Chapter 3 : Truly, Madly, Deeply

3820 Words
“Julius, kau sudah pulang, sayang? Apa yang kau ingin pelayan masakkan untuk makan malam?” Teressia Rowland Romanov turun dari undakan tangga, nampak ingin menyambut putra tirinya yang baru saja tiba. Tapi yang didapatnya hanya berupa tatapan tajam penuh benci, dan ketidaksukaan. Tatapan yang sama sejak bertahun-tahun lalu, tidak pernah berubah. Julius yang sebelumnya menghentikan langkah karena perempuan itu tiba-tiba muncul, kini kembali melanjutkan perjalanan menuju ruang pribadinya. Pria itu melewati Teressia Rowland dengan dingin. “Kapan kau akan mulai menghargai aku sebagai Ibumu?” Teressia Rowland tersinggung, sejak kembali dari lautan Norwegia sana, Julius belum sekalipun mencoba menyapanya. Ah, ya, pria itu memang tak pernah mau repot mengajaknya bicara. “Bagaimanapun juga, aku ini istri Ayahmu! Yang mana menjadi pengganti Ibumu!” Julius berbalik dan menggeram, “kau bukan istrinya lagi! Suamimu itu sudah mati.” Pupil dengan garis-garis kerutan itu melebar. Isac Romanov benar-benar punya anak iblis. “Kurang ajar!” “Dengar,” Julius kini telah berada di hadapan Ibu tirinya. Bola mata birunya mengancam. “Aku tidak pernah peduli pria itu menikahimu. Tapi ketika kau menginjakkan kaki di rumah ini, kau harus tahu di mana batasmu. Jangan pernah sekalipun berani melampauinya.” Teressia Rowland melihat sendiri wajahnya yang pucat memantul di mata Julius. Mata yang dingin itu. Yang tak tersentuh. “Bagiku kau tidak lebih dari sekadar lintah yang menempel pada Ayahku. Aku masih membiarkan kau tinggal di rumah ini karena Ayah menghendaki itu dalam surat wasiatnya.” Raut wajahnya yang keras seolah tengah berpikir bagaimana cara untuk menendang Teressa Rowland keluar dari rumah, “dan satu lagi—jangan mengaku-aku sebagai Ibuku. Itu menjijikan.” Lantas sosoknya yang bertubuh atletis berlalu begitu saja, meninggalkan aroma citrus yang seharusnya membuat tenang, menjadi terasa mencekik. Teressa Rowland masih mematung di undakan tangga, berlama-lama, sementara suara bantingan pintu terdengar. Agak redam, dan semua kembali sunyi. *** Dulu, Julius mencintai tempat ini. Rumah yang berada di Alberobello, menyatu dengan peternakan dan perkebunan. Tetapi sekarang, dia berpikir bahwa tempat ini bukan lagi tempat yang ideal untuk pulang. Julius kembali hanya semata-mata demi menghormati Ayahnya, mengurus Romanov Farm House agar tetap berjalan sekaligus memantau istri baru Ayahnya itu tak berulah di sini—tak menyentuh sedikitpun usaha menjanjikan Romanov Farm House. Dia tidak membenci Ayahnya, tapi ketidaksukaan itu muncul semenjak Ayahnya menjalin hubungan dengan perempuan itu, Teressa Rowland. Pria menyedihkan, Julius mendengus. Jelas-jelas wanita sialan itu ingin numpang hidup enak. Lalu ketika semua orang lengah, wanita itu akan menguasai perkebunan yang berharga ini. Ya, wanita itu menikah untuk menunggu momentum menjadi Nyonya besar, menikmatinya sendiri. Tapi Julius bersumpah, dia takkan pernah membiarkan hal itu terjadi. Beberapa tahun ke depan saat pengacara Ayahnya sudah tak lagi ingat soal surat wasiat Isac Romanoc, wanita itu akan ditendangnya keluar dari rumah. Ponsel di atas meja kerjanya berdering, membuat pikirannya berhenti menyusun rencana. Tertera di layar sebuah nama, Jean. Julius menggeser layar hijau. “Jean.” “Kapan kau berangkat ke New York?” Julius merebahkan punggung di kursi kerja dengan tenang. “Aku tidak tahu, masih ada banyak hal yang harus kukerjakan di sini. Perkebunan buah yang baru. Penanaman lavender, peony, petunia. Panen kopi—” “Dan gadis itu, bagaimana dengan gadis itu?” suara perempuan di ujung sana memotong, pertanyaannya terasa mendesak. Julius membuka kelopak matanya yang tadi sempat tertutup. “Ah ya, dia 13 tahun sekarang.” “Kau benar-benar gila.” “Aku belum bertindak gila.” Terlintas lagi bayangan kemarin lusa ketika bibir mereka bersentuhan—dia telah mengambil kecupan pertamanya, tanpa gadis itu sendiri sadari. Tapi informasi tersebut tak perlu disampaikannya pada Jean, yang ada perempuan itu bakal menceramahinya habis-habisan. Julius akan menyimpannya untuk dirinya sendiri. “Semestinya itu yang kau takutkan. Sebelum kau gila, kembali ke New York lebih cepat lebih baik.” “Jean, tenanglah, aku baru kembali ke Italia satu minggu lalu.” Ada dorongan yang kuat untuk tertawa, tapi tak dilakukannya. Julius tenggelam dalam hari-hari yang telah dia lewati di Alberobello—memantau gadis itu dari jarak dekat sangatlah menyenangkan. “Aku akan kembali setelah pekerjaanku di sini selesai.” “Tentang gadis itu—” “Aku tahu apa yang harus kulakukan,” Julius kali ini memotong, santai. “kau tidak perlu merisaukannya. Selamat malam, Jean.” Sambungan telepon itu diputusnya, tak ambil pusing meski tahu perempuan di seberang pasti menggerutu kesal. Julius memutar-mutar kursi kerjanya, mengamati ruangan yang luas—didominasi oleh warna coklat karena perabotannya terbuat dari kayu jati yang dipelitur. Seharusnya dia bisa memperlakukan Jean dengan lebih baik lagi, contohnya, jarang-jaranglah membuatnya kesal, senangkan hatinya, karena perempuan itu memegang rahasia terbesar dalam hidupnya. Jelas, peran perempuan itu penting. Rahasia, Julius mengeryitkan dahi. Dia jarang sekali memercayai orang. Tapi Jean psikolog yang hebat dan dia membutuhkannya untuk konsultasi. Di sisi lain, Jean adalah anak angkat mendiang Ibunya. Anak yang lahir di Chicago lalu Ibunya dengan baik hati menyekolahkan anak itu sejak kecil sampai jadi sarjana Harvard. Julius bertemu Jean di kampus sebagai senior tingkat akhir—dia Agroteknologi. Jean Bridgia tahu segalanya. Tapi sekarang Julius tak mau ambil pusing. Dia ingin menikmati waktunya di Italia dengan tenang. Lagipula, dia tak terlalu buruk dalam mengendalikan diri. Dan yang pasti, Jean tentu setuju jika perempuan semacam Teressia Rowland patut diawasi. *** Musim panas di Amerika saat itu adalah semester terakhirnya sebagai mahasiswa Harvard. Jean tengah sibuk menyusun final paper sebagai syarat kelulusan. Dan tempat terbaik untuk melakukannya, tentu di panthouse milik Julius Meyer Romanov. Jean sudah menginap sekitar lebih dari tiga hari di sana—di tempat tinggal anak dari orang tua angkatnya. Jadi boleh disebut, pria itu saudaranya juga. Panthouse itu memiliki perpustakaan yang cukup besar, referensinya banyak, dengan jenis buku yang sangat variatif. Untungnya, Julius orang yang suka belajar banyak hal. Lebih tepatnya, pria ambisius yang selalu ingin mampu melakukan segalanya. Lihat saja, pria itu duduk di perpustakaan—nampak sangat serius membaca sesuatu. Jean masuk bersama final papernya, laptopnya, hamburger dan juga cola di tangan kanan. Lantas duduk di hadapan Julius sembari menyapa riang, tapi pria itu cuma mengangkat wajahnya sebentar sebelum kembali tenggelam pada kesibukannya lagi. Tak lama kemudian Jean juga sibuk, setelah mengambil buku referensi, dia mulai bekerja. Sesekali sambil menggigit hamburger dan minum cola. “Hmmm, The Tipping Point—written by Malcolm Gladwell.” Jean melirik buku yang dibaca Julius sampai sebegitu seriusnya. Jean tahu buku itu. Gladwell sendiri mendefinisikan bukunya sebagai “saat tercapainya masa kritis, ambang batas, titik pergolakan”. Buku itu berusaha menjelaskan perubahan sosiologis misterius yang terjadi di kehidupan sehari-hari. “Tertarik mempelajari bidangku, Julius?” canda Jean, namun ajaibnya kini berhasil mendapat perhatian pria itu. “Jean, bagaimana jika aku tertarik pada gadis berusia 10 tahun?” Apa? Jean Bridgia nyaris menyemburkan makanannya kembali, hamburger di tangannya jatuh ke lantai. “Kau bilang kau bagaimana?” Julius mendelik jengkel, dia tak suka mengulang pernyataannya. “Tertarik pada gadis berusia 10 tahun.” Jean hilang fokus dan nampak sangat berharap jika telinganya salah dengar. “Kau sedang bercanda, kan?” Julius diam, tapi matanya berapi-api. Jean lemas di tempat seketika—jadi informasi gila itu benar? Seseorang harusnya bilang padanya kalau sekarang April mop. Tidak bisa diterima—Jesus Crist, seorang Julius Meyer Romanov tertarik pada gadis umur 10 tahun! Mimpi apa Jean semalam sampai harus dengar berita mengejutkan ini. “Julius—” Jean tergeragap, apa yang akan dia sampaikan terasa kabur. “perasaan semacam itu tidaklah normal.” Lanjutnya setelah mengambil napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. Dia shock sekali. “Aku tahu.” Katanya muram. “Aku mengatakannya padamu karena kau pasti mengerti sesuatu tentang ini. Kau mempelajari psikis—psikologi makhluk hidup. Kupikir saat ini kau satu-satunya orang yang dapat membantu sekaligus kupercayai.” Jean diam beberapa menit. Sangat sulit menerima kenyataan itu. Astaga. Kalau Julius tak bilang dialah yang bisa dipercayai untuk saat ini, Jean mungkin masih takkan menerima fakta yang ada. “Ya Tuhan, kau—baiklah.” Jean akhirnya menghela napas, mengalah pada akal sehatnya, lalu meninggalkan semua pekerjaan soal final paper di atas meja dan hanya fokus pada Julius yang seperti siap diinterogasi. “Apakah—apakah kau merasakan suatu dorongan seperti ingin menidurinya?” tanya Jean takut-takut, dia berharap Julius tidak benar-benar gila. “Ya.” Oh Tuhan. Julius sudah gila. Rahang Jean serasa jatuh beberapa senti. “Bagaimana bisa?” dan saat itu juga Jean tahu takkan pernah dapat penjelasannya, ada begitu banyak kecamuk di mata Julius. Pria itu nampak marah pada dirinya sendiri. “Itu namanya p*******a, Julius.” “Jelaskan padaku,” perintahnya tanpa menutupi kerutan tak nyaman di wajahnya. Jean nampak enggan tak enggan, namun meski begitu, setuju memberitahu apa yang telah dia pelajari. “p*******a biasanya terdeteksi oleh diri mereka sendiri setelah masa puber, tepatnya ketika orientasi seksual mereka terfokus pada anak-anak, bukan orang dewasa.” Jean menjelaskan sembari mengingat dengan baik bagaimana sosok Julius. p*******a tidak dapat menentukan orientasi seksual mereka, kemudian merasa takut akan diri mereka sendiri. Tapi Julius jelas tidak masuk kriteria itu—pria itu sangat percaya diri. Sementara p*******a menggila karena sering mengalami diskriminasi sosial sehingga membuat mereka tertarik pada anak-anak karena menganggapnya masih polos dan tidak menghakimi seperti orang dewasa. Yang benar saja—Julius punya segalanya, orang-orang bekerja di bawah kekayaannya. “p*******a menganggap gairah mereka salah dan illegal untuk dipenuhi. Maka dari itu mereka selalu mengontrol diri dan mencari cara aman untuk memuaskan diri sendiri. Beberapa kasus kekerasan pada anak-anak sering melibatkan penyakit kejiwaan yang lain seperti schizophrenia dan distorsi-distorsi kognitif—” “Aku tidak berniat melakukan kekerasan apapun padanya.” Potong Julius, pria itu memang terkenal mudah marah dan tersinggung. “Oke—mungkin seperti itu, tapi dengar dulu dong penjelasanku, itu contoh saja. Aku tidak menuduhmu.” Jean jadi serba salah. Baru setelah Julius tenang, dia kembali melanjutkan. “Banyak ahli berasumsi bahwa penyebab utama p*******a datang dari faktor psikologi sosial, bukan biologis.” Lagi-lagi teori yang tidak mendukung dalam kasus Julius. “Sejak tahun 2002, beberapa penelitian tentang p*******a dari faktor-faktor biologis telah dilakukan. Seperti misalnya, IQ rendah dan ingatan jangka pendek, kurangnya white matter di otak, kurangnya testosteron serta masalah otak lainnya.” Jean nyaris frustasi pada pengetahuannya sendiri yang tak berkorelasi dengan Julius. Pria itu jelas punya daya intelektualitas yang luar biasa. Dia lulusan terbaik Agroteknologi Harvard. IQnya tinggi. Julius tak mungkin punya masalah di otaknya. “Namun masalah pada otak adalah penyebab yang paling bisa diterima di antara faktor-faktor lainnya. Pada orang normal, melihat anak-anak membuat otak mereka secara spontan menghasilkan gelombang saraf untuk meningkatkan insting melindungi dan menyayangi. Pada seorang p*****l, gelombang saraf tersebut terganggu dan malah berakibat meningkatnya gairah seksual.” Julius menggertakkan gigi. Demi Tuhan—ada begitu banyak perempuan dewasa di luar sana, tapi gairahnya serasa tak tertahankan lagi hanya karena melihat helaian rambut keemasan itu ditiup angin. Jean bilang gelombang saraf pria dewasa akan senantiasa mendorong mereka untuk melindungi anak-anak. Dan oh ya, Julius merasakan itu juga—melindungi dan menyayangi, namun yang satu ini berselimut gairah, hasrat yang besar untuk membuat gadis kecil itu telanjang sementara dia memuaskan diri. Sial—otaknya benar-benar bermasalah. “Bagaimana mungkin itu terjadi padamu? Kau bisa mendapatkan wanita dewasa manapun yang kau mau di luar sana.” Jean heran, wanita pastinya akan dengan suka rela jatuh ke pelukan Julius. “Gairah semacam ini hanya aku rasakan padanya.” “Apa? Jadi kau tidak demikian saat melihat anak berusia 10-15 tahun lainnya?” “Tidak,” Julius menyidekap. “tentu saja tidak.” Julius hanya tertarik pada satu gadis kecil yang punya rambut keemasan itu—dengan mata ambernya yang berbinar, bibir yang seperti buah delima, dan kulit bagai porselen—bukan khas penduduk Italia yang tinggal di bukit-bukit. “Siapa gadis kecil ini?” Jean penasaran bukan kepalang “Di mana kau bertemu dengannya? Di Amerika sini? Lantas siapa? Apakah aku tahu?” “Italia,” Julius menjawabnya. “Aku menemukannya ketika kembali ke sana akhir tahun lalu.” “Astaga, dia penduduk Alberobello.” Jean dapat menyimpulkan sendiri, sebab Julius pun membenarkan dalam diamnya. Tapi yang tidak Jean tahu adalah, bahwa gadis itu berada begitu dekat dengan Julius. Di bawah kakinya di Romanov Farm House. Seolah takdir memang sengaja mempertemukan mereka. *** Eleanor ingin bergabung dengan petani lainnya yang mengurus bunga-bunga yang baru ditanam itu. Tangannya gatal sekadar ingin menyentuh pucuk lavender. Tapi tempat itu ditutup, dijaga, dan setiap kali Eleanor mendekatinya seorang petani pasti akan bilang tak seorang pun diizinkan masuk kecuali Tuan Romanov menghendakinya. Eleanor bakal cemberut mendengar itu. Yang benar saja, dia betulan tak dibolehkan merawat tanaman-tanaman itu sejak masa awal, padahal siapa coba yang mengangkut tanah untuk media tanam mereka? Padahal, bukankah suatu keuntungan jika salah satu pekerja perkebunan seperti dirinya punya semangat yang besar buat bekerja? “Menyerah saja, untuk masa awal, tumbuhan itu memang perlu dirawat oleh orang-orang yang mengerti cara menanamnya,” seorang perempuan yang masih cukup muda berhenti di depan Eleanor yang sibuk menendang-nendang kerikil, di atas kepala perempuan itu ada sebuah wadah rotan berisi kentang. Nampak menggunung. “Aku toh bisa belajar,” balas Eleanor, berkali-kali menengok ke Rose Hill dengan berhasrat. “aku hanya ingin masuk ke tempat orang-orang itu bekerja dan belajar dari mereka.” “Tuan Romanov orang yang berhati-hati. Dia tak mungkin membiarkan percobaan pertamanya gagal.” “Aku takkan merusaknya.” Perempuan itu tertawa melihat kesungguhan di mata Eleanor yang cemerlang. “Aku tahu, anak manis. Tapi sabarlah sebentar, mungkin mereka akan membiarkanmu bergabung di penanaman kedua.” Perempuan itu mengambil ancang-ancang untuk melanjutkan langkah kembali, sambil tersenyum. “Pergilah ke hutan, teman-temanmu ada di sana untuk memetik jamur.” “Di dekat Ophelia Lake?” Eleanor mendongak, tak lagi memilin-milin ujung gaunnya. Paling tidak, hari ini ada sesuatu yang bisa dilakukan. Perempuan itu mengangguk. “Kalau begitu terimakasih, Gwen, dan sampai jumpa lagi. Semoga pekerjaanmu di ladang cepat selesai.” Eleanor berlari-lari sembari melambaikan tangannya. Meninggalkan pekerja kebun yang tadi bicara padanya itu. Kemudian dia berlari menyebrangi berpetak-petak kebun kentang untuk menuju hutan. 500 meter dari mulut hutan tersebut, ada lapangan pacuan kuda yang dikelilingi oleh istal-istal. Wilayah itulah satu-satunya yang berwarna coklat dan nampak kering dari kehijauan pemandangan di sekitarnya. Eleanor mengerem sedikit laju langkahnya, kagok pada banyak pekerja—banyak laki-laki di sana yang tengah menunggang kuda. Hilir mudik sembari bersenda gurau dan itu semua membikin dia sungkan untuk sekadar melintasi lapangan pacuan. Tapi bayangan akan jamur-jamur yang bisa dipetik terus mendorong kakinya. Eleanor menunggu momentum ketika mereka semua keluar dari lapangan untuk berkuda ke bukit-bukit di belakang hutan. Kuda-kuda itu sendiri bukan sembarang hewan ternak, tapi juga properti menguntungkan Romanov Farm House di bidang olahraga. “Ayo, cepatlah pergi,” rapalnya—agak kesal karena sebagian penunggang itu malah kembali berputar-putar di lapangan. Tapi saat seekor kuda jantan keluar dari salah satu istal bersama penunggangnya, barulah Eleanor sadar bahwa mereka tidak akan pergi sebelum sang pemimpin tiba. Dan, ya, pria yang datang terakhir itu Julius Meyer Romanov. Pemilik wilayah surgawi di Alberobello. Dengan kaus hitam yang mencetak otot-otot di tubuhnya, celana jeans di kakinya yang kekar, dan topi koboi yang menaungi helaian rambutnya. Pria itu nampak memesona di bawah sengatan sinar mentari. Kulitnya coklat berkilauan. Dan secara keseluruhan sangat pantas bergaul dengan suasana alam. “Berkuda ke arah bukit, Sir?” “Ya. Hari ini aku ingin berburu rusa. Siapkan laras panjang kalian.” Eleanor menyembunyikan diri makin dalam pada gerombolan bonsai ketika Julius memerintahkan kudanya untuk berlari-lari kecil. Takut ketahuan mengintip. Lagi. Ya ampun, tapi bukankah ini tidak disengaja? Eleanor hanya ingin menyebrang untuk masuk ke hutan. “Sir, senapan anda.” Eleanor bergidik melihat Julius menerima senjata laras panjang dari pekerjanya. Memikirkan benda itu meletus membunuh makhluk hidup saja sudah membuatnya berkeringat. Tetapi Julius terlihat begitu—berkuasa ketika menggenggamnya, menakutkan dan mengagumkan dalam sekali waktu. Dengan memandang wajah itu, impulsif Eleanor menelusurkan jari-jari tangannya ke bibirnya sendiri. Ingat pada waktu-waktu dia cukup dekat secara fisik dengan bosnya. Dan tentu saja, pada kejadian yang misterius tempo hari itu. Eleanor selalu bertanya-tanya apa gerangan yang menyentuh bibirnya dengan tekstur yang kasar namun terasa lembut. Apa yang Julius Meyer Romanov lakukan pada hari yang hujan saat itu? Eleanor tak tahu. Tapi tubuhnya masih hapal pada getaran kecil yang ditimbulkan sentuhan di bibirnya itu. *** Ada sebuah danau tektonik di hutan itu. Danau yang merupakan ekosistem air tawar, dihuni oleh semua filum hewan, dan ganggang ialah flora khasnya. Airnya cukup jernih sesuai dengan kedalamannya. Dan pohon-pohon tinggi yang tumbuh di sekeliling danau akan membuat siapa saja betah lama-lama bersantai di sana. Anginnya sepoi dan teduh. Tapi Eleanor datang untuk memetik jamur. Dia lantas bergabung bersama anak-anak gadis yang lebih tua beberapa tahun darinya. Sembari memegang bakul, Eleanor larut dalam kesibukannya mencari jamur. Kadang mereka tumbuh di atas batang pohon yang sudah lapuk, kadang mesti dicari-cari sampai ke semak-semak. Eleanor tak tahu banyak soal jamur, jadi dia hanya memasukkan satu jenis jamur yang aman dikonsumsi saja. Tak terasa, kegiatan itu memakan begitu banyak waktu. Eleanor baru berhenti saat keranjangnya penuh—dan tersadar jika setengah dari teman sebayanya telah pergi meninggalkan hutan. Hanya tersisa beberapa orang yang masih duduk-duduk dekat danau. “Kenapa tidak ikut pulang dengan mereka? Bibimu pasti mencarimu,” salah satu gadis yang duduk di sana menegur Eleanor. Tapi coba lihat, gadis dengan rambut keemasan yang tergerai itu malah menampilkan seringaian kecil. Eleanor menitipkan keranjang jamurnya di sana dan bilang mau naik perahu kayu yang tersampir di pinggir danau. Beberapa jam lalu perahu kayu itu laris dinaiki teman-temannya. Dia yang kepingin naik juga mesti bersabar. Dan sekarang adalah momen yang tepat untuk berlayar sendirian. “Hati-hati Eleanor, jangan mendayung terlalu jauh.” “Astaga, bahkan aku baru melepas tautannya,” keluh Eleanor, yang dengan santai menggerakkan dayung setelah lepas dari dermaga kecilnya. Tak butuh waktu lama untuk tenggelam sepenuhnya dalam keasyikan menyusuri danau tektonik yang indah itu. Eleanor dibuat takjub pada semilir angin, wangi pucuk-pucuk pohon yang basah, dan ikan-ikan mungil yang berenang. Ya Tuhan, Alberobello benar-benar sebuah surga! Eleanor menghabiskan waktunya dengan mencelup jari-jarinya di air hingga berbunyi kecipak, dan tawanya spontan bergaung di dalam hutan. Tawa riang remaja yang menikmati kebebasannya. Gadis itu seperti peri yang asyik bermain-main, sinkron dengan wajah cantik serta rambut berkemilau keemasannya. Nyaris pukul empat sore itu Eleanor kembali ke arah perahu bisa ditambatkan. Terkejut karena tak menemukan siapapun di sana, terkecuali keranjang jamur yang tak ada isinya. Eh, ke mana orang-orang yang tersisa itu? Mereka pergi dengan membawa petikan jamurnya. Eleanor mencoba berdiri di atas perahu karena dia mendengar suara tawa dan derap kaki orang-orang yang berlari menjauh. Berjinjit, melihat bayangan-bayangan dan Eleanor berteriak memanggil. Tapi mereka pergi semakin jauh. Lantas sepi, menyisakan suara-suara alam. Eleanor menghela napas, lalu menghentakkan kaki karena jengkel berhasil dijahili. Kemudian, petaka itu datang. Perahu bergoyang oleh sentakannya. Eleanor terdorong mundur. Selangkah, lantas tubuhnya yang tak siap, serta tak adanya pijakan lagi di sana membuatnya tercebur ke dalam air yang dingin. Teriakan ketakutannya tertelan air danau. Gadis itu panik, kakinya menendang-nendang air agar kepalanya kembali ke permukaan untuk mengambil napas. Tapi semakin dia berusaha, semakin air berusaha pula menenggelamkannya. Eleanor mencoba menggapai perahu, tapi tenggorokannya langsung diserang air ketika mencoba mendongak menjernihkan pandangannya. Untuk pertama kalinya, Eleanor berpikir bahwa dia akan segera mati. Kelopak matanya terasa berat dan waktu berjalan amat lambat. Entah pada kedalaman danau yang mana, Eleanor menghentikan usahanya. Dan kala sendi-sendi di tubuhnya serasa mati, keajaiban itu datang. Kelopak matanya yang samar-samar tertutup merasakan hadirnya seseorang yang menarik lengannya, lantas memeluk pinggangnya erat-erat. Tangan dan tubuh yang melingkupinya itu kokoh terasa, mengusir dinginnya air danau yang sempat menusuk tulang-tulangnya. Eleanor lega, dia tidak mati. Tapi juga tak bisa memertahankan kesadarannya lebih lama. Sebab dia jatuh ke dalam kegelapan detik itu juga. *** Eleanor dibaringkan di atas rerumputan. Tubuhnya nampak pucat dan dingin. Sempurna untuk dicap sebagai mayat, tapi Julius jelas tak suka atas gagasan tersebut. Pria itu menyentuh pipi Eleanor, berusaha menyadarkannya. “Bangun. Kau dengar aku? Hei,” masih tidak ada respon. Julius bersiap, sembari menghitung, kedua telapak tangannya diletakkan di atas d**a Eleanor. Lalu ditekannya beberapa kali bagian itu. Berhenti, ditekan lagi. Lima menit berusaha namun hasilnya tetap nihil. Julius memaki, yang ikut menetes dari rambutnya kini bukan saja air, tapi juga keringat dingin. Julius menyelipkan sebelah tangannya di bawah leher Eleanor, lalu mengangkatnya lebih tinggi agar leher bagian depan gadis itu terentang hingga dagunya menunjuk ke atas. Dan mulutnya jatuh di atas mulut Eleanor. Dengan nyaris gila dia hembuskan udara ke dalam paru-paru gadis itu sampai dadanya mengembang. Jari-jarinya ikut bergerak menekan hidung Eleanor. Julius terengah ketika melepaskan mulutnya, dia balik mendengarkan udara yang dikeluarkan Eleanor. Gadis itu bernapas tapi tak ada udara yang keluar. Namun sedetik kemudian, air meluber dari mulut Eleanor dan gadis itu terbatuk-batuk dengan lemas. Kelopak matanya mengerjap tanpa daya. “Sir,” suara itu kecil, lemah, dan ragu-ragu. Kontan saja nyala di mata Julius berkobar. Pria itu menggertakkan gerahamnya. Marah. “Bangun, Primrose, sialan kau!” tubuh Eleanor yang masih layu itu ditarik Julius. Didekap kuat-kuat karena sepasang kaki rampingnya tak sanggup untuk berdiri. Tubuh Eleanor sedikit terangkat, menempel dengan Julius yang bertelanjang d**a. “Apa yang kau lakukan di tengah danau, ha? Tak tahukah kau jika itu berbahaya?” ya, dan bayangkan jika dia tak melintasi danau bersama kudanya, Eleanor bakal mati tenggelam. “Sendirian! Kepalamu tak bisa digunakan lagi untuk berpikir, gadis kecil? Dengar, tak ada perempuan 13 tahun sebodoh kau!” Mulut Julius yang tak hentinya menyembur amarah berada begitu dekat di atas bibir Eleanor yang membuka karena membutuhkan napas. Pandangan minimalis gadis itu nyalang, tak mengerti pada sikap Julius—tuannya yang kini meledak-ledak. “Kau nyaris mati,” Julius merundukkan leher demi mencapai mulut Eleanor. Itu bukan lagi aktivitas pemberian napas, tapi lumatan dari seorang pria yang sedang dibakar amarah. Dengan serakah Julius menginvasi bibir dan rongga mulut Eleanor, menyusupkan lidahnya. Bukan ciuman yang manis dan hati-hati. Julius nekat memaksakan french kiss pertama untuk Eleanor yang tubuhnya bergetar takut. Erangan berat terlontar dari tenggorokan Julius, pria itu menggendong tubuh Eleanor di pinggangnya, sementara mulutnya masih betah mencium, menghisap manis bibir merah muda gadis itu. Sialan nikmat rasanya. Mulut yang rapat yang baru pertama kali dijelajahi itu. Eleanor jelas kewalahan, dan bisa dipastikan tidak mengerti apa yang tengah terjadi pada dirinya. Setelah nyaris tak sengaja membenturkan punggung Eleanor ke batang pohon, Julius kembali membaringkan tubuh gadis itu di antara rerumputan. Hanya ketika dadanya sendiri kehabisan oksigen, Julius baru melepaskan Eleanor. Pria itu terengah-engah, berkeringat, matanya gelap karena gairah. Celana dalamnya terasa kian sesak karena geliat makhluk hidup yang menginginkan pelepasan. Julius tertawa kering, penuh ironi. Hasratnya memang sinting. Dia sudah tidak waras. Bagaimana mungkin dia berpikir untuk menyetubuhi Eleanor Primrose sekarang juga? Eleanor yang nyaris mati karena tenggelam mungkin akan benar-benar mati dengan kewanitaan terbelah. Namun Julius tak kuasa untuk sekadar menekan bukti gairahnya yang membatu di paha gadis itu—hampir meledakkan diri di sana. Matanya bertemu dengan sepasang bola mata paling indah yang pernah dilihatnya. Eleanor melemparkan tatap ketakutan padanya. Dan permohonan untuk mengakhiri segala permainan gilanya. Ketika Julius selesai mencumbu kali kedua mulut cantik gadis itu, Eleanor Primrose sudah tak sadarkan diri. Terbaring diam dalam kegelapan lagi. Frustasi, Julius meninju tanah di samping tubuh Eleanor yang tergolek. b******k, dia benar-benar monster. ***   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD