Kendra menatap sekeliling rumah Alea dengan tatapan miris. Rumah itu tampak kosong, dengan sedikit perabotan yang berarti. Jauh lebih sempit daripada kelihatannya dari luar. Tidak ada sofa besar, tidak ada rak buku penuh hiasan, apalagi perabotan modern seperti yang biasa dia lihat di apartemennya. Yang ada hanya sofa kecil, satu meja makan sederhana, dan beberapa barang lain yang terlihat usang.
Alea menatap Kendra dari sofa lainnya, dengan tatapan penuh rasa kesal. Kendra sudah berbaring di sofanya sejak satu jam yang lalu, tanpa permisi, dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan beranjak. Dia merasa sangat terganggu oleh kehadiran Kendra yang sangat nyaman berada di rumahnya hingga tak beranjak sama sekali
"Huh! Bisa sakit punggungku berbaring di sofa batu ini!" keluh Kendra yang berbaring di sofa Alea.
“Kenapa kamu tidak pulang saja?” tanya Alea dengan nada tajam. "Daritadi mengeluh, tapi tidak pergi!"
Kendra tetap diam, lalu menutup matanya dengan lengannya, memilih untuk bungkam dan mengabaikan ucapan Alea. Tidak ada reaksi, tidak ada jawaban, seolah dia sedang berusaha tidur di sana.
Alea menggertakkan giginya. “Melihatmu di sini membuatku mual. Lebih baik kamu pergi saja. Jangan mengganggu ketenanganku.”
Namun, lagi-lagi, Kendra tetap tidak menjawab. Alea semakin geram dengan sikap acuhnya. Dia merasa dilecehkan dengan cara Kendra bertingkah seolah rumah ini adalah tempatnya untuk bersantai kapan saja dia mau.
“Tuan Kendra yang terhormat, apa Anda tuli?” seru Alea dengan nada yang lebih tinggi. "Pergi dari sini sebelum aku berteriak maling!" ancam Alea.
Rupanya, ancaman itu berhasil membuat Kendra berhenti bergeming. Kendra akhirnya membuka matanya sedikit dan menatap pada Alea dengan malas. “Berhentilah meninggikan suaramu itu,” katanya dengan suara berat, seolah-olah tidak terpengaruh oleh kemarahan Alea.
“Habisnya kamu tidak menjawabku, jadi aku pikir kamu sudah tuli. Sia-sia saja wajahmu yang tampan itu kalau ternyata telingamu tidak berfungsi,” balas Alea dengan sarkasme yang tajam. "Rugi kan kalau ganteng-ganteng tapi budeg!"
Kendra tersenyum simpul, mengangkat salah satu sudut bibirnya. “Jadi sekarang kamu mengakui ketampananku?”
Alea terdiam sejenak, menyadari bahwa dia baru saja terperangkap oleh ucapannya sendiri. Bibirnya terkunci rapat, menyesali kalimat yang baru saja keluar dari mulutnya. Kenapa juga dia harus menyebutkan soal ketampanan Kendra? Itu jelas memberinya keuntungan untuk membalikkan argumen.
Kendra tampak menikmati kebingungan Alea. “Aku memang sudah setampan ini dari dulu. Dan kelihatannya, kamu sangat beruntung mendapatkan suami setampan aku. Kau bisa memamerkannya kepada teman-temanmu.”
Alea mendengus sinis. “Memamerkan ketampananmu? Aku masih waras, Kendra.”
Kendra terkekeh pelan. “Jadi, yang mengakui ketampananku itu tidak waras, begitu?”
“Sepertinya begitu,” jawab Alea dengan nada ketus.
Kendra tersenyum lebih lebar kali ini, tampak puas dengan percakapan yang mulai memanas. “Berarti kamu salah satu dari orang yang tidak waras itu, karena kamu tadi sempat mengakui ketampananku.”
Alea mengepalkan tangannya di udara, jelas merasa kesal dengan cara Kendra memutar balik perkataannya. Pria itu benar-benar tahu bagaimana caranya membuat dirinya naik darah.
Kemudian, Kendra bertanya dengan nada yang lebih serius, “Apa kamu tidak pengap tinggal di rumah sekecil ini? Maksudnya, ada lebih banyak tempat yang nyaman di sekitar sini dibandingkan kontrakan ini.”
Alea memutar bola matanya, jelas-jelas malas menanggapi pertanyaan tersebut. “Untukku yang terbiasa hidup sederhana, rumah ini sudah sangat bagus dan nyaman. Orang-orang seperti kamu mana paham hal-hal seperti ini. Lagipula, aku tinggal di sini sendirian dan aku mencari kenyamananku sendiri tanpa peduli perkataan orang lain. Kenapa kamu tiba-tiba peduli pada tempat tinggalku?! Dasar orang kaya!"
Kendra tertawa pelan, tapi matanya tetap memperhatikan setiap sudut rumah Alea. “Kamu pikir aku bodoh sampai tidak mengerti hal-hal sederhana? Tapi tetap saja, rumah ini terasa sangat sempit. Rasanya sulit bernapas di sini.”
Alea semakin kesal dengan komentar Kendra. “Bukankah itu bagus?! Kalau kamu merasa sesak, kenapa tidak segera pergi dari sini dan berhenti menggangguku?”
Alea berdiri dan dengan tegas menarik lengan Kendra, berusaha memaksanya bangkit dari sofa. Namun, bukannya berdiri, Kendra malah bergeming di tempat, membuat Alea yang menariknya terjatuh tepat di atas tubuhnya. Tangan Alea yang semula menarik lengan Kendra kini terlepas, dan tubuhnya terhimpit di atas pria itu.
Sepersekian detik waktu terasa berhenti. Mata Alea membelalak, terperangkap dalam tatapan Kendra yang tajam. Mereka saling menatap dalam jarak yang sangat dekat. Detak jantung Alea berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Meskipun ia merasa sangat kesal terhadap pria ini, tidak bisa dipungkiri bahwa Kendra memiliki wajah yang luar biasa tampan. Kulitnya yang putih bersih, alis tebal, mata tajam, hidung mancung, semuanya tampak seperti pahatan sempurna seorang dewa.
Hanya satu hal yang mengganggu Alea, yaitu bibir pria ini. Bibir yang tidak pernah bisa dijaga, selalu saja melontarkan kata-kata yang menyebalkan. Dalam hati, Alea berusaha menepis pikiran bodohnya. Tapi tatapan Kendra yang intens membuatnya semakin sulit untuk berpaling.
Kendra menyadari perubahan di wajah Alea, dan senyumnya semakin lebar. Sepertinya, ia tahu apa yang sedang dipikirkan istrinya itu. “Wanita memang selalu betah berada di atasku,” ucap Kendra dengan nada menggoda. “Mereka bisa menikmati wajah tampan ini sambil meraba d**a bidangku.”
Alea tersentak. Ucapan menyebalkan Kendra langsung mematahkan momen yang seharusnya menjadi emosional. Dengan segera, Alea bangkit dari posisi canggungnya, wajahnya memerah karena malu dan marah. Ia tidak percaya bahwa pria itu bisa mengubah situasi serius menjadi bahan lelucon yang begitu vulgar.
“Kamu menyebalkan, Tuan Kendra!” seru Alea, mencoba menghapus semua pikiran konyol yang tadi sempat mengganggu benaknya.
Kendra tertawa ringan, duduk tegak di sofa dan menatap Alea yang sudah berdiri di hadapannya. “Aku tahu aku menyebalkan, tapi aku juga tahu kamu tidak bisa menolak pesonaku,” ucapnya, senyum menggoda masih tersungging di wajahnya.
Alea memutar bola matanya lagi, kali ini dengan lebih dramatis. “Sungguh, kalau kamu tidak segera pergi dari sini, aku bersumpah aku akan menendangmu keluar.”
Namun, Kendra hanya menatapnya dengan tatapan tenang, tanpa sedikit pun niat untuk pergi. “Sayangnya, aku tidak akan pergi sampai kamu mau pulang bersamaku, Alea.”
"Aku tidak akan pulang kemana-mana. Ini rumahku dan hanya di sini aku akan pulang."
"Sekarang kamu istriku dan kamu harus mengikuti kemanapun aku pergi dan tinggal," kata Kendra dengan tegas.