Canggung

1111 Words
Geo bersorak gembira. Tangan kecilnya langsung menyambut tangan Ari yang terulur. Mereka lantas keluar dari ruang kerjaku. Aku sendiri kembali sibuk dengan pekerjaan yang sempat tertunda lantaran harus menjemput Geo. Aku baru saja menyelesaikan separuh pekerjaan saat pesan dari Bayu masuk. Bayu : Sudah pulang ke rumah, Va? Aku membalasnya singkat. Nanti akan aku sambung lagi ketika pekerjaanku selesai. Namun, baru akan memasukkan data ke jurnal yang aku buat, layar komputer bermasalah. Entah ada peringatan apa pada layarnya yang membuatku tidak bisa mengetik kembali, dan tiba-tiba layar berubah menghitam dengan deretan teks panjang yang tidak aku mengerti. Aku bergerak keluar dan mencari bantuan. Aku memanggil salah satu karyawan lelaki yang kebetulan melintas di depan kantor. "Ron, kamu bisa komputer enggak?" tanyaku. Siapa tahu pegawai bernama Roni itu bisa membantu. "Aduh, Bu. Maaf, saya tidak bisa." "Oh, oke." "Pak Ari aja. Beliau kan orang IT pasti bisa." Aku mengangguk saja. Lalu mulai celingukan mencari keberadaan Ari dan Geo. Mungkin mereka ada di depan. "Biar saya panggilkan saja, Bu." "Oh, oke. Terima kasih ya, Ron." Aku bisa menggunakan komputer tapi kalau ada masalah mengenai software begini kurang paham. Tidak lama Ari muncul, tapi Geo tidak membersamainya. "Ada masalah apa, Va?" tanya Ari begitu masuk ke ruangan. Dengan cepat dia sudah berdiri membungkuk di sebelahku duduk. "Nggak tau ini kenapa tiba-tiba masuk ke layar hitam dengan teks-teks yang nggak aku ngerti." "Oke, wait. Aku coba lihat." Ari dengan cekatan mencari permasalahan yang terjadi. Entah dia melakukan apa pada komputer itu. Gerakan jemarinya begitu cepat dan aku juga tidak paham apa yang dia sentuh dan ketik. Namun satu yang pasti, Ari dengan mode serius seperti itu tampak lain. Ada aura berbeda yang terlihat dari wajahnya. Aku mengedipkan mata pelan, sedikit takjub dengan makhluk yang dulu pernah aku cintai itu. "Nah! Ini sudah bisa!" Aku langsung mengalihkan pandang mendengar seruan Ari. Akan tidak lucu kalau aku kepergok sedang memandanginya. "Ini udah bisa aku pake?" tanyaku kemudian. "Iya. Bisa." "Yang tadi aku kerjain kesimpen enggak ya? Duh, Sayang banget kalau hilang." "Sebentar." Ari kembali mengotak-atik komputer. Tidak lama dia menunjukkan sheet yang sedang aku kerjakan tadi. "Ini kan? Masih ada kok. Ini tersimpan otomatis sih. Jadi, kamu enggak perlu khawatir," ucap Ari, menoleh padaku dan tersenyum. Tapi sialnya di waktu bersamaan aku menoleh padanya juga. Sehingga mata kami bertemu. Untuk beberapa saat mata kami saling mengunci satu sama lain, sampai aku memutuskan pandang terlebih dulu. Serta merta suasana berubah menjadi canggung. Ari bahkan berdeham beberapa kali sembari berdiri kembali dengan benar. Sementara aku meraih apa pun untuk menghilangkan rasa gugup dan kikuk yang sempat menerjang. "Ya sudah, kamu lanjutkan saja pekerjaan kamu. Aku lanjut menemani Geo dulu," ucap Ari akhirnya. Lalu dia melangkah keluar dari ruangan. Aku membuang napas lega begitu Ari pergi. Perasaan apa tadi? Aku tidak pernah mengharapkan momen seperti itu terjadi. Momen canggung seperti orang yang tengah jatuh cinta. Aku akui sempat tertegun saat pandangan kami bertemu. Tapi lebih ke terkejut saja. Dan, aku juga tidak berani memikirkan hal berlebihan. Hanya saja kenapa jantungku berdegup kencang? Sepertinya aku harus mulai menjaga jarak dengan lelaki itu. Aku tidak mau perasaan aneh tadi muncul lagi. Surat edaran karya wisata TK Geo sudah keluar. Selebaran itu aku tunjukkan kepada Bayu saat kami berdua hendak pergi tidur. Biasanya momen sebelum tidur kami gunakan untuk saling bertukar pikiran. "Geo, mau piknik?" tanya Bayu saat membaca sekilas surat edaran itu. "Iya, Mas. Minggu depan katanya. Tapi biayanya lumayan besar. Ikut atau enggak, tetap bayar. Karena mereka sudah membooking bus. Dan setiap anaknya dikenakan biaya 250 ribu. Kalau sama ibunya jadi lima ratus." Bayu tampak menggaruk pelipisnya. "Kalau kita nggak ikut tetap bayar ya?" Aku mengangguk. "Sayang juga kan uang 250 ribu kalau enggak ikut? Geo juga tampak antusias. Tapi, masalahnya uang segitu nggak kecil buat kita, Mas." Aku menarik napas sebelum melanjutkan bicara. "Dan kalau Geo ikut aku juga harus ikut. Aku nggak mungkin membiarkan Geo jadi olok-olokan temannya lantaran mamanya nggak ikut. Tapi sekali lagi, biayanya enggak sedikit buat kita." Bayu mengangguk. "Kamu punya simpenan enggak? Biar aku pinjam dulu nanti gajian aku ganti." "Aku ada uang sih, Mas. Cuma itu buat uang belanja harian dan ongkos bensin. Itu saja sudah aku hemat-hematin," sahutku meringis. Bayu menghela napas lalu tampak memikirkan sesuatu. "Nanti aku coba tanya sama teman, barang kali mereka punya simpenan." Mataku melebar. Agak tidak setuju dengan idenya. "Kamu mau pinjem, Mas?" "Ya mau gimana lagi?" Aku menggigit bibir bawah, ikut berpikir mencari solusi yang tepat. "Mungkin Geo nggak usah ikut piknik aja." "Jangan, kasihan dia. Nanti teman-teman cerita soal piknik mereka, dia cuma bisa melongo." "Tapi, Mas. Uang kita nggak cukup. Aku nggak mau kamu memaksakan." Bulan kemarin terlalu banyak libur dan cuti yang Bayu ambil karena kami sekeluarga sempat diberi nikmat sakit berturut-turut. Mulai dari Bayu, aku, dan terakhir Geo. Hanya demam sih, tapi lumayan membuat rutinitas kami terganggu. Sehingga Bayu terpaksa mengambil cuti. Oleh sebab itu berpengaruh pada gaji Bayu bulan ini. Aku prediksikan sih bakal minus. Aku tidak tega memberitahu Geo tentang dia yang tidak akan ikut serta karya wisata sekolah. Semalam setelah berdiskusi dengan Bayu, aku memutuskan Geo tidak mengikuti kegiatan sekolah itu. Berat memang. Tapi aku juga tidak tega membiarkannya jalan sendirian di sana meski pun ada teman-teman dan guru-gurunya. "Kita akan menggantinya dengan liburan tipis-tipis ke wisata lokal setelah gajianku nanti," pungkas Bayu menutup diskusi kami semalam. Aku memutuskan memberitahu Geo setelah anak itu pulang dari sekolahnya agar tidak mengganggu kegiatan belajarnya. "Kata Bu Syifa boleh bawa makanan dari rumah, Ma. Kita nanti mau bawa makanan apa?" Geo masih saja membahas tentang karya wisata itu. Membuatku makin tak tega memberi kabar buruk ini. Tapi, aku juga tidak mau membuat anak itu menaruh harapan terlalu tinggi. "Geo, Sayang. Coba sini deket Mama." Aku memanggilnya yang baru akan memasuki kamar. Anak itu mendekat dan duduk di kursi depan meja makan berhadapan denganku yang duduk di kursi lainnya. Tatapan polosnya membuatku ragu untuk jujur. Aku sudah merasa iba sebelum melontarkan hal yang pasti akan membuatnya kecewa. Aku menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Kuraih kedua lengan anak itu dan kutatap lurus matanya yang bening. "Geo, sebelumnya mama sama papa minta maaf sama kamu." Aku menjeda ucapanku sesaat. Berusaha mencari kata-kata yang tidak akan membuat Geo terkejut. Tapi.... "Sepertinya... Kita nggak bisa ikut piknik ke taman safari." Mata polos itu mengerjap perlahan. Lalu bibir mungilnya bergerak. "Kenapa?" Tanganku bergerak naik ke atas kepala Geo, yang raut mukanya berubah sedih. "Mama sama Papa belum punya biayanya," sahutku tersenyum tipis. "Tapi, Mama janji kalau mama udah gajian Mama akan bawa kamu ke kolam renang yang ada di...." Tanpa mengatakan apa-apa, Geo turun dari kursi dan berjalan meninggalkanku. Dia masuk ke kamarnya, tidak membiarkan aku melanjutkan ucapanku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD