Bab 14 Mengkhawatirkan Istri

1016 Words
Kendra bergegas menuju parkiran untuk mengambil mobilnya. Saat mobil melaju keluar dari apartemen, ia mulai kebingungan. Alea sudah tidak tampak di sekitar kawasan itu. "Ke mana wanita itu pergi?" gumamnya. "Dia manusia atau jelmaan setan, cepat sekali menghilangnya." "Kenapa wanita selalu punya pikiran pendek untuk kabur-kaburan saat merajuk atau merasa tidak nyaman. Dia pikir, dia itu siapa bisa membuatku repot ini?!" Kendra menggerutu pada Alea yang keberadaannya entah saat ini dimana. Meskipun begitu, Kendra sama sekali tidak berhenti untuk mencari keberadaan istrinya meskipun dengan bibir yang terus mengoceh. Kendra memutari jalan-jalan di sekitar apartemen, mengintip ke kanan dan kiri, berharap bisa menemukan Alea. "Naik taksi mungkin ya?" pikirnya, terus menggerutu. "Baru menikah beberapa jam, sudah kabur-kaburan. Istri macam apa dia itu?" Setelah berputar-putar tanpa hasil, Kendra memutuskan untuk pergi ke rumah Alea. Kendra melajukan mobilnya membelah jalanan kota yang saat itu cukup padat. Mungkin, karena hari ini adalah hari Minggu. Lampu-lampu kota terlihat sangat indah, menghiasi malam yang cukup menyenangkan. Kendra bersiul sembari sesekali bernyanyi untuk mengisi kekosongan di dalam mobil. Matanya terus menatap ke sana kemari, siapa tahu ada Alea di salah satu pandangannya. Namun di tengah perjalanan, ia tersadar bahwa dia tidak tahu di mana rumah Alea berada. "Sial! Kenapa dia merepotkan sekali! Bagaimana aku bisa menjemputnya kalau rumahnya saja Aku bahkan tidak tahu? Ayolah Ken, gunakan otakmu yang sangat pandai itu. Kenapa hanya karena wanita seperti Alea, kamu jadi sebodoh ini!" Kendra mengacak-acak rambutnya dengan kesal sebelum menepi ke pinggir jalan. "Aku tanya ke mana? Nomor Alea saja aku tidak punya!" Kendra sejenak berpikir, siapa yang bisa ia mintai tolong. "Ah, ya. Kak Farhan. Tidak mungkin kalau tidak tahu alamat wanita itu." Dengan cepat, ia meraih ponselnya dan menelepon Farhan. Setelah panggilan tersambung, Kendra langsung berbicara, "Kak, tolong kirimi aku alamat rumah Alea." Namun, bukan suara Farhan yang terdengar di ujung telepon, melainkan suara Kasandra, kakak perempuannya. "Kamu bisa tanya langsung ke Alea, Ken. Kenapa malah telepon Farhan? Kamu mengganggu malam romantis kami saja." Kendra mengembuskan napas pelan, berusaha menahan kesal. "Alea pulang untuk mengambil pakaian. Aku mau menjemputnya, tapi aku tidak tahu alamatnya." Kasandra langsung melengking, "Ken, bagaimana bisa kamu membiarkan Alea pulang sendirian?! Ini sudah malam! Kenapa kamu tidak mengantarkannya saja tadi?!" "Aku sudah menawarinya. Dia saja yang keras kepala dan tidak mau. Dia sendiri, yang ingin pulang. Tadi dia minta diturunkan di jalan karena mau mengambil pakaian," jawab Kendra dengan tenang, meski di dalam hati ia mulai cemas karena sudah memancing kemarahan kakak tercintanya. "Dasar bocah sialan! Jangan coba-coba berbohong, Ken!" suara Kasandra semakin keras. "Pak Ahmad bilang dia menurunkan kalian di apartemen, bagaimana mungkin dia turun di jalan?! Kamu pasti bikin ulah lagi! Tidak mungkin Alea pergi begitu saja kalau kamu tidak membuat ulah. Kata-katamu yang terkadang merendahkan orang itu mungkin membuatnya tersinggung." "Aku tidak mengatakan apapun. Dia saja yang bertingkah ke kanak-kanakan!" Kendra jelas tidak mau disalahkan. "Diam kamu, Ken! Kakak jelas tahu bagaimana sikapmu itu." Kendra terdiam mendengar kemarahan kakaknya. Kasandra melanjutkan, "Dengar, Ken, Alea itu istrimu sekarang. Kamu harus memperlakukannya seperti seorang nyonya! Hargai dia lebih dari siapapun, jangan seenaknya. Dia bukan perempuan yang bisa kamu permainkan atau abaikan begitu saja!" Kendra mendesah panjang. "Kak, aku tahu kalau dia istriku. Kalau aku tidak khawatir, Aku tidak akan mencarinya. Aku akan membiarkannya kelayapan di jalan tanpa memikirkan apapun. Nyatanya aku bertanya padamu alamatnya. Itu berarti aku masih memikirkannya. Sekarang, bisakah kamu memberitahuku alamat rumahnya? Aku benar-benar ingin menjemputnya." Kasandra masih terdengar kesal, namun akhirnya menyerah. "Baiklah, aku kirim alamatnya. Tapi ingat, Ken, hargai Alea. Jangan buat masalah lagi. Aku akan menggunduli kepalamu kalau sampai dia menangis karena kamu sia-siakan." "Iya, sudah! Jangan banyak bicara dan cepat kirimkan saja alamatnya," balas Kendra yang langsung mematikan teleponnya. Setelah mendapatkan alamat, Kendra segera melajukan mobilnya menuju rumah Alea. Namun, sesampainya di sana, ia terkejut melihat betapa kecil dan sederhana rumah Alea. Rumah petak itu bahkan tidak sebanding dengan sepertiga ukuran rumah pribadinya. "Kecil sekali rumah ini... Apa dia tidak merasa pengap tinggal di sini?" gumamnya dalam hati. Kendra turun dari mobil, melangkah menuju teras rumah. Meski rumah ini sederhana, tampak bersih dan rapi. Ia mengetuk pintu dengan kasar. "Alea, buka pintunya!" teriak Kendra, nadanya terdengar seperti seorang penagih utang. "Alea, ayo pulang!" Namun, tidak ada sahutan. Kendra semakin kesal. "Alea, apa telingamu terlalu banyak kotoran sampai tidak mendengar?!" Kendra semakin geram dan menendang pintu. "Wanita memang selalu menyusahkan!" desisnya. Tak lama kemudian, suara deru mobil terdengar. Kendra menoleh dan melihat sebuah taksi berhenti di depan rumah. Alea keluar dari dalamnya, membawa sekantung belanjaan di tangannya, dan segera menatap Kendra dengan wajah dingin. "Kenapa kamu di sini?" tanya Alea dengan nada tajam. Kendra mendengus, "Mau minta sumbangan, jelas saja aku mencarimu, bodoh!" "Ngapain cari aku? Aku nggak penting. Sana pergi," jawab Alea dengan ketus, mengusir Kendra seolah-olah dia adalah tamu tak diundang. "Alea, ayo pulang," pinta Kendra dengan nada memerintah. "Pulang ke mana? Aku sudah di rumah. Ngapain aku harus pulang lagi?" balas Alea, nada suaranya semakin sinis. Kendra menahan gondok, merasa dipermainkan. "Tempat ini tidak pantas disebut rumah. Ini lebih mirip kandang ayam. Ayo kembali ke apartemen!" Alea mendengus dan balas menatap Kendra dengan tajam. "Meskipun kamu bilang rumah ini seperti kandang ayam, aku tidak peduli. Bagiku, hanya tempat ini yang bisa kusebut rumah. Kalau kamu merasa tempat ini tidak pantas diinjak olehmu, kenapa kamu repot-repot datang kemari?" Kendra semakin frustrasi. "Berapa kali harus kubilang, aku ke sini untuk menjemputmu! Pulang ke apartemenku, sekarang!" Alea tetap bergeming, menatap Kendra tanpa ekspresi. "Ini rumahku, dan aku tidak akan pulang ke mana pun." "Alea, aku bilang pulang ke apartemenku! Ikut aku dan jangan membantah!" ujar Kendra dengan nada penuh penekanan, suaranya mulai meninggi. Namun, Alea tetap tidak bergerak. Dia menarik kembali tangannya yang sempat digenggam Kendra. "Kamu datang ke sini bukan karena ingin, tapi karena Farhan atau Kasandra pasti memarahimu. Sayangnya, aku tidak akan pergi ke mana pun. Aku tahu kamu datang ke sini hanya karena terpaksa. Aku tidak mau bersama seseorang yang menganggap diriku beban atau hanya merasa kasihan kepadaku." Kendra tampak terkejut mendengar ucapan Alea, namun dia tidak mundur. "Aku datang ke sini karena mengkhawatirkanmu, bukan karena paksaan siapa pun!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD