas tanah seluas 600 hektare. Hijau, ornamen ungu kehitaman dari buah zaitun yang terlihat menambah keindahan panorama. Udara berembus sejuk, menggoyangkan dedaunan. Tak diragukan lagi, Alberobello memang surga. Saat tengah sibuk mengumpulkan buah itu, Eleanor melihat mobil pick up melintas di jalanan perkebunan yang berkerikil itu. Bak mobilnya berisi—apa? Apa dia tak salah lihat? Bukankah itu berpot-pot bunga lavender yang dia temukan di buku pelajaran sewaktu sekolah? Eleanor mengerjap dan tak bisa lebih kaget lagi ketika beberapa mobil pick up lainnya bermunculan, masing-masing mengangkut tumbuhan yang berbeda—petunia, peony bahkan tulip. “Eh, la zia, bisakah aku pulang lebih dulu?” “Ada apa?” Sarah yang tengah berjongkok untuk menyortir buah zaitun bertanya. Eleanor bahkan baru bergabung bersamanya setengah jam yang lalu. “Ehm, perutku sakit.” Eleanor jarang berbohong seumur hidupnya kecuali terpaksa, dan sekarang dia menggolongkannya ke dalam keadaan darurat. Sarah mendongak, meneliti wajah keponakannya sebelum rautnya melembut melihat Eleanor meringis sakit memegangi perut. “Pulanglah. Buat teh krisan agar perutmu hangat.” “Grazie, la zia[1].” Tanpa membuang-buang waktu Eleanor pergi, gaun kuningnya nampak berombak-ombak saat berlari. Terus naik ke arah bukit di mana Romanov Farm House juga rumahnya berada. Berlari tanpa memedulikan jika kakinya bisa saja tersandung. Yang penting mobil-mobil pick up itu terkejar. Rose Hill? Eh, mereka membawa tumbuhan itu ke rumah mawar? Eleanor memelankan laju larinya, makin lama makin melambat sampai akhirnya berhenti total. Para lelaki terlihat menuruni mobil, mereka semua memakai kemeja kotak-kotak dan sepatu boot. Dan Julius Meyer Romanov juga ada di sana. Eleanor mengendap-ngendap ketika menapaki anak tangga Rose Hill. Lalu bersembunyi di balik tembok yang berbata merah—menguping. Ya Tuhan, Eleanor tidak tahu kenapa dia bisa-bisanya melakukan semua ini. Namun rasa penasarannya memang tergelitik. “Julius, apa yang kau rencanakan dengan bunga baru ini? Bisnismu sudah luar biasa sukses hanya dengan bunga mawar.” “Aromaterapi.” “Apa?” “Lavender,” pria itu menunjuk sekumpulan bunga lavender yang telah diturunkan dengan topi koboinya. “aku mencoba peruntungan baru. Tumbuhan ini punya banyak manfaat. Aku bisa mengirimnya ke mana saja.” “Peruntungan kau bilang? Uangmu sudah banyak tahu. Bisnismu lancar semua. Atau jangan-jangan, kau menanamnya demi si Psikolog itu.” “Sialan!” Julius menukas. “Tidak benar.” “Ayolah, kawan. Usiamu sudah 34 tahun. Mau apa lagi?” “Tutup mulutmu.” “Dasar keras kepala. Mungkin kau bakal mati sendirian di laut Norwegia.” Dan begitulah percakapan itu berlangsung. Eleanor mendengarkannya baik-baik. Dan hampir melonjak karena kesenangan. Perkebunan lavender! Yes! “Aku akan cek persiapan di dalam.” “Pastikan orang-orangmu membawa polybag yang cukup.” Eleanor melihat pria itu sendirian di beranda Rose Hill. Lalu memeriksa peony dan petunia. Wajahnya tidak terlihat karena memunggungi. “Keluar dari situ.” Eung? “Kau, gadis kecil. Keluar dari situ.” Eleanor terperanjat, pria itu tahu kalau dirinya ada di sana? “Kau tuli?” Baiklah, baiklah, dia keluar. Akhirnya. Dengan langkah yang tersendat-sendat. Astaga. Matilah dia karena ketahuan menguntit, menguping, dan—apalagi? Ah, mati saja kau, Eleanor. “Ke mari.” Wajahnya menunduk ketika mereka sudah berdiri sejajar. Tak mampu mendongak hanya untuk mengetahui ekspresi marah macam apa yang diberikan padanya. Eleanor tentu merasa terkurung karena bayangan tubuh menjulang itu, berada begitu dekat. Nampak misterius. Apa gara-gara menguping ini Bibinya akan dipecat? Lalu mereka terusir— “Apa yang kau lakukan di sini?” Pertanyaan itu bernada retoris. “Tak ada yang kuizinkan bekerja di Rose Hill hari ini.” Berpikir, Eleanor, jangan diam saja. Tapi otaknya mendadak blank. Takut dan malu bercampur menjadi satu kesatuan yang membuat perutnya serasa dipilin-pilin, mual. “Em, aku—” telapak tangannya berkeringat. “aku hanya ingin bertanya, apakah beberapa hari lalu ada yang tertinggal di—” Tunggu, bukankah sejak mandi sore itu dia tidak memegang kertas yang berisi gambar-gambarnya? Di mana kertas itu? Ah, benar. Kini alasannya jadi semakin masuk akal! Kertas itu memang benar-benar hilang. “Tidak ada.” Sambarnya. “Tak ada apapun yang kutemukan.” Oh, pasti kertas itu jatuh di jalanan sewaktu dia tertabrak mobil. Betapa bodohnya, kenapa juga sih dia harus menyimpan kertas itu di dalam saku? “Kalau begitu, maaf telah mengganggu.” Eleanor berbalik dan mengambil langkah. Dua pundaknya merosot lesu. “Kau tahu tanah yang paling cocok untuk menanam lavender?” “Oh, tentu!” Eleanor membalik tubuhnya lagi dan sesaat menyesal karena kedengaran terlalu antusias. “Eh maksudku—tanah, pasir, dan sekam padi adalah media paling baik untuk menanam lavender.” “Ikut aku.” Eleanor terlambat bereaksi ketika tangannya terlanjur ditarik, masuk ke dalam salah satu mobil pick up. *** “Sir, maaf, ke mana kita akan pergi?” Eleanor duduk mengerut ketakutan di kursi penumpang, masih tak berani melirik Julius. Perasaannya tak karuan. “Apa sepanjang hari kau mau begitu terus?” “Hm?” “Menelungkup seperti jamur.” Ya, rambut berwarna emas itu jatuh menjuntai menutupi wajah. Helai-helai terkecilnya beterbangan, menebarkan wangi mawar. Atau karena gadis kecil itu memang bergaul dengan bunga mawar setiap hari. “Kau seperti jamur tiram kuning dari kepala sampai kaki.” Juga seperti bunga. Primrose. Julius kemudian melempar pandangannya keluar kaca mobil setelah berpikir seperti itu. Tak ada yang bersuara dalam 20 menit, hingga mobil itu berhenti di sebuah kawasan yang ditumbuhi padi meski tak luas. Ada sebuah rumah yang dibangun dari jerami di dekatnya. Eleanor terpaku, dia tak tahu Julius membawanya ke mana karena menunduk terus di sepanjang jalan. Padi. Baru kali itu dia melihat padi. Mereka di mana sebetulnya? Lantas sesuai perintah, dia turun dari dalam mobil. “Padi?” “Bibitnya kubawa dari Vietnam.” Julius menjawab untuk itu. Mereka berdiri bersisian dengan perbedaan tinggi badan yang sangat menyolok. Pria itu mungkin sekitar 190 cm? Setara dengan pohon jambu air yang ada di pekarangan rumahnya. “Apakah ini bagian dari—eh, tapi sepertinya kita berada cukup jauh dari Farm House.” Eleanor mengamati sekelilingnya, sepi. Hanya ada angin yang sepoi-sepoi. “Bagian utara Farm House, tempat bereksperimen untukku.” “Apa itu eksperimen?” Julius menahan diri untuk tidak mendongakkan wajah yang terus saja menunduk itu. Dan berteriak di sana agar tidak lagi menghindari tatapan matanya. “Mencoba sesuatu yang baru, bisa gagal dan berhasil. Dalam kasusku seperti rekayasa genetik pada tumbuhan, cangkok dan lain sebagainya.” “Apa itu?” “Lupakan.” Julius habis sabar. Pria itu melangkah lebih dulu ke arah tanaman padi. Eleanor di belakangnya cemberut. Apa salahnya ingin tahu? “Lalu apa yang akan kita lakukan di sini?” Julius mengedik pada setumpuk sekam padi yang berada di belakang rumah jerami. “Campuran untuk menanam lavender.” “Oh, bagus sekali. Lavender-lavender itu akan tumbuh dengan sangat baik.” Seru Eleanor, tanpa pikir panjang berlari ke sana untuk mengambil karung, dan mulai memasukkan sekam padi ke dalamnya. “Sir, apakah aku boleh ikut merawat bunga yang baru datang itu?” Eleanor memberanikan diri, masih sibuk memasukkan sekam padi. Tak mengeluh meski tak dapat bantuan. Julius tentu takkan mau bekerja dengan pekerjanya sendiri. “Tidak, pengetahuanmu terbatas.” “Aku tahu banyak soal tumbuhan,” Eleanor membela diri. “Aku tak mungkin membiarkan mereka mati begitu saja. Aku akan merawatnya sungguh-sungguh.” “Lihat saja nanti.” Setidaknya, kalimat itu mendatangkan harapan untuknya. Julius ikut berjongkok ketika langit di atas kepala mereka mulai gelap. Guntur terdengar samar-samar. Hujan memang sesekali turun meski bukan musimnya. “Sortir dulu, jangan masukkan yang sudah agak busuk.” Kedua tangan yang nampak kuat itu akhirnya ikut membantu. “Seperti ini, pisahkan.” “Eh, maaf.” “Apa kau tak bisa sekali saja tidak bilang maaf?“ Julius mendengus, “lebih baik perhatikan dan pelajari.” “Eh—” Eleanor menutup mulut saat akan bilang maaf lagi. Ugh, pria itu benar-benar kejam. Perbendaharaan katanya menyakitkan semua. Kadang, sindiran halus seperti itu lebih menakutkan daripada dimaki-maki. Tak lama kemudian, rintik-rintik pertama jatuh ke atas bumi. Eleanor menengadah dan mengerjap. “Hujan.” “Berteduh.” Satu kata saja yang berisi perintah membuat Eleanor beranjak dari sana, mengekori Julius masuk ke dalam rumah jerami. Di dalamnya, ada berkarung-karung padi yang siap angkut. Baunya agak apek. Eleanor memutuskan duduk di bibir pintu. Sembari menikmati tetes-tetes hujan. Aroma tanah yang basah tercium menenangkan. “Raspberry.” “Eh?” Telapak tangan itu terjulur padanya. Ada beberapa butir raspberry di sana yang berwarna kehitaman. Nampak segar dan menggiurkan. “Cobalah. Farm House akan mengembangkan buah ini.” Hanya karena Julius terlihat cukup jinak ketika mengatakannya, Eleanor mau mengambil buah itu. Lantas memakannya satu, menggerakkan lidahnya di dalam mulut untuk mencecap rasa manis, dengan tekstur buah yang agak kasar. “Hm, manis.” “Kau orang pertama yang mencobanya.” “Benarkah? Wow.” Ada begitu banyak berita bagus hari ini. Tanaman-tanaman baru, dan informasi tentang perkebunan raspberry yang mungkin akan segera digarap. “Grazie.” Eleanor mengambil buah itu lagi dan memakannya, nampak sangat suka, menikmati. Hingga air raspberry itu muncul di sudut mulutnya. Julius membeku, pandangannya gelap. Gadis kecil ini berada begitu dekat di sisinya. Rambut keemasaannya cukup basah akibat gerimis, tapi tidak melunturkan indah kilaunya. Dan wajahnya yang merona itu, tubuhnya yang mulai tumbuh, sangat dekat untuk di—Julius memejamkan mata selagi gerahamnya bergemeletuk. Sial. Lewat beberapa menit, sepasang manik Circassia itu membuka kembali, kali ini lebih tenang. Sabar mengamati Eleanor yang sibuk makan. Benar. Gadis kecil ini seperti kupu-kupu yang akan dengan senang hati berlari mengejar bunga. Akan sangat mudah membuatnya mendekat. Bunga selalu membuatnya tertarik. Sementara ini, hanya itu yang bisa dilakukannya, membuat Eleanor tertarik. “Tutup matamu.” Eleanor mendongak, kelopak matanya mengedip lugu. Tatapan mereka bertemu. “Bicara padaku?”. Julius berdecak. “Tutup matamu. Sebentar.” Dan Eleanor mengikutinya, menampakkan bulu matanya yang lentik. Julius memindai sebentar wajah itu sebelum matanya jatuh di bibir yang mengundang, merah karena raspberry. Eleanor Primrose. Erangnya dalam hati. Hasrat itu pada akhirnya serasa tak tertahankan lagi. Lantas bibirnya sendiri berlabuh di sana, mengecup bibir gadis kecil yang manis itu. Kian merapat, memberi tekanan lembut. Dan ketika beberapa detik telah berlalu, Julius menjauh, meski rasanya takkan pernah cukup. Ada setitik kabut di matanya. Kecupan singkat itu terjadi di antara derai hujan. Julius menyampirkan anak rambut Eleanor dari atas keningnya dengan hati-hati. Suaranya lebih serak daripada apa yang dikehendakinya ketika berkata, “Buka matamu.” Perlahan-lahan, kelopak mata itu terangkat. Bola mata amber di dalamnya bergerak-gerak kebingungan. Eleanor mengerjap. “Apa itu tadi?” Julius tidak menjawab, hanya matanya yang menatap dengan seribu arti. *** [1] Terimakasih, Bibi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD