Chapter 4 : Inferno

1905 Words
Suara debur ombak itu bersahutan dengan desah napas seorang wanita. Tubuh sintalnya turun naik. Dan di ranjang yang sama itu pula Julius memejamkan matanya. Eleanor Primrose. Nama itu berdentum-dentum di kepalanya. Diteriakkan nafsunya dari sudut ke sudut. Kian lantang bersamaan dengan gerakan cepat tubuh wanita di atasnya, mengejar kenikmatan. “Apa kau tidak mau bergerak bersamaku?” wanita cantik yang duduk di atas selangkangannya bertanya dengan susah payah, napasnya kian memburu, tapi sejak dimulainya permainan panas mereka, dia hanya bekerja sendirian. Sebab, Eleanor Primrose telah menyulap Julius menjadi pria yang pasif malam itu—dan sesungguhnya pada malam-malamnya yang lain. Julius seolah tenggelam dalam fantasinya sendiri. Tentang betapa lembutnya tubuh gadis kecil itu yang hidup di dalam imajinasinya, tentang betapa manis bibir merah mudanya—dan tentang betapa sempit kewanitaannya memanjakannya. Sial! “Julius!” hentakan tubuh makin tak terkendali di atasnya, “Julius, kau tidak mendengarkan aku!” suara kesal wanita itu memekakkan telinga, dibarengi erangan yang tak bisa ditahannya. Dan pada satu titik yang paling menegangkan di bagian bawah tubuhnya, Julius meledakkan diri. Bersama satu nama yang terucap dari bibirnya. Eleanor Primrose. “b******k, kau!” umpatan pertama untuk Julius saat perempuan itu berhasil meredakan hasratnya. Sebuah tinju mendarat mulus di d**a Julius. Tak terasa sakit, setidaknya untuk seorang Julius, pukulan semacam itu tidaklah berarti apa-apa. Yang sakit malah kejantanannya, yang tak kunjung meringkuk kembali, karena bayangan Eleanor kecilnya kian gencar menari-nari dalam kepala. “Beraninya kau menyebut nama perempuan lain setelah meniduriku!” Julius menepis tangan partner tempat tidurnya dan turun dari kasur. Tak memedulikan ketelanjangannya, sebab menit berikut, tubuh kekarnya telah terbungkus jubah satin hitam—meredam keringatnya yang jatuh satu-satu dengan seksi. “Siapa perempuan itu? Julius! Julius—jawab aku!” Wanita itu mengekori langkah Julius, merengek dan begitu menyebalkan, “Kau benar-benar bastard sialan!” Julius berbalik, mencengkeram lengan ramping yang sesaat lalu sempat mencakar punggungnya. Ditelikungnya tangan itu, dan kedua mata biru Julius luar biasa meledak bagai bara dalam tungku. “Diam, p*****r!” sembur mulutnya yang tajam. Kelopak mata si wanita melebar, “Pe—p*****r?” “Seseorang yang dibayar dengan uang dan barang mewah untuk ditiduri, layak kupanggil p*****r,” Julius menatap ekspresi tersinggung wanita itu dengan tak kalah sengit. “Jaga mulut dan tingkahmu, woman. Tugasmu sudah selesai. Sekarang menyingkirlah dari hadapanku. Pergi!” “Tapi kita sudah menghabiskan waktu bersama selama beberapa minggu!” Jerit wanita itu histeris, tidak terima dicampakkan begitu saja. “Dan—dan, kupikir kita sedang menjalin hubungan, Julius! Kita telah menjadi sepasang kekasih. Aku tak bisa menerima segala ucapanmu itu! Tidak.” Julius mencengkeram rahang perempuan itu, dengan kejam menghentikan setiap ocehannya. “Kau sudah tidak kubutuhkan lagi. Pergi, atau kukuliti wajahmu yang cantik ini.” Bahkan kata-kata Julius mampu membunuh sebelum tangannya benar-benar melakukannya. *** “Julius, pulanglah—Farm House membutuhkanmu untuk diurusi.” “Aku sudah mempercayakan pengelolaannya pada orang-orang yang kupercayai.” “Untuk diurusi dengan baik—garis bawahi!” dan di ujung sana suara itu makin menjadi-jadi kesalnya. “Mereka tidak secekatan kau dalam manajemen bisnis.” “Selama tidak ada yang salah dengan buku laporan akhir, semua itu bisa kuterima.” “Tapi kau sudah 2 tahun tak datang ke Arbelobello!” “Dengar,” suaranya kian bass, tapi jelas tidak bisa lebih marah lagi. Tidak pada perempuan yang diangkat anak oleh orang tuanya—Ibunya. “tidak datang ke Arbelobello bukan berarti aku mengabaikan segala urusan yang ada di sana. Aku tetap memantaunya dari Norwegia.” Pelipisnya berdenyut nyeri, Julius memijitnya. “Aku akan kembali, tapi tidak dalam waktu dekat.” “Baiklah, kalau begitu izinkan aku yang datang ke sana untuk memantau Farm House.” Pada akhirnya Jean mengalah, tapi juga menyodorkan solusi. Agaknya tak mau bisnis orang tua angkatnya berantakan gara-gara ditinggal lama oleh Julius. “Aku ingin berlibur ke Italia, berkunjung ke makam Ibu.” “Oke, datanglah. Kau yang urus Farm House untuk sementara waktu.” Tanpa menunggu jawaban Jean, Julius mematikan sambungan telepon mereka. Ponselnya kembali bersarang di dalam saku celana jeansnya yang sudah pudar. Pria itu mengembuskan napas keras-keras. Semua ini akibat hasrat sialannya pada gadis kecil itu. Karena saat terakhir kalinya mereka bersama, Julius nyaris melepaskan seekor harimau yang bersemayam dalam dirinya. Dan mau tak mau, bayangan itu kembali berputar-putar di benaknya. Eleanor Primrose tak sadarkan diri sehabis diamuk badai gairahnya. Yang luar biasa ganas. Yang gadis sekecil itu takkan mampu menanggungnya. Julius menghantamkan tinjunya ke tanah. Sialan! Kenapa bisa tak seterkontrol itu? Diliriknya Eleanor yang terpejam. Beberapa saat kemudian, Julius membopong tubuh itu, melewati berderet pohon-pohon hijau, menuju kudanya yang diikat di sebuah batang pohon cemara. Dengan mudah, Julius menempatkan posisi mereka. Dia membuat Eleanor duduk menyamping agar bisa dipeluknya erat-erat. Tubuh yang lembut namun kecil itu mengirimkan kegelisahan pada tubuhnya. Mungkin hanya pada suatu hari nanti ketika Eleanor tumbuh dengan matang, kegelisahan yang menggelenyar itu takkan begitu banyak menyiksa. Sebab, Eleanor akan siap mengobatinya. Ah, suatu hari nanti yang indah. Kalau-kalau dia tak mati dalam penantian yang panjang. Imajinasi itu terhenti kala langkah kaki-kaki kudanya berhenti di depan rumah Eleanor—yang ditempati bersama Bibinya. Sebagian besar pekerja masih berada di ladang dan peternakan, Julius tak perlu khawatir mereka memergokinya membawa Eleanor Primrose yang pingsan. Pria itu membawa Eleanor di kedua tangan dengan amat mudah. Berjalan tanpa beban menuju pintu yang tertutup rapat. Diketuknya. Tapi tak ada jawaban. Mencari jalan masuk lain, pada akhirnya dia menemukan sebuah pintu yang mudah dibuka di halaman belakang. Pintu itu terhubung dengan dapur. Julius memerhatikannya, dapur itu ditata rapih sedemikian rupa. Inilah tempat Eleanor tumbuh. Cukup baik. Tapi agaknya Julius masih tetap harus melakukan sesuatu agar Eleanor tinggal dengan nyaman. Sebuah kamar yang dilewatinya meyakinkannya jika kamar itu milik Eleanor. Sebab di dalamnya ia menemukan banyak pot-pot bunga. Temboknya warna biru, dan lampu tidurnya dihiasi cangkang-cangkang kerang. Julius masuk ke dalam sana. Mengendus wangi yang sama dengan harum tubuh Eleanor. Mawar-mawar itu penyebabnya. Lantas, dibaringkannya Eleanor Primrose di atas ranjang itu. Rambutnya yang basah berantakan menyentuh permukaan bantal. Begitu menggoda, dengan lehernya yang terekspose. Gadis kecil ini memang menggiurkan. Julius mengeryit, mencoba mengusir getaran-getaran yang datang kembali di tubuhnya hanya dengan menatap Eleanor yang jatuh pingsan. Tidak. Dia harus menahan diri. Tapi pakaian Eleanor yang basah, membuat dalamannya tercetak dengan jelas. Bra dan underwearnya yang putih itu memancing hasrat Julius. Lagi. Hanya karena hal remeh seperti itu. “Gadis penggoda laknat, mengapa kau begitu gemar menguji pertahananku?” Erangnya frustasi. Namun pada akhirnya, Julius tetap berlabuh di atas tubuh Eleanor. Pria itu bertumpu di atas kedua tangannya demi tidak menekan terlalu kuat tubuh Eleanor. Mengembuskan napas panas yang putus-putus, terlebih kala memberi bibir merah muda itu kecupan-kecupan kecil yang membara. Tubuh Eleanor terkurung oleh tubuhnya yang luar biasa besar. Kekar dan teramat matang. Hingga kasur itu seakan melesak dalam. Tak kuat menahan beban. “Sialan, tapi aku tak bisa menghentikan ini,” tak tahan lagi, Julius membuka bibir Eleanor yang terkatup menggunakan gigi-giginya. Setelah berhasil, lidahnya ikut menelusup masuk. Melakukan apa saja yang bisa dilakukan isi mulutnya di dalam sana. Mula-mula menyedot atas dan bawah bibir Eleanor, membelai langit-langit mulut gadis kecil itu, bermain-main dengan lidahnya yang tidur. Mulut gadis kecil penggoda itu terasa begitu sempit, dan begitu nikmat. Erangannya tak tertahankan lagi. Jari-jari Julius bergerak. Mengusap wajah cantik Eleanor yang belum terganggu, turun ke lehernya yang jenjang, dan berhenti di atas payudaranya. p******a itu tentu sedang bertumbuh. Dan Julius tersihir untuk merasai bagian itu. Kemudian, tangannya meremas. Merasakan kelembutannya. Dan seketika itu juga, tubuh bawahnya kembali ereksi. Wajah tampannya mengeryit sakit. Tapi dorongan untuk mendaratkan ciuman di atas p******a Eleanor begitu mendesaknya. Dan dia di sana, meremas sembari memberi ciuman di p******a Eleanor. Di atas gaun sifonnya yang tembus pandang. Lupa diri, Julius semakin menarik dirinya sendiri menuruni perut Eleanor, menyeret mulutnya untuk sampai di bagian rok gadis itu—menyingkapnya. Julius kian dekat dengan tujuannya. Ditariknya celana dalam putih Eleanor. Hingga menampakkan pemandangan yang selama ini hilir mudik dalam kepala brengseknya. Kewanitaan Eleanor yang terbuka membuat kepala sialannya berdentam-dentam, dadanya bertalu, darahnya mendesir tanpa ampun. Julius menggertakan gigi, menahan untuk tak melahap dambaannya mentah-mentah. Ia datang perlahan mencumbu gadis itu tepat di bibir bawahnya. Satu ciuman lembut, yang sedetik kemudian berubah menjadi lumatan penuh birahi. Wangi Eleanor yang menguar di bawah sini membuatnya gila. Kejantanannya meronta tak tahu malu. “Hmmm,” tubuh Eleanor tiba-tiba menggeliat pelan. Julius menegakkan kepalanya, merangkak kembali untuk berhadapan dengan Eleanor yang masih terpejam meski tubuhnya menunjukkan sensitifitas. Siap menghadapi reaksi gadis kecil itu jikalau kelopak matanya yang indah mendadak terbuka. “Primrose,” Julius berbisik di telinganya, kemudian menggigit bagian yang juga lunak itu, menciumnya, dan menjilatinya. “Hm, hmmm—” Anak-anak rambut Eleanor disingkirkannya dengan hati-hati, “Dengar, Primrose. Akulah pria pertama yang menyentuhmu. Maka kau harus ingat, hanya aku yang boleh melakukannya.” Angin pantai Norwegia berembus kencang menyapu wajah Julius. Perlahan mengembalikan ia ke masa kini, tapi tidak dengan kewarasannya yang sejak peristiwa dua tahun lalu itu tercerabut. Eleanor Primrose telah membuatnya gila bukan kepalang. Dan Julius tahu, jika hasratnya untuk gadis itu salah besar. Nyaris dia melakukan kebodohan dengan meniduri anak remaja berusia 13 tahun. Ya. Eleanor Primrose adalah kesalahan terbesarnya sebagai seorang laki-laki dewasa. Gadis kecil itu adalah kelemahannya. Jika dengan pergi jauh dari Arbelobello bisa menghapus segala obsesinya atas Eleanor, maka Julius akan lakukan itu. Dan dia melakukannya. Dua tahun menetap di lautan Norwegia. Mencoba mengubur Eleanor, melupakan eksistensi gadis kecil itu, dan mencari pelampiasan dengan tidur bersama wanita cantik. Tapi iblis-iblis di dalam neraka rupanya menjalin aliansi untuk mengutuk hidupnya. Karena tidak sedikit pun rencana Julius berhasil. Norwegia atau tempat apapun di dunia ini semakin menjatuhkannya pada kenangan tentang Eleanor Primrose. Semua tempat di dunia ini adalah neraka baginya. “Sir, kapal-kapal nelayan yang mengangkut ikan salmon telah tiba di pasar.” Seorang pekerja datang padanya membawa selembar catatan yang cukup panjang. Berhasil membuyarkan lamunan Julius. “Thanks,” Julius membacanya dengan seksama, tak ada masalah. “Aku akan pergi untuk memeriksanya. Kau suruh pekerja-pekerja di dermaga memasok ikan segar ke wilayah Utara.” “Yes, Sir.” Laki-laki itu undur diri, meninggalkan jejak-jejak kaki di atas pasir putih. Julius menyugar rambut, membuatnya acak-acakan tertiup angin. Kacamata hitam kini telah bertengger di atas hidungnya yang mancung. Moodnya masih berantakan, atau memang selalu berantakan sepanjang waktu. Tapi sekarang adalah waktu untuk bekerja, dan sebagai seorang pekerja keras, dia harus bekerja. *** “Hai, Eleanor, masih sibuk?” “Ya, Mrs. Hayle, aku perlu membersihkan rumput ini,” rumput-rumput itu tumbuh di antara bunga aster, dan Eleanor mesti menyianginya. Cuaca hari ini bagus. Sinar matahari menyirami bumi Italia dengan kehangatannya meski telah beranjak menuju sore hari. “Hati-hati dengan benda tajam itu,” Mrs. Hayle menunjuk gunting dan beberapa alat lain di sekitar kaki Eleanor. “Terima kasih, Mrs. Hayle. Aku akan hati-hati.” “Baiklah, aku rasa putriku sudah menungguku di rumah sekarang. Kau pulanglah jika langit mulai gelap. Nah gadis manis, selamat sore!” “Selamat sore untuk keluarga anda, Mrs. Hayle!” Gadis itu mengenakan sarung tangan karet di kedua tangannya. Setelah yakin dia benar-benar sendiri, dan tidak ada lagi pekerja yang hilir mudik untuk saling sapa, Eleanor memulai pekerjaannya. Begitu telaten. “Hai,” seseorang menepuk pundaknya. “Mrs. Hayl—” Eleanor berdiri, berbalik, tapi tak melanjutkan kata-katanya lagi. Ia pikir seseorang yang tadi menyentuh pundaknya adalah Mrs. Hayle yang kembali lagi ke kebun kentang. “Hai,” lagi, sapaan itu terdengar. Karena Eleanor masih terpaku di tempatnya. “K—kau?” kelopak matanya yang cantik melebar. ***   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD