Hari Yang Sibuk

1041 Words
"Kata Chilla Om Ari itu pemilik kedai ya, Ma?" tanya Geo saat kami di perjalanan pulang ke rumah. "Iya. Tapi Mama mohon Geo jangan bilang Papa soal ini." "Kenapa?" Anak itu menoleh sedikit ke belakang. "Papa nggak akan suka. Dan, Mama nanti nggak bisa kerja di sana lagi." "Aku suka Mama kerja di sana. Jadi, aku nggak akan bilang sama Papa." "Mama nggak minta Geo bohong ya. Geo cukup nggak memberitahu sama Papa aja kalau Mama kerja di kedai Om Ari." Anak itu mengangguk seperti biasanya. Selama ini dia cukup bisa diajak kerjasama. Tapi tentu saja rasa waswas itu ada. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana wajah Bayu saat tahu semuanya. Geo langsung tidur siang begitu sampai rumah. Sementara aku bertarung kembali dengan seabreg pekerjaan rumah. Ternyata lumayan capek. Tapi, jujur aku senang dan menikmati. Menjadi wanita karir sekaligus ibu rumah tangga. Aku menoleh ke atas meja makan saat mendengar bunyi dering ponsel. Aku tinggalkan sebentar kegiatan memasak untuk makan malam dan menyingkir ke meja makan untuk meraih ponsel itu. Panggilan dari Bayu. Aku mengelap tanganku yang basah ke celemek kain yang kupakai sebelum mengangkat panggilan itu. "Halo, Mas," sapaku, sembari duduk di kursi. "Halo, Va. Kamu di kedai atau sudah pulang?" tanya Bayu di sana. "Aku udah di rumah. Ada apa, Mas?" "Aku lembur jadi pulang jam tujuh." "Kerjaan banyak ya, Mas?" "Iya. Kamu engga usah masak aja. Aku pasti dapat jatah makan malam di pabrik." Spontan aku melirik masakanku. Tumis kangkung pedas. Aku telanjur memasaknya. "Aku udah masak sih, Mas." "Ah, aku telat ya ngasih tahu kamu. Tapi, nggak apa-apa, deh. Nanti aku makan kok." Aku tersenyum. Bayu selalu begitu. Selalu menghargai apa-apa yang aku masak dengan cara memakannya. Meski kadang rasanya aneh, dia akan tetap memakannya. Tapi dia bilang sekarang masakanku sudah ada kemajuan. Tujuh tahun pernikahan masa iya masakanku rasanya akan aneh terus? "Oke. Sore ini kamu berangkat lagi?" tanya Bayu kemudian. "Iya, setelah mengantar Geo les ngaji." "Oke, kalau gitu kamu hati-hati ya bawa motornya." Aku mengembuskan napas. Bayu bekerja sangat keras. Dulu dia hanya operator biasa di pabrik. Seiring berjalan waktu dia diangkat menjadi line leader. Dan masih bertahan di posisi itu hingga sekarang. Entah kapan bisa naik jabatan lagi. Walau begitu aku tetap bersyukur. Meski hidup pas-pasan kami tidak pernah merepotkan orang tua kami apa lagi orang lain. "Mama bawain kamu bekal ya, Geo. Soalnya kalau sore-sore kamu suka kelaparan," ujarku saat anak itu sudah siap dengan seragam mengajinya. "Kan bisa makan di rumah, Ma." "Mama kan masih harus di kedai dulu. Jadi, pasti pulangnya agak terlambat." Anak itu hanya mengangguk saja. Beruntung Geo bukan tipe anak hiperaktif. Jadi, ketika aku membawanya ke tempat kerja dia tetap bersikap baik. Aku juga membekalinya buku bacaan dan kertas gambar untuk mengusir rasa bosannya saat aku sibuk mengecek stok barang. Aku langsung kembali ke kedai yang berada di Ayani saat sudah menyelesaikan kerjaan di kedai otista. Sebentar lagi Geo pulang dari les mengaji. Aku bergegas masuk ke bagian dapur untuk menanyakan hal-hal yang orang dapur perlukan. Besok weekend, sudah dipastikan akan ada tambahan stok bahan-bahan segar yang harus aku pesan. "Mbak, tolong pesan seladanya ditambah ya. Kalau weekend kami sering kehabisan selada," ujar Budi, karyawan bagian dapur. "Siap." Aku terus membaca daftar belanjaan untuk besok pagi sembari berjalan menuju kantor. Aku sampai tidak sadar jika di ruang kerja ada seseorang. Aku terlonjak kaget saat menemukan Ari tengah duduk bersandar dengan kepala menengadah. Matanya terpejam. Apa dia tertidur? Aku bergerak pelan menyimpan kertas yang aku bawa ke atas meja. Berusaha tidak menimbulkan suara agar Ari tidak merasa terganggu. Lalu tanganku terjulur menggapai tas yang ada di ujung meja. Tapi... "Riva, pekerjaanmu sudah selesai?" Tanganku belum sempat menggenggam tas saat suara Ari tiba-tiba terdengar. "Sori, Mas. Aku ganggu kamu ya?" tanyaku nyengir. Ari tampak duduk tegak dan merentangkan tangannya ke atas. Lalu dia melakukan gerakan mematah-matahkan leher. "Aku nggak sengaja ketiduran tadi pas sampai. Kamu mau jemput Geo ya?" "Iya, Mas," sahutku lantas kembali meraih tas. "Yuk, aku antar." Dia tiba-tiba beranjak berdiri. "Eh, nggak usah, Mas. Biar aku aja yang jemput dia. Pake motor lebih cepat." "Setelah jemput Geo, kamu ke sini lagi atau langsung pulang?" tanya Ari keluar dan melewati meja. "Aku kayaknya balik ke sini lagi. Soalnya masih ada yang harus aku kerjakan." "Oke, aku tunggu." Kadang aku heran. Ari bilang dia akan ada di kedai kalau malam saja. Tapi yang sering aku temukan lelaki itu ada di kedai sudah sejak sore. Aku kembali ke kedai setelah menjemput Geo dari tempat mengajinya. Ari tampak sedang mengecek komputer yang ada di depan meja kerja. "Va, kamu masukan semua transaksi belanja kita ke jurnal umum ya?" tanya Ari begitu aku masuk kembali ke ruang kerja bersama Geo. "Ah iya, Mas. Biar lebih rapi aja sih," sahutku meringis. "Nggak boleh ya? Tapi itu cuma di kedai ini doang kok. Kalau yang di otista enggak. Enggak keburu soalnya." Ari terlihat menghela napas. "Ini bagus banget sih, Va. Cuma apa ini nggak bikin nambah kerjaan kamu?" tanya Ari. "Enggaklah, Mas. Cuma bikin jurnal begitu kan gampang." "Aku lupa kalau kamu itu anak akuntansi." Ari lantas bergerak keluar dan menghampiri Geo. "Mau makan es krim, Boy?" "Mau, Om!" "Ada syaratnya tapi." "Apa itu, Om?" tanya Geo dengan mata mengerjap. Aku yang sudah menggantikan posisi Ari duduk di meja kerja hanya memperhatikan kedua lelaki beda generasi itu. "Coba tunjukkan sama Om. Di les ngaji tadi kamu belajar apa?" "Tadi itu aku membaca iqra, Om. Aku udah bisa Iqro tiga loh," sahut Geo bangga. "Hebat. Kalau gitu coba Om pengin tahu." Keduanya lantas beranjak duduk di sofa. Geo mengeluarkan buku iqronya lalu menunjukkan halaman yang sudah dia baca di les ngaji tadi. "Ini Om, aku udah sampai sini." "Oke, coba baca. Om pengin tau. Kalau lancar Om kasih kamu es krim pisang." Dengan semangat Geo membaca iqra. Aku hanya tersenyum melihat interaksi keduanya. Seandainya Bayu juga seperti Ari bisa meluangkan waktu untuk menguji seberapa pandai anaknya dalam belajar. Bayu memang lelaki sabar dan bertanggung jawab. Tapi, dalam urusan belajar Geo, dia hampir tidak pernah mau ikut campur. Selama ini dia menggantungkannya ke aku. Aku yang lebih sering menemani Geo belajar. Bayu sudah terlalu lelah dengan pekerjaannya. "Oke! Good job, Boy! Kamu bisa dapat satu es krim banana," seru Ari begitu Geo berhasil menyelesaikan tantangan darinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD