Insecure

1074 Words
Aku menelan ludah gugup. Diam-diam bahkan menarik napas panjang, mencoba menghilangkan rasa gugup di dadaku. Bayu bukannya menyingkir malah berdiri bersandar pada pinggiran bak cuci piring. "Aku minta maaf ya, nggak bisa bantu. Kamu bahkan baru mulai kerja, tapi sudah utang di sana," ucap Bayu dengan pandangan menunduk ke bawah. Aku mematikan api kompor lalu meraih cangkir di atas rak. "Nggak apa-apa. Kan nanti juga diganti. Daripada kamu harus pinjam sama teman kamu. Nggak enak, Mas." tanganku terulur mengambil toples kopi dan gula. Bayu tidak terlalu suka kopi manis. Jadi, aku hanya memberinya gula sedikit. "Kalau lagi keadaan kayak gini, rasanya aku nggak guna banget jadi ayah." Insecure-nya kumat. Dia selalu saja menyalahkan diri sendiri jika ada sesuatu yang menimpa kami. Padahal aku selalu maklum dan menerima apa pun yang menjadi kekurangannya. "Kamu ngomong gitu lagi, Mas. Sudah berapa kali sih aku bilang kalau aku dan Geo enggak masalah." "Sudah tujuh tahun kita bersama, tapi aku merasa belum memberikan hal terbaik buat kamu dan Geo." Aku mengaduk isi cangkir. Wangi kopi langsung menusuk indera penciumanku. "Terserah kamu mau ngomong apa. Yang jelas bagi kami, aku dan Geo, kamu sudah melakukan yang terbaik. Udah ah, stop pembahasan kayak gini. Ini minum dulu kopinya." Aku keluar dapur dan menyimpan kopi itu ke atas meja. Bayu menyusulku. Lalu tiba-tiba memelukku dari belakang. "Kalau aku bisa memberimu lebih, kamu tidak perlu capek-capek kerja. Tapi, mampuku hanya sedikit." Aku menepuk lengannya. "Ya udah sih, Mas. Toh aku dan Geo nggak menuntut hal yang lebih." "Terima kasih ya buat pengertiannya selama ini," ucap Bayu. Bibirnya lantas mengecup pelipisku. "Kalian berpelukan di depan anak kecil?" Kami berdua serentak menoleh dan menemukan Geo yang tampak baru keluar dari kamar mandi. Tubuh kecilnya terlilit handuk. Rambutnya masih basah, bahkan buliran air masih ada di area d**a bocah itu. Bayu terkekeh melihat anak itu memasang wajah manyun. "Kamu mau dipeluk juga? Sini," ujarnya melambaikan tangan. Geo mendekat dan segera disambut rentangan tangan Bayu. Tubuh kecilnya tenggelam ke pelukan Bayu, lalu Bayu beranjak berdiri seraya menggendong Geo. Lelaki itu kembali merapatkan jarak padaku. Kami bertiga berpelukan erat saling menguatkan. Mataku bahkan terpejam. Merasa bahagia memiliki mereka. Senyumku mengembang, bahagia itu sederhana. Berkumpul dengan orang yang kita cintai, itu sudah cukup. Namun di tengah kebahagiaan yang aku rasakan sekarang, tiba-tiba bayangan wajah Ari berkelebat. Aku terkejut bukan main dan segera mungkin membuka mata. Bagaimana bisa wajah Ari tiba-tiba muncul? Bahkan perkataan Ari kembali terngiang dengan jelas. Tentang dirinya yang rela menjadi tempat keluh kesahku. Ada rasa ngilu yang tiba-tiba hadir dan membuatku tak nyaman. Bahkan tubuhku spontan merinding hanya karena mengingat lelaki itu. "Mas, aku bantu Geo memakai baju dulu ya," ujarku mengakhiri kegiatan berpelukan kami. "Geo, turun. Kamu kan makin berat. Maunya digendong terus." Bayu menurunkan Geo. "Mumpung papanya masih kuat." "Tuh, Papa aja bilang gitu. Jangan salahin aku dong, Ma," sambut Geo merasa dibela. "Ya udah, tapi jangan sering-sering ya papa kamu bisa encok," sahutku, terkekeh. Lalu menggiring anak itu memasuki kamarnya. "Encok itu apa, Ma?" tanya Geo. "Encok itu nyeri pinggang." Kami masuk ke kamar dengan luas tiga kali dua meter yang Geo tempati. Aku membuka lemari plastik yang berisi baju-baju Geo, dan mengambil satu setel pakaian santai. "Kayak nenek-nenek aja." Aku menyerahkan baju yang kuambil padanya. "Nyeri pinggang kan nggak cuma nenek-nenek aja, Geo. Orang-orang yang masih muda juga banyak yang kena sakit pinggang. Soalnya mereka males olahraga." "Yee aku nggak males dong. Tiap minggu kan aku lari pagi sama Papa." "Iya, kamu mah rajin olahraga. Sini, mama bantu kamu keringkan badan." Aku mengambil alih handuk dari dari tangan Geo. Anak itu masih belum terampil mengeringkan badannya sendiri jika selesai mandi. Terutama bagian telinga dan punggung. "Janji sama Mama ya habis jalan-jalan ke Taman Safari kamu harus rajin belajar. Kan sebentar lagi ujian kelulusan," kataku seraya mengeringkan punggung Geo. "Iya. Aku janji. Jadi, aku sebentar lagi jadi anak SD ya, Ma?" Aku mengangguk. Aku dan Bayu memutuskan Geo hanya satu tahun bersekolah TK. Dia sudah lumayan lancar membaca meskipun kadang masih manja minta dibacakan buku menjelang tidur. Mungkin itu faktor kebiasaan. Geo juga sudah pandai berhitung. Kemandiriannya juga sudah bisa menjadi bekal untuk masuk ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Itu yang membuatku mempertimbangkan dia masuk SD saat usianya enam tahun nanti. "Iya. Sebentar lagi juga kamu umurnya udah enam tahun. Bukan lagi lima tahun." Aku kembali membantunya mengenakan baju. "Aku mau masuk SD yang di dekat kedai Om Ari, Ma," seru Geo. Namun, dia langsung membungkam mulutnya sendiri. "Maaf, Ma. Nggak sengaja," lanjutnya pelan. Sepertinya Bayu ada di kamar mandi. Dia tidak akan mendengar ucapan Geo tadi. Teredam bunyi air keran yang gemiricik. "Itu loh, Ma. Yang sekolahnya gedungnya tinggi dan masjidnya bagus. Aku ke sana aja ya, Ma." Seandainya mampu, aku tak mungkin berpikir panjang untuk memasukkan Geo ke sana. Itu adalah sekolah islam modern bertaraf internasional. Mereka menggunakan tiga bahasa. Bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Arab. Dan biayanya hanya bisa membuatku menelan ludah. Tahun kemarin saja uang masuknya mencapai delapan juta. SPP mencapai enam ratus ribuan per bulan. Tapi, aku akui sekolahnya memang bagus dan unggulan. "Sekolah di sana mahal. Kayaknya Mama sama papa kamu enggak sanggup deh. Maaf ya," ucapku memasang wajah kecewa. "Oh, mahal ya, Ma." Aku mengangguk, tanganku terulur meraih sisir. "Rambut kamu belum sempat Mama potong. Besok ya potong. Masa mau jalan-jalan rambutnya gondrong gini?" Anak itu terkekeh lucu. "Iya, kan waktu itu udah bilang." "Mama lupa." Aku mengakhiri kegiatan menyisir dan bergerak menjauh. "Widih, anak Mama ganteng sekali. Udah siap disunat ini mah." "Mama, nggak mau!" seru Geo bersungut. Anak itu selalu marah kalau aku sudah membahas tentang sunat. Belum apa-apa dia sudah merasa takut. Aku tersenyum lalu menyentuh kedua pundaknya. "Kalau laki-laki kan harus disunat biar nggak banyak penyakit. Semua laki-laki muslim pasti sunat atau khitan." "Tau, Ma. Tapi enggak sekarang," Geo berkilah. Dia menghindari tatapanku supaya aku berhenti membahas tentang sunat. "Oke, kapan pun kamu siap. Beri tahu Mama. Akan Mama bawa kamu ke dokter yang hebat agar kamu enggak merasa sakit pas disunat," ujarku mantap sembari meyakinkannya bahwa khitan itu tidak sakit. "Mana ada sunat nggak sakit?" "Ada dong. Kan sekarang canggih. Kamu tiduran sebentar, eh tau-tau udah selesai." Dahi dan bibir Geo tampak berkedut. Dia seolah tak percaya apa yang aku katakan. "Nanti Geo tanya Om Ari aja." "Kenapa nggak tanya papa kamu?" "Soalnya pasti papa bekerja sama sama Mama. Jawaban papa pasti sama," tandas Geo yang seakan tahu pola trik kami. Dia memanyunkan bibir lalu beranjak keluar kamar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD