Baper

1103 Words
Aku mendengar suara motor Bayu dan itu cukup membuat dadaku berdebar. Dia pasti sudah melihat motor itu di depan. Meski aku sudah menyiapkan jawaban atas pertanyaan yang mungkin dia ajukan, tetap saja dadaku berdebar kencang. Aku menjawab salam Bayu yang masih di luar. Tak lama sosoknya muncul dari balik pintu. "Va, itu di luar motor siapa?" tanya dia begitu menemukanku di dapur. Hal ini sudah aku antipasi. Aku tersenyum, lalu berjalan mendekat padanya. "Duduk dulu, Mas. Nih minum." Aku meletakkan secangkir teh ke atas meja dan menuntun Bayu agar duduk di kursi depan meja makan. "Masih panas, Va," ujarnya setelah menyentuh gagang cangkir. Dari uapnya saja sudah ketahuan teh itu masih sangat panas. Aku baru saja menyeduhnya. Niatnya agar Bayu tidak terlalu kaget dengan kehadiran anggota baru di keluarga kami. "Tiup dikit, Mas." Bayu menurut. Dia kembali meraih cangkir, dan mencecapnya sedikit setelah sebelumnya meniup seperlunya. "Jadi, motor siapa itu?" tanya Bayu. Balik ke pertanyaan awal. "Itu fasilitas dari kedai. Katanya aku perlu itu karena harus mengecek dua kedai." Bayu tampak mengerjap. "Kedai itu laris banget ya?" Aku yang sekarang bingung. Padahal kami sedang membicarakan motor inventaris yang aku terima. "Kedai itu laris banget sampai-sampai memfasilitasi kamu motor?" Aku mengangguk ragu. "kayaknya sih begitu. Hari ini aku lihat kedai rame. Kata pegawainya akan lebih rame kalau weekend. Makanya pegawai di sana nggak ada yang libur kalau weekend." "Oh," Bayu mengangguk-angguk. "Yang di jalan Ahmad Yani itu kan? Aku lihat yang di situ kayaknya baru buka. Cabangnya yang ada di Otista ya?" Aku mengangguk membenarkan. "Jadi selain kedai yang di A. Yani aku juga harus mengecek kedai yang di Otista. Makanya aku dikasih fasilitas kendaraan. Lumayan lah Mas, bisa buat antar jemput Geo sekalian." "Kamu harus memberitahu pemiliknya, apa fasilitas kantor bisa dipakai buat keperluan pribadi juga?" "Sudah kok dan dia mengizinkan," sahutku, membuka tudung saji. "Mau makan sekarang atau mandi dulu?" Bayu mengetuk-ngetuk jemarinya ke atas meja dan tampak berpikir. "Baik juga ya. Pertama dia memberimu waktu kerja yang fleksibel, lalu gaji yang lumayan besar, terakhir motor. Dia dermawan atau gimana?" Bayu lelaki kritis. Dia pasti heran dengan semua kemudahan yang aku peroleh. Aku jadi waswas sudah menerima pekerjaan ini. Tapi, aku juga sudah terlanjur tanda tangan kontrak. Aku terkekeh, mengusir rasa panik yang tiba-tiba mendera. "Rejeki Geo, Mas," tandasku. Aku harap setelahnya Bayu tidak akan bertanya hal ini lagi. "Iya, sih." Dia celingukan, mencari keberadaan anaknya. "Di mana Geo? Kok tumben dia nggak keluar pas aku pulang?" "Dia ada di kamarnya, tadi sih lagi mewarnai." Bagaimana Geo tidak betah di kamar kalau di dalam tasnya ada banyak snack kesukaannya? "Aku udah tanda tangan kontrak, Mas. Aku dikontrak selama dua tahun, dan setelah itu kalau kerjaku bagus dan kedai makin maju bisa sambung lagi kontraknya." "Aku pikir kamu bisa langsung permanen di sana." "Semua pegawai di sana pake sistem kontrak, Mas. Lagi pula aku nggak ngarep kerja selamanya di sana. Aku masih berharap tetap kamu yang kerja dan mendapat gaji besar." "Aamiin. Semoga harapan kamu, kita terwujud." Aku tersenyum, memandangi wajah lelah suamiku ini. Sangat berbeda dengan Ari, yang masih begitu segar meskipun sore menjelang. Tidak ada wajah lelah di sana tiap aku melihatnya. Astaga, ada apa denganku sebenarnya? Kenapa selalu saja membandingkan suami sendiri dengan mantan? Aku melihat Bayu membuka pintu kamar Geo yang tertutup. "Geo, lagi apa kamu?" "Mewarnai, Pa." Sayup-sayup kudengar Geo menyahut. "Hari ini kamu bahagia?" "Iya, dong, Pa. Kan Mama punya motor baru." Aku tersenyum mendengar kalimat anak itu. "Itu kan bukan punya Mama, Mama kamu cuma dipinjemin." "Enggak apa-apa yang penting Mama sama Geo kalau ke sekolah nggak jalan kaki sama naik angkot lagi. Terus nggak akan ada lagi ibu-ibu yang bilang beli motor dong mama Geo, jadi nggak ngangkot terus." Serta-merta aku menoleh dan menatap Bayu yang masih berdiri di ambang pintu kamar Geo. Dia tampak tertegun. Mungkinkah dia tersinggung oleh ucapan anaknya? Bayu tersenyum tipis lalu menunduk. "Kamu lanjutkan mewarnainya, Papa mandi dulu." Lantas aku melihat dia menutup pintu kamar Geo dan langsung beranjak ke kamar mandi. Aku menebak Bayu terganggu oleh ucapan Geo barusan. Aku memejamkan mata sesaat melihat muka bersalah Bayu. "Maafin aku, Va. Aku nggak bisa bahagiain kalian." Kata-kata itu meluncur lagi saat kami sudah di atas tempat tidur. Aku yakin ini masih ada hubungannya dengan ucapan Geo. Saat makan malam Bayu tidak banyak bicara. Sepanjang makan malam tadi Geo-lah yang menguasai panggung. Dia terus saja bercerita tentang teman-temannya di sekolah dan juga keterkejutannya ketika aku menjemput dengan motor matic baru. Namun, tidak ada tanggapan istimewa dari Bayu. Dia hanya menanggapi kehebohan anaknya sekedarnya saja. "Kenapa kamu ngomong gitu sih? Memang kamu lihat aku nggak bahagia?" tanyaku menepuk tangannya yang melingkari perutku. Wajah Bayu sendiri menyuruk ke cerukan leher. "Kalian memiliki keinginan yang belum bisa aku kabulkan. Termasuk motor itu. Geo terlihat senang. Kalau kamu nggak kerja di sana dia akan tetap ke sekolah naik angkot," ucapnya seperti anak kecil yang sedang merajuk. "Kamu tersinggung dengan ucapan Geo?" tanyaku hati-hati. Bayu menggeleng pelan. "Aku hanya merasa nggak becus jadi ayah." Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya. "Mas, kamu pasti mulai mikir yang enggak-enggak. Kamu nggak senang aku kerja?" "Bukan gitu, Va. Aku cuma..." "Aku akan mengundurkan diri kalau kamu emang nggak suka aku bekerja." Bayu segera menjauhkan wajah dan menggeleng. Dia menatapku. "Nggak gitu, Va. Aku nggak melarang kamu kerja. Aku cuma ... ah, mungkin aku yang sedikit sensi hari ini. Kerjaan di pabrik bikin kepala mumet." Dia beranjak duduk dan mengusap wajah. "Ada apa?" tanyaku pelan seraya mengusap bahunya. "Banyak barang NG, dan harus dicek ulang. Sementara man power terbatas. Akibatnya seharian cuma jadi makanan empuk omelan atasan." Aku bergerak memeluknya dari belakang lalu menjatuhkan kepalaku ke punggungnya. "Sabar ya, Mas. Aku yakin kamu bisa mengatasi ini." Kurasakan dia mengangguk. "Maaf, ya. Aku jadi baper begini. Tapi dipeluk kamu begini aku merasa sedikit lebih nyaman," ujarnya mengusap lenganku. "Seenggaknya aku tau kamu masih mencintaiku, meski aku enggak bisa bikin kamu dan Geo bahagia." "Kami bahagia, Mas. Coba buang jauh-jauh pikiran aneh kamu. Kamu suami hebat, kamu ayah yang hebat." "Kamu cuma lagi menghiburku." "Memang kalau bukan aku siapa lagi yang mau menghiburmu?" Bayu terkekeh, menolehkan kepalanya ke belakang mencari wajahku dan mendaratkan ciuman pada bibirku. Hanya sebentar lalu kepalanya menjauh. "Merasa lebih baik sekarang?" tanyaku melepas pelukan, dan bergeser ke sisinya. Bayu mengangguk dan berkedip. "Makasih ya." Kembali dia mendaratkan kecupannya kali ini di keningku. "Mau sesuatu yang bikin kamu makin membaik?" tanyaku menatapnya penuh arti. Seperti sudah menangkap sinyal yang aku beri, Bayu sontak tersenyum. "Boleh." Aku terkekeh sembari membuang pandang. "Kapan sih kamu nolak?" "Rejeki nggak boleh ditolak," bisiknya. Tangannya kemudian menyusup di balik baju tidur yang aku kenakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD