Sinar mentari pagi menyusup ke celah-celah jendela kamar Amara. Menunjukkan jika hari yang mengagetkan bagi Amara semalam telah berganti. Masih teringat jelas saat hendak melangkah keluar dari tempat praktek dokter kandungan, ia menyaksikan dengan mata dan kepala sendiri jika ada Nadia sebagai salah satu pasien di sana.
Perasaan campur aduk dirasakan Amara sejak malam hingga pagi ini. Kini wanita yang tengah hamil itu tengah bersiap-siap untuk berangkat bekerja. Sebelum beranjak keluar dari kamar, ia menatap dirinya ke arah cermin meja rias. Mencoba membayangkan bagaimana hari-harinya mendatang sebagai seorang wanita hamil tanpa suami. Lalu ia menggerutu dalam hati.
Bara Gandawasa, inikah sebenarnya kau inginkan? Membuat para wanita yang pernah tidur denganmu untuk hamil bersamaan? Kau ingin aku dan Nadia sama-sama mengandung anakmu? Ya Allah …..
Amara yang masih melamun di depan cermin, tiba-tiba dikagetkan dengan suara yang memanggil-manggil namanya.
“Non, Non Amara …” panggil salah satu asisten rumah tangga yakni Bik Ria yang membuatnya berjingkat. “Eh, maaf Non, sudah mengagetkan Non Amara. Non Amara ditunggu Tuan dan Nyonya di meja makan. Disuruh cepat-cepat turun untuk sarapan.”
Amara mengangguk. “Oh iya, Bik. Sebentar lagi aku ke sana ya,” sahut wanita cantik berambut panjang itu. Bergegas menyiapkan diri untuk turun ke ruang makan.
Amara bergerak maju menapaki anak tangga yang melingkar di tengah rumah megah tersebut. Saat melangkah turun, secara tidak sadar tangan kanan wanita itu diletakkan di atas perutnya. Seolah-olah Amara tak ingin janin yang ada di dalam rahimnya itu gugur. Naluri seorang ibu pada anak.
“Ara, cepat habiskan sarapanmu. Setelah makan pagi, Mama dan Papa mau bicara padamu terkait nanti malam,” pinta Dian yang pagi ini tampak anggun dan awet muda dengan wajah blasteran Turki yang dimiliki dari ibunya. Wajah wanita paruh baya itu memang lebih mirip pada Amara.
Amara manggut-manggut. “Iya, Ma. Kalau begitu Ara makan dulu.”
Rendra yang sudah melahap habis sarapannya, berniat memulai obrolan ketika Amara telah selesai menghabiskan makanan. Usai meminum teh hijau hangat yang telah disiapkan asisten rumah tangganya, wanita itu menatap antusias pada ayahnya.
“Papa harap nanti setelah pulang kerja, kau cepat pulang. Jangan sampai lembur!” seru Rendra yang seperti biasa tak ingin dibantah.
“Oh iya, Pa. Nanti Amara akan pulang on time. Semoga nggak ada pekerjaan tambahan,” harap Amara lalu berkata lagi. “Memang nanti ada acara?”
Dian langsung menjawab, “Iya, Sayang. Kau tahu perusahaan keluarga Hanggara kan? HONG.”
Amara langsung mengangguk. “Iya, Ma. Aku tahu. Hanggara Oil And Gas yang ada di Kalimantan Timur itu kan?”
Rendra lekas menanggapi. Tak ingin terlalu lama menunda-nunda rencananya. “Nanti malam kau harus bertemu dengan Tristan Hanggara. Papanya itu teman Papa dan kami sudah sepakat mau mengenalkan kalian berdua. Sapa tahu kalian berdua cocok dan bisa menikah.”
Seketika ucapan Rendra membuat Amara terbelalak hingga tersedak teh yang ia minum lagi. “Uhuk … uhuk …”
“Lho, kamu tersedak. Aduh, kalau minum itu pelan-pelan, Amara,” tutur Dian sambil mengusap-usap tengkuk putri bungsunya.
Perintah dari sang ayah untuk bertemu pria bernama Tristan itu mengusik benak Amara. Bayangkan saja ia berniat dijodohkan dengan pria yang bukan ayah dari calon anak yang tengah dikandungnya. Tak bisa membayangkan harus menikah dengan pria lain di saat ia mengandung anak Bara Gandawasa. Amara hanya bisa mendesah pasrah lalu bergumam dalam hati.
Ya Tuhanku, seperti inikah saat menjadi putri keluarga Respati? Harus patuh pada rencana perjodohan orang tua? Apa jadinya jika mereka semua tahu kalau aku sedang mengandung anak Bara Gandawasa? Aku harus segera jujur pada Mama dan Papa tentang kehamilanku sebelum terlambat.
“Ya sudah, sekarang kamu berangkatlah bekerja. Kalau sudah waktunya pulang, cepatlah pulang. Nanti kamu akan Mama dandanin di salon Mama. Tristan harus terpesona melihat putri Mama ini,” ucap Dian seraya mendekat ke tempat duduk sang anak untuk mengelus-elus rambut Amara.
Dian memang sayang dan memanjakan Amara sebagai anak terakhir. Namun apa jadinya jika Rendra dan Dian tahu jika putri kesayangan mereka itu tengah hamil di luar nikah. Apalagi Rendra yang berwatak keras dan disiplin takkan membiarkan anggota keluarganya membawa aib untuk keluarga mereka.
“Kalau begitu Amara berangkat kerja dulu ya, Pa, Ma,” pamit Amara sambil bangkit dari tempat duduk untuk mencium tangan ayah dan ibunya sebagai anak yang hormat dan berbakti pada orang tua.
“Hati-hati di jalan ya, Ara. Semoga saja kakakmu Arman bisa cepat pulang ke Jakarta. Terlalu lama di luar negeri hanya akan membuatnya lupa kata pulang,” harap Dian yang tengah merindukan putra sulungnya yang saat ini masih bekerja di Amerika Serikat.
Rendra lekas angkat bicara. “Tenang saja, sebentar lagi Arman akan pulang kok. Posisi sebagai Direktur Operasional Produksi di ERA TV kan butuh cepat untuk diisi dan posisi itu cocok untuk Kakak Amara.”
“Syukurlah, kalau begitu. Kapan Arman pulang, Pa?” tanya Dian antusias.
“Minggu depan. Tunggu saja,” pungkas Rendra.
Mereka berdua pun beranjak dari ruang makan untuk memulai aktivitas mereka di pagi hari. Sebelum menyambut acara spesial nanti malam.
***
Pagi hari di apartemen Kalibata, seperti biasa Bara melakukan tugas sebagai sopir antar jemput kekasihnya untuk berangkat kerja. Kali ini pria itu tampak rupawan dengan setelan jas warna dark grey yang ia kenalan. Sedangkan Nadia terlihat anggun dan cantik dengan kemeja warna silver, blazer warna abu-abu, dan rok sepan berwarna dark grey. Mengenakan warna yang senada dengan sang CEO.
“Sayang, kamu cantik hari ini. Sekretarisku sekaligus kekasihku ini selalu membuatku tergila-gila padamu,” celoteh Bara yang memulai pagi ini dengan rayuan pada sang kekasih.
Nadia tersenyum malu-malu saat mendengar ucapan Bara.
“Iya, harus begitu, katanya nggak bisa hidup tanpa aku. Apalagi jika aku sudah memberikanmu anak. Kau pasti terikat denganku. Takkan bisa pergi dariku,” ucap Nadia percaya diri.
“Iyalah, makanya berikan aku anak biar kita bisa cepat menikah. Dengan hadirnya seorang cucu, orang tuaku pasti lama-lama bisa menerimamu. Kau akan jadi Nyonya Gandawasa.”
Nadia mengulas senyum. “Wah, aku jadi nggak sabar buat jadi istrimu, Baby B. Tapi kemarin nggak jadi nyentuh aku begitu kamu,” sindir Nadia.
Bara menggaruk kening saat Nadia berucap demikian. Mau tak mau ia harus mengakui bahwa kemarin lalu saat ia menginap di apartemen Nadia, ia malah teringat Amara.
“Kemarin aku masih belum sanggup, Sayang. Mungkin lain kali,” jawab Bara.
Nadia manggut-manggut. “Oke, Baby. Eh Baby, aku mau cerita.”
“Mau cerita apa, Sayang?” tanya Bara sebelum mereka berdua berangkat ke kantor e-commerce milik pria itu yang terletak di M.H. Thamrin, Jakarta Pusat.
“Aku semalam kan ke dokter kandungan di Pejaten sesuai rekomendasi temanku. Aku kayak melihat orang yang aku kenal saat ada wanita pingsan di sana. Saat itu aku kan masih antri periksa dokter. Aku kayak melihat wanita muda yang kayak bos di ERA TV kemarin lalu itu,” cerocos Nadia yang membuat Bara terkejut. Bayangan Amara terlintas di benaknya.
“Hah? Terus dia pingsan begitu? Di praktek dokter kandungan???” tanya Bara mulai penasaran.
Kali ini bayangan malam yang mendebarkan bersama Amara mencuat di pikiran Bara. Jantungnya berdetak kencang kali ini. Mulai paranoid dengan kata ‘dokter kandungan’ dan takut wanita yang disetubuhi itu ternyata hamil. Ia menelan ludah cemas.
“Kayaknya sih iya abis periksa dokter kandungan. Saat aku mau melihat ke lokasi ia pingsan yaitu di parkiran mobil, tiba-tiba namaku dipanggil untuk periksa. Jadi aku tak tahu selanjutnya bagaimana,” tutur Nadia terus terang pada Bara.
Bara mendengkus makin penasaran. “Oh begitu. Terus kamu ngapain ke dokter kandungan? Kamu nggak hamil sama pria lain kan, Sayang???”
Nadia terkekeh. “Yang benar saja aku kan kekasihmu. Maunya pasti hamilnya sama kamu. Aku kemarin periksa rahim. Aku ingin tahu rahimku sehat apa nggak. Kan kamu ingin aku bisa cepat hamil.”
“Terus hasilnya gimana?”
“Dengan berat hati ya, Baby, aku punya miom di rahim. Tapi kecil kok nggak besar-besar amat. Masih belum perlu operasi. Miom itu nggak ganas. Cuma daging tumbuh di sekitar rahim yang bersifat non-kanker.”
Bara terperangah mendengar ucapan Nadia.
“Syukurlah kalau nggak ganas. Tapi kamu masih bisa hamil kan, Sayang?” tanya Bara khawatir. Sebenarnya ia takut tak bisa memiliki keturunan bersama Nadia.
“Tenang saja, Baby, masih bisa hamil kok. Kata dokter karena masih kecil nggak perlu operasi. Kalau membesar harus dioperasi. Aku berjanji mau memberikanmu anak yang banyak. Makanya aku kudu konsultasi sama dokter kandungan,” ungkap Nadia seraya mengembangkan senyum di depan Bara.
“Syukurlah kalau begitu. Ya sudah, ayo sekarang kita berangkat kerja ya, Sayang. Sudah waktunya berangkat ini,” ajak Bara yang diangguki Nadia.
Mereka berdua pun lekas beranjak dari apartemen Nadia dan hendak pergi menuju perusahan e-commerce milik keluarga Gandawasa. Bara dan Nadia pun berjalan menuju parkiran mobil pria itu. Sepanjang perjalanan, mendadak pikiran Bara dipenuhi oleh Amara yang pingsan di praktik dokter kandungan. Pria itu jadi gelisah dan tak fokus dengan obrolannya bersama Nadia.
Reaksi Bara kali ini menunjukkan bahwa sebenarnya ia peduli dengan wanita yang telah ia tiduri itu. Takut jika wanita itu benar-benar mengandung anaknya. Yang ia harapkan sekarang adalah Amara ternyata tidak hamil. Ia ke sana sama seperti Nadia untuk cek kesehatan rahim.
Bara berusaha bersikap optimis dengan tidak terlalu terburu-buru untuk menebak sang wanita tengah mengandung. Karena pria itu masih tetap bertahan untuk tidak menikahi wanita asing seperti Amara. Namun apakah nantinya harapan Bara itu akan terwujud?