Bab 3. Berbuat Ulah

1890 Words
'Boleh nakal asal harus sewajarnya' .. Fersia Raxenta .. ***** Seperti hari-hari sebelumnya koridor SMA PELITA tampak ramai di pagi hari. Mobil dan motor yang dikendarai murid-murid datang silih berganti memenuhi area parkir dan diatur rapih oleh seorang satpam yang berjaga. Sebuah taksi berwarna biru berhenti tepat di depan gerbang SMA PELITA, sosok yang sudah di kenal dan selalu menarik perhatian semua murid pun turun dari dalam mobil dengan gerakan lambat di sertai mimik datar andalannya. Ia membenarkan letak tas punggungnya setelah menutup pintu taksi, lalu berjalan masuk ke area sekolahnya. Karena masih pagi, jadi banyak siswa laki-laki yang berada di koridor memandang dirinya intens dari ujung kepala hingga kaki. Yang di tatap tidak merasa risih. Ia sudah terbiasa. Belum sempat kakinya melewati pintu kelasnya, seseorang sudah meneriaki namanya seperti orang kesetanan dari arah belakang punggungnya. "SIA! SIAAAA." Fersia sosok yang baru saja sampai di sekolah itupun menoleh, melihat siapa yang memanggil namanya seperti itu. Alisnya terangkat saat tahu siapa orang yang sudah berteriak pagi-pagi dengan hebohnya di koridor hingga menimbulkan keributan. "Gawat gawat hhh si Tol.. si Tol..." pemuda bernametag Tegar itu berujar terputus-putus, napasnya terlihat ngos-ngosan saat berdiri tepat di sampingnya sambil membungkukkam badan. Ia terlihat mengatur napasnya sendiri yang naik-turun dengan cepat. Sia memutar badannya, menghadap kearah Tegar. Mendengar nama Tol di sebut membuat cewek cantik berwajah datar itu mendesah. Apa lagi sih masih pagi juga. Batinnya geram. "Kenapa?" tanyanya tidak minat. Ia melihat sekitar saat banyak pasang mata menatap kearah mereka ingin tahu dan tengah mencuri-curi berita heboh apa lagi pagi ini dari percakapan keduanya. "Bantuin gue. Si Tol dia berantem sama Yoga anak IPS di gudang belakang kantin." seru Tegar cepat. Sia mendesis dalam hati. Dasar kurang kerjaan. "Please Sia. Ayo kesana. Cuma elu yang bisa bikin tuh anak berhenti ngegebukin anak orang. Bisa mati entar si Yoga disana." bujuk Tegar memelas pias. Sia mendesah panjang, lalu mengangguk malas. Dengan langkah ogah-ogahan Sia mengikuti sahabat pacarnya itu membawa dirinya ke area belakang kantin. Gadis itu tidak jadi masuk kedalam kelas, padahal ia bisa saja mengabaikan ucapan Tegar dan melangkah masuk ke dalam kelasnya. Tapi, mendengar nama Yoga yang memang sudah Sia kenal. Membuat dirinya mau tidak mau harus kesana. Bukan karena Yoga temannya, melainkan nama Yoga memang sudah masuk daftar list musuh bebuyutan si Tol. Keduanya terus berjalan, Tegar melangkah cepat sedangkan gadis di belakangnya melangkah lambat. Sampai di depan pintu masuk kantin, keduanya berbelok kearah kanan menuju area belakang sekolah, melewati taman samping kantin yang aspalnya ditumbuhi rerumputan dan banyak pot-pot bunga berjejer rapih, serta melewati pohon mangga yang berada di sudut pagar sekolahnya tepat di sebelah pintu berwarna coklat bertuliskan 'Gudang'. Sepanjang jalan murid-murid lainnya menatap penasaran kearah jalan mereka. Terutama melihat raut wajah tegang pemuda di depannya sontak menarik perhatian penduduk yang lain. Mereka ingin tahu apa yang sedang terjadi, tapi di urungkan saat melihat gadis cantik bermimik datar ada di belakangnya. Suara ringisan lirih seseorang masuk ke dalam indra pendengaran Sia, tepat di ambang pintu yang baru saja di buka oleh Tegar dari luar. Sia memandang lurus menatap ruang dengan pencahayaan minim tersebut, matanya menatap punggung pemuda yang tampak memakai kaus berwarna hitam dan celana abu-abu tengah menduduki tubuh seseorang di bawahnya. Sia menghela napas. Melangkah lambat dan tidak bersuara sepatah katapun melihat adegan yang tersaji. Padahal jelas-jelas situasi saat ini sebagian besar sangat ditakuti kebanyakan kaum hawa. Jika sekarang bukan Sia, mungkin ruangan pengap ini sudah penuh suara histeris kaum hawa. Adegan jotos secara live. Sia mengendarkan pandangan ke seluruh sudut gudang belakang ini. Disana ada lemari rusak yang pintunya sudah hilang satu warnanya pun sudah memudar, ada beberapa meja dan bangku yang sudah tidak layak pakai ditumpuk dekat sudut ruang menjadi satu, ada juga peralatan-peralatan lainnya, anehnya terdapat juga sofa panjang dan meja kecil di tengah-tengah ruang, serta tidak lupa penerangan yang hanya memakai lampu 5 watt sontak membuat ruang ini terasa pengap meski ada banyak jendela yang di buka. Sia tahu tempat yang ia pijak sekarang, ini adalah markas bagi anak-anak nakal berkumpul, selain kantin pojok. Sia berhenti tepat di belakang punggung pemuda yang sedang membabi buta memukul lawannya yang sudah tidak berdaya di bawah sana. Bugh bugh bugh. "Haha... Mampus lu nji*g." umpat pemuda itu menggelegar di selingi tawa. Sia diam, saat melihat apa yang sedang dilakukan pemuda gila di depannya. Sedangkan Tegar yang datang bersamanya tadi hanya berdiri tidak jauh dari TKP tanpa bertindak apapun takut-takut ia kena sasaran. Sia mulai jengah. Apalagi melihat si korban yang terus di pukuli tanpa rasa kasihan padahal sudah tidak bisa melawan. Tangannya merogoh kantong saku roknya, mengeluarkan ponsel miliknya dari dalam sana. Menimang. Lalu memandang ponsel dan punggung yang sedikit membungkuk di depannya bergantian. Prang. Suara keras dari benda yang jatuh ke lantai berhasil menghentikan aksi si pemilik punggung di depannya. Pemuda itu menoleh kesal ke arah sumber suara karena sudah mengganggu aktivitasnya. Mulut pemuda itu hendak terbuka, tapi kembali terkatup rapat setelah melihat apa yang dilihatnya. Keningnya mengkerut dalam, memandang lantai keramik gudang dimana benda segi empat tergelak. Ponsel mewah berlogo buah apel yang tergigit berwarna putih sudah hancur dan retak. Tatapan pemuda itu beralih pada sepasang sepatu berwarna hitam di dekat benda naas tersebut. Kepalanya mendongak. Lalu melempar senyum lebar dengan bangganya seolah sedang tidak terjadi apa-apa kepada si pemilik sepatu. Bangkit, menepuk-nepuk celana abu-abunya yang sedikit kotor. Senyumnya belum hilang sama sekali kearah sosok di hadapannya. Binar matanya cerah bak mentari pagi. "Sia-ku." pekik pemuda gila itu heboh. Yang di panggil memutar bola matanya malas. Tidak mendapat tanggapan pemuda itu kembali bersuara santai. "Ngapain di sini?" tanya pemuda itu polos dengan tampang innocent. Pertanyaan bodoh. Cibir Sia dalam hati. Sia masih tidak menjawab, gadis itu hanya menatap pacarnya seperti biasa. Datar. Hening setelahnya. Hanya terdengar ringisan lirih si korban yang terdengar samar-samar. Sedangkan Tegar sendiri hanya mampu melongo melihat kejadian di depan matanya. Terutama pada benda yang tergeletak di atas lantai gudang sekarang. Nggak cowok, nggak ceweknya sama-sama gila. Geleng Tegar tidak percaya. "Tegar bawa Yoga ke UKS." Tegar tersentak kaget mendengar suara dingin pacar sahabatnya itu. Ia pun mengangguk mengerti, buru-buru pemuda bermata sipit itu memapah Yoga si korban yang sudah babak belur keluar gudang dengan susah payah. Sia berbalik, belum sempat melangkah tangannya di tarik hingga tubuhnya kembali menghadap si Tol Tol itu yang tidak lain adalah Fathur Artha Putra, kekasihnya. Penampilan pemuda itu awut-awutan, rambutnya semakin berantakan, baju dan dahinya basah oleh peluh. Tatapan Sia beralih pada jemari tangan Fathur yang memerah. Ada bercak noda darah di sana. Entah itu milik Yoga atau pemuda ini. Menghela napas, Sia kembali menatap manik mata pemuda itu dalam penuh arti. Tangannya bergerak dengan sendirinya, terulur menghapus keringat yang masih menempel di kening dan sekitar jambang Fathur dengan gerakan lembut. Terpaku. Tubuh pemuda itu mendadak kaku, dadanya bergejolak cepat seperti sedang dangdutan, otot-ototnya terasa keras saat mendapat sentuhan lembut penuh hati-hati dari gadis di depannya. Dalam hatinya tidak dapat di pungkiri kalau pemuda itu merasa senang, rasanya ia ingin memekik girang setiap ada kontak fisik yang terjadi dengan gadis itu. Baik itu sengaja maupun tidak. Walau Sia terkesan cuek padanya, namun gadis yang sudah menjadi pacarnya selama 1 tahun ini diam-diam memiliki sisi manis yang tidak pernah terduga. Seperti sekarang. Fersia Raxenta memang tidak pernah mau menghumbar kemesraan dengannya di sekolah maupun di luar ketika keduanya jalan bersama. Selalu Fathur yang memulai lebih dulu, walau hanya sebatas menggandeng tangan dan bahu gadis itu. Meski sebenarnya Fathur suka berpikir seribu kali saat ingin melakukan skinship dengan gadisnya. Mereka bahkan belum pernah ciuman sekalipun. Padahal itu adalah hal yang amat di sukai oleh Fathur. Buktinya saja sudah berapa banyak bibir gadis-gadis yang mendekatinya pernah ia cicipi. Kembali lagi berbeda dengan Sia, Fathur selalu berusaha memperlakukan gadis itu layaknya barang berposelin mahal dan berharga yang harus ia jaga baik-baik. "Bodoh." Alis Fathur terangkat keatas mendengar gumaman Sia. Tapi, tak lama hanya butuh beberapa detik buatnya membalas dengan senyum lebar hingga menampilkan deretan giginya yang rapih. "Makasih." balasnya senang. Mata Sia memicing, ia menjauhkan tangannya cepat. Lalu menggeleng, tanpa peduli dengan wajah tampan pemuda itu yang sedang berbinar-binar. Sia membalikkan lagi badannya, berjalan lebih dulu meninggalkan gudang beserta kekasihnya yang sudah memekik kegirangan di belakangnya. "Sia-ku... Sia-ku... Tunggu Abang dong. Kok di tinggalin sih." Gila. Batin Sia jengkel. Kakinya terus melangkah pelan, disusul derap langkah di belakangnya. Tanpa sadar sudut bibirnya tertarik keatas tipis meski terlihat samar. _____ Menyesal. Itulah kata yang sedang ia sesali saat ini. Seharusnya dirinya tidak perlu ikut Tegar membantu memisahkan kekasihnya dan Yoga di gudang tadi. Karena sekarang ia terkena imbasnya. Terjebak di ruang BK. Nasi sudah menjadi bubur mau mengulang pun semua sudah terjadi. Terlanjur.  Kini dirinya dan Fathur sedang duduk di hadapan Bu Rita guru BK SMA PELITA. Beliau tengah memandang tajam sambil menggeleng bosan melihat pemuda di sebelahnya. Apalagi melihat raut tanpa dosa pemuda itu, mungkin membuat siapa saja ingin menyleding wajahnya yang tampan. Tatapan BuRit panggilan anak-anak disini beralih menatapnya sama tajamnya. Sia hanya diam balas menatap dengan datar.  "Aduh Ibu pusing sama kamu Fathur. Bisa tidak sehari saja jangan buat ulah. Kamu tahu buku hitam saya hanya penuh dengan coretan nama kamu terus." keluh beliau frustasi. Pacar gilanya itu justru malah terkekeh menanggapi si guru BK.  "Lah BuRit saya kan nggak minta Ibu buat tulis nama saya di sana." sahutnya kalem. Bu Rita melotot, wajahnya merah padam jika disini dunia kartun mungkin di atas kepala beliau sudah keluar asap.  "Astaga kamu pikir Ibu mau nulis nama kamu terus setiap hari. Bosan Nak. Bosan. Sekali-sekali liat anak nakal lainnya selain kamu tidak ada apa." ujar beliau gemas. Alis Fathur terangkat, sedangkan Sia hanya diam membiarkan dua orang berbeda jenis dan usia itu saling berdebat.  "Ibu mau selingkuh?"  Wajah Bu Rita berubah bengong, beliau menatap bingung murid bengal satu di depannya.  Selingkuh apaan lagi ini. Pikir beliau lola. "Selingkuh? Apa sih maksud kamu. Jangan ngelantur Nak." Fathur mencibir, "Lah tadi Ibu bilang, 'sekali-kali liat anak lain selain kamu tidak ada apa'. Terus itu apa maksudnya kalau bukan selingkuh Bu."  Rahang Bu Rita jatuh seketika mendengar ucapan murid di depannya. Beliau memijat kepalanya pusing, matanya beralih pada sosok murid cantik yang ia tahu bernama Fersia Raxenta, siswi kelas XII-IPA2.  "Sia Ibu boleh minta tolong." desah beliau terdengar pasrah. "Apa Bu?" jawab Sia langsung sopan. "Tolong kamu bawa dia keluar dari ruangan Ibu. Bisa mati berdiri Ibu lama-lama ngurusin dia." ucap beliau menunjuk si murid bengal di sebelahnya dengan dagu malas. Wajah beliau lesu. Sepertinya benar-benar menyerah menangani ulah dari salah satu murid sekolahnya ini.  Sia mengangguk pelan, beranjak setelah berpamitan sopan dengan sang guru yang sedang menangkup wajahnya dengan telapak tangan.  "Makasih ya Bu. Makin cinta deh." seru pemuda itu mengedipkan mata genit sebelum pergi menyusulnya, meninggalkan Bu Rita yang menjatuhkan lagi rahangnya seraya menggeleng kepala heran. "Astaga tobat Nak." gumam beliau. Fathur terkikik geli sepanjang jalan menuju kelas. Langkahnya terhenti saat merasakan badannya menabrak punggung di depannya pelan. Ia menatap punggung gadis di depannya heran. "Ada apa Si.... Ahhhhh." Fathur memekik kaget. Ia memegang tulang keringnya yang berdenyut ngilu dengan raut bingung. Memandang wajah si tersangka yang sedang menatap datar dan dingin kearahnya.  Meneguk ludahnya. Melihat ekspresi kekasihnya yang tersirat kekesalan padanya. Belum sempat ia berucap, gadisnya sudah kembali berjalan mendahuluinya dan hilang di balik pintu bertuliskan XII-IPA2. Fathur menghembuskan napasnya panjang, kemudian mengelus-elus dadanya dramatis. "Sabar sabar orang sabar di sayang pacar." gumamnya tidak jelas. ***** Bersambung..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD