Bergosip

1034 Words
Bayu berangkat kerja lebih dulu. Sementara aku dan Geo masih bersiap. Jarak sekolah Geo dan Kedai tidak terlalu jauh dari rumah, aku bisa lebih santai. Saat ini bahkan aku masih menunggui Geo sarapan. "Hari ini Mama nggak usah kasih bekal. Kan kue dari Om Ari masih ada," ujar Geo, sambil memakan nasi putih dan nugget dinosaurus kesukaannya. "Oke." "Mama juga nanti nggak usah masak beli lauk jadi aja." "Hari ini Mama masak. Kan udah beli sayur paling sebentar juga udah siap." Aku tinggal Geo sebentar memasuki kamar untuk berganti baju dan sedikit memoles make up. Tidak ada yang spesial. Aku cuma memakai sunscreen dan sedikit bedak dingin, lalu memulas bibir dengan satu-satunya lipmatte yang aku punya. Aku mengikat satu rambutku sebelum berganti baju kerja. Aku sempat mengeluarkan baju lama yang dulu kupakai untuk bekerja. Hanya perlu dicuci ulang dan disetrika, masih tampak baru saat digunakan. "Wow, Mama cantik banget," puji Geo saat aku keluar kamar sudah berpakaian rapi. Kulirik piring anak itu yang sudah kosong. "Makasih atas pujiannya. Cuma kamu yang bilang Mama cantik." "Tapi Mama beneran beda. Nggak kayak biasanya. Mama dandan ya?" Anak ini kecil-kecil sudah bisa menggoda. "Cuma sedikit. Kalau kamu udah siap, yuk kita berangkat. Nanti kamu telat." "Oke, Macan!" seru Geo turun dari kursi. "Kok macan sih?" "Mama cantik gitu," sahutnya lantas terkikik. Aku cuma menggeleng dan membantu Geo mengenakan tas. Setelahnya kami beranjak meninggalkan rumah. "Ma, katanya sekolah mau ngadain karya wisata ke Taman Safari loh," tutur Geo. "Aku boleh ikut enggak?" "Ibu Guru udah kasih Geo selebaran biayanya belum?" Geo yang duduk di depan menggeleng. "Belum sih, Ma. Cuma katanya mau ke Taman Safari naik bus. Aku kan belum pernah naik bus, Ma." Aku yakin biayanya lebih dari angka dua ratus ribu. Untuk sekarang uang sejumlah itu masih berat buatku. Aku baru mulai masuk kerja dan belum dapat gaji. Uang dari Bayu hanya tersisa uang belanja dan ongkos bensin saja. "Nanti kalau ada kertas dari Bu guru, kasih ke Mama ya. Mama mau lihat biayanya berapa." "Oke." Kami memasuki gerbang sekolah Geo. Dan seperti biasa ibu-ibu pengantar anak sekolah sudah stand by di sana. Aku menyapa sekedarnya saja. Tapi tetap saja mereka ingin bicara lebih. "Mamah Geo habis beli motor ya? Tapi kayak second ya," tanya salah satu dari mereka yang aku tahu ibu dari Putri teman sekelas Geo sembari melihat plat nomor si hijau. Aku dan lainnya menyebutnya Mama Putri. "Coba belinya yang gede kan enak bawa Geonya." Mama Dera menimpali. "Ih enak kan juga yang kecil, gesit sana-sana." Kali ini Mama Nizam yang motor maticnya lebih kecil dari mereka. "Siapa bilang, yang gede juga tak kalah gesit, muat banyak lagi," sanggah Mama Dera. Beginilah kalau udah kumpul ibu-ibu pengantar sekolah. Ada saja yang dibicarakan. Tapi, aku tidak suka sikap mereka yang suka meremehkan. "Maaf ya, mama-mama. Saya duluan, mau kerja dulu," pamitku sebelum pembahasan mereka makin melebar. "Loh Mama Geo kerja ya sekarang?" tanya Mama Putri dengan ekspresi kaget. Aku tersenyum dan mengangguk. Aku yakin akan ada omongan tak sedap. "Memang kenapa sih kerja lagi. Padahal kan enak jadi ibu-ibu di rumah aja." Mama Nizam kembali bersuara. "Enak juga kerja bisa pegang uang sendiri." "Heh, kita kan juga pegang uang dari suami. Kalau cukup ngapain capek-capek kerja. Mending ongkang-ongkang kakilah." "Kalau bisa mandiri kenapa enggak?" "Heleh, bilang aja nafkah dari suami kurang!" Astaga mereka malah berdebat. Aku hanya bisa menghela napas dan segera pamit undur diri. Pagi-pagi sudah menebar aura negatif. Karyawan kedai tengah sibuk di dapur saat aku datang. Aku langsung ke gudang untuk mengecek persediaan bahan makanan. Tidak terlalu sulit. Karena mereka akan mencoret bahan yang sudah mereka ambil di daftar bahan yang tertulis di sebuah kertas. Aku juga langsung menerima invoice belanjaan sayur-sayuran dan buah-buahan segar pagi ini. Lalu segera kembali ke kantor untuk mengorder bahan yang stoknya kosong. Setelah itu aku langsung bertolak ke kedai yang ada di jalan Otista. Membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit untuk sampai ke sana, karena sudah memasuki wilayah kota. Kedai di otista yang paling banyak menghabiskan bahan makanan setiap harinya, khususnya weekend. Mungkin karena letaknya di pusat kota yang penduduknya lumayan konsumtif. Selain dari itu, kedai ini lumayan bergengsi untuk tongkrongan anak muda. Fasilitas yang ada di kedai benar-benar memanjakan anak-anak muda jaman sekarang. "Va, semua aman?" tanya Ari di ujung telepon. Sepertinya aku akan sering berhubungan dengannya karena pekerjaan baru ini. "Aman kok, Mas. Aku minta maaf karena mungkin cara kerjaku enggak sesuai yang kamu ingin." "Nggak apa-apa kamu santai aja. Nanti aku kan bisa ngecek ulang. Kamu sudah makan belum, Va?" Secara refleks aku menengok jam. Pukul sebelas masih kurang dua puluh menitan lagi, tapi Ari sudah menanyakan soal makan. "Ya belum dong, Mas. Pukul sebelas aja belum ada. Aku juga belum menjemput Geo." "Kamu lagi di kedai mana?" "Aku di otista." "Kita makan siang bareng ya, aku kebetulan lagi ada di dekat sekolah Geo. Aku yang jemput dia terus kita makan siang bareng." "Nggak usah, Mas. Biar, biar aku saja yang jemput Geo," ujarku panik. Aku tidak ingin begini. "Sekalian jalan, Riva. Biar kamu enggak bolak balik. Ini Chilla juga lagi ada sama aku. Hari ini dia pulang cepat. Dan bilang pengin ketemu kamu sama Geo." Haduh, kepalaku mendadak pening. Chilla lagi yang jadi alasan kuat. Anak itu pasti akan kekeh meminta bertemu Geo, apa lagi sekarang posisinya sudah bersama Ari. Dan aku tidak bisa menghindar karena aku berada di sarang mereka. Aku tidak bisa menolak. Dan aku bisa membayangkan bagaimana ekspresi bahagia Geo dijemput mereka. Kota tempat tinggalku bukan tempat padat penduduk seperti ibu kota. Masih banyak persawahan dan perkebunan. Tapi juga tidak bisa dikategorikan sebagai daerah tertinggal. Kota ini lumayan maju. Semua serba ada di sini meski terbatas. Di sini juga sudah mulai banyak tanah yang disewakan untuk lahan industri, seperti pabrik sepatu, garmen, dan helm. Dan Ari menggunakan peluang itu untuk usahanya. Dia bilang kedai di Otista sudah berdiri sejak dua tahun lalu dan masih menjadi tempat favorit selama itu. Makanya Ari memutuskan untuk membuka kedai kedua. "Mama!" Suara Geo dari arah pintu masuk terdengar. Aku yang sedang bicara dengan salah seorang karyawan menoleh. Dan tersenyum melihat mereka bertiga memasuki kedai. Entah kenapa aku melihat ketiganya seperti ayah dan anak-anaknya. Mereka tampak bahagia dan membuatku terpana untuk beberapa saat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD